Kajian Ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf

Wikipedia

Hasil penelusuran

  • Allah ta'ala berfirman :

    Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS Al Mujadalah : 11).

  • Allah ta'ala berfirman :

    Tanyalah ahli ilmu jika kamu tidak tahu (QS Al Anbiya : 7).

  • Sa'id bin Jubair berkata :

    Seseorang senantiasa dikatakan berilmu selama dia terus menuntut ilmu, jika dia berhenti menuntut ilmu karena merasa tidak butuh lagi dan merasa cukup dengan ilmu yang dia miliki maka dia termasuk orang yang paling bodoh.

  • Nabi saw bersabda :

    Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka dia akan difahamkan di dalam ilmu agama.

Senin, 13 Januari 2025

MENJAWAB FITNAH WAHABI TERHADAP KH MAIMOEN ZUBAIR GURUNYA GUS BAHA

  الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (10) 


Wahabi membuat fitnah terhadap KH Maimoen Zubair dengan bermodalkan potongan rekaman suara KH Maimoen Zubair yang berbicara tentang sifat istawa berikut ini :

https://www.facebook.com/share/r/18HHRBUzdE/

Guru dari Gus Baha tersebut dinisbatkan kepada aqidah mujassimah sebagaimana yang diyakini Wahabi pada umumnya. Saya jadi teringat perkataan Imam Ibnul Jauzi di dalam kitab Daf'u Syubah at Tasybih:

وَرَأَيْتُ الرَّدَّ عَلَيْهِمْ لَازِمًا لِئَلَّا يُنْسَبُ الْإِمَامُ إِلَى ذَلِكَ

"Aku melihat membantah mereka (mujassimah) menjadi suatu keharusan supaya Imam Ahmad tidak dinisbatkan kepada keyakinan sesat yang demikian itu".

Maka saya pun melihat menulis bantahan terhadap Wahabi menjadi suatu keharusan supaya KH Maimoen Zubair tidak dinisbatkan kepada aqidah mujassimah.

 

Ini bantahannya:

Pada potongan rekaman suara tersebut KH Maimoen Zubair membahas istawa dengan mengutip kalam Imam Malik. Sehingga tidak salah apa yang dijelaskan oleh beliau, karena Imam Malik adalah ulama salaf yang menempuh jalan "al Imrōr ma'a i'tiqōd at tanzīh" yang artinya membiarkan sifat tanpa ta'wil disertai keyakinan tanzih.

Para pengikut Wahabi yang awam menyangka bahwa asyā'iroh hanya menempuh jalan ta'wil sehingga tatkala menemukan kyai yang berkata dengan sifat Allah tanpa ta'wil mereka langsung menyangka menyamai aqidah mereka. Padahal sudah terkenal dari semenjak zaman dulu sampai sekarang dikalangan ahli ilmu bahwa asyā'iroh memiliki dua pendapat sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Tajudin as Subkiy berikut ini :

أَقُولُ لِلأَشَاعِرَةِ قَوْلَانِ مَشْهُورَانِ فِي إِثْبَاتِ الصِّفَاتِ: هَلْ تُمَرُّ عَلَى ظَاهِرِهَا مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيْهِ أَوْ تُؤَوَّلُ؟
وَالْقَوْلُ بِالإِمْرَارِ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيْهِ هُوَ الْمَعْزُوُّ إِلَى السَّلَفِ، وَهُوَ اخْتِيَارُ الإِمَامِ فِي الرِّسَالَةِ النِّظَامِيَّةِ وَفِي مَوَاضِعَ مِنْ كَلَامِهِ. فَرُجُوعُهُ مَعْنَاهُ الرُّجُوعُ عَنِ التَّأْوِيْلِ إِلَى التَّفْوِيْضِ، وَلَا إِنْكَارَ فِي هَذَا وَلَا فِي مُقَابِلَتِهِ، فَإِنَّهَا مَسْأَلَةٌ اجْتِهَادِيَّةٌ، أَعْنِي مَسْأَلَةَ التَّأْوِيلِ أَوِ التَّفْوِيضِ مَعَ اعْتِقَاد التَّنْزِيْهِ

Aku berkata : Asya'iroh memiliki dua pendapat yang sudah terkenal di dalam menetapkan sifat-sifat : Apakah dibiarkan sesuai redaksinya disertai i'tiqōd at tanzīh atau harus dita'wil ? Dan pendapat yang menyatakan biarkan disertai i'tiqōd at tanzīh adalah pendapat yang disandarkan kepada ulama salaf dan pendapat tersebut adalah pilihan Imam Haramain di dalam kitab Riasalah an Nidzomiyyah dan di dalam beberapa tempat perkataannya. Maka ruju'nya Imam Haramain maknanya adalah ruju' dari ta'wil menuju tafwidh. Tidak ada pengingkaran di dalam hal ini dan juga pada sebaliknya, karena masalah ini adalah masalah yang sifatnya ijtihadiyyah, maksud ku masalah ta'wil dan tafwidh disertai i'tiqōd at tanzīh.

إِنَّمَا الْمُصِيبَةُ الْكُبْرَى وَالدَّاهِيَةُ الدَّهْيَاءُ الْإِمْرَارُ عَلَى الظَّاهِرِ وَالِاعْتِقَادُ أَنَّهُ الْمُرَادُ وَأَنَّهُ لَا يَسْتَحِيلُ عَلَى الْبَارِي، فَذَلِكَ قَوْلُ الْمُجَسِّمَةِ عِبَادِ الْوَثَنِ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ يَحْمِلُهُمُ الزَّيْغُ عَلَى اتِّبَاعِ الْمُتَشَابِهِ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ، عَلَيْهِمْ لَعَائِنُ اللَّهِ تَتْرَى وَاحِدَةً بَعْدَ أُخْرَى. مَا أَجْرَأَهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَأَقَلَّ فَهْمَهُمْ لِلْحَقَائِقِ.

Sesungguhnya musibah terbesar dan bencana yang dahsyat adalah menetapkan makna zahir (dari teks-teks sifat Allah) dan meyakini bahwa itulah yang dimaksud, serta beranggapan bahwa hal tersebut tidak mustahil bagi Allah. Pendapat seperti itu adalah pendapat kaum mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk), para penyembah berhala, yang di dalam hati mereka terdapat penyimpangan. Penyimpangan itu mendorong mereka untuk mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya), demi mencari fitnah. Atas mereka laknat Allah bertubi-tubi, satu demi satu. Betapa beraninya mereka terhadap kebohongan, dan betapa sedikitnya pemahaman mereka terhadap kebenaran!

[Kitab Thabaqōt asy Syafī'iyyah al Kubro. Hal. 191, juz 5]

Di dalam masalah ini nampaknya KH Maimoen Zubair menyamai Imam Haramain, karena sama sekali tidak membahas ta'wil dari sifat istawa dan pada zaman dulu pun Imam Haramain mengalami fitnah yang sama dengan yang dialami oleh KH Maimoen Zubair sekarang, sehingga murid-muridnya sibuk menulis bantahan, termasuk di sana Imam Tajudin as Subkiy sebagai sesama asyā'iroh menulis penjelasan untuk membantah mujassimah.

Jika dikatakan : Di sana KH Maimoen Zubair mengatakan istawa diketahui maknanya. Maka dikatakan padanya : Na'am, tidak diingkari bahwa ada sebagian asyā'iroh yang mengatakan istawa diketahui maknanya karena mereka membawa istawa kepada makna al 'Uluw (tinggi) dengan sebab Allah memiliki asma al 'Aliy (yang maha tinggi), namun dipastikan maksudnya bukan tinggi menetap pada satu arah yaitu arah atas karena ulama yang memaknai istawa dengan makna tinggi menjadikan istawa sebagai sifat dzat sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Hajar al Asqalani berikut ini :

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ السُّنَّةِ هَلِ الِاسْتِوَاءُ صِفَةُ ذَاتٍ أَوْ صِفَةُ فِعْلٍ فَمَنْ قَالَ مَعْنَاهُ عَلَا قَالَ هِيَ صِفَةُ ذَاتٍ وَمَنْ قَالَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالَ هِيَ صِفَةُ فِعْلٍ

Para ulama Ahlussunnah berbeda pendapat apakah istiwa sifat dzat atau sifat perbuatan. Ulama yang berkata maknanya tinggi mengatakan istiwa adalah sifat dzat, sedangkan ulama yang mengatakan selain demikian berkata istiwa adalah sifat perbuatan.

[Kitab Fāthul Bāri. Hal. 406, juz 13]

Sudah ma'lum bahwa sifat dzat adalah sifat azaliyah, yaitu sifat yang ada sebelum mahluk diciptakan, maka ulama yang menetapkan istawa dengan makna tinggi meyakini Allah adalah yang tinggi sebelum mahluk diciptakan sehingga mustahil meyakini sifat tinggi tersebut dengan makna menetap pada satu arah yaitu arah atas, karena tidak ada arah sebelum mahluk diciptakan. Lalu jika ditanya jika bukan tinggi menetap pada satu arah lantas apa yang dimaksud dari sifat tinggi tersebut? Maka dikatakan padanya ilmunya diserahkan kepada Allah. Jadi ulama yang membawa istawa kepada sifat tinggi tetap harus mentafwidh makna tinggi yang disifatkan kepada Allah.


Share:

MENJAWAB FITNAH WAHABI TERHADAP IMAM ASH SHABUNI TERKAIT PENETAPAN MELIHAT ALLAH DI SURGA

 الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (9) 


Wahabi dengan keyakinannya yang meyakini dzat Allah menetap pada satu arah, yaitu arah atas menjadikan hadits tentang melihat Allah sebagai dalil bagi keyakinannya tersebut kemudian mereka nisbatkan kepada Aqidah salaf Ahlussunnah wal jama'ah dengan menukilkan perkataan Imam ash Shabuni.

Wahabi berkata: "Adapun Aqidah Salaf Ahlussunah menetapkan Ru'yatullah dengan menghadap ke arah tertentu. Imam ash-Shabuni raihimahullah berkata:"

وَيَشْهَدُ أَهْلُ السُّنَّةِ أَنَّ الْمُؤْمِنِينَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِأَبْصَارِهِمْ، وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ عَلَى مَا وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ الصَّحِيحُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: (إِنَّكُمْ تَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ)، وَالتَّشْبِيهُ وَقَعَ لِلرُّؤْيَةِ بِالرُّؤْيَةِ، لَا لِلْمَرْئِيِّ بِالْمَرْئِيِّ.

"Ahlussunnah bersaksi bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka dengan mata mereka. Mereka akan melihat pada-Nya sesuai yang disebutkan dalam hadits yang sahih bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti melihat bulan pada malam purnama”. Pada hadits ini penyerupaan terjadi pada penglihatan dengan penglihatan bukan penyerupaan objek yang dilihat dengan objek yang dilihat.”

(Ash-Shabuni, Aqidah as-Salaf Wa Ashabul Hadits, tahqiq Dr. Nashir bin Abd. Rahman bin Muhammad al-Jadi’, hal. 263-264, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 2, 1419 H.)

Jawaban :

Jika dilihat dari perkataan Imam ash Shabuni yang dinukil Wahabi nampak jelas bahwa Imam ash Shabuni hanya menuturkan hadits "…sebagaimana kalian melihat bulan.." dan sama sekali tidak menyimpulkan bahwa akan melihat dzat Allah berada di arah atas. Maha suci Allah dari sifat demikian. Padahal di sana jelas dikatakan oleh Imam ash Shabuni bahwa tasybih di dalam hadits adalah tasybih ar ru'yah bir ru'yah (penglihatan dengan penglihatan), bukan tasybih al mar'iy bil mar'iy (objek yang dilihat dengan objek yang dilihat). Jika pemahamannya melihat Allah berada di atas sama seperti melihat bulan tentu itu disebutnya tasybih objek yang dilihat dengan objek yang dilihat (al mar'iy bil mar'iy), karena objek yang dilihat yaitu bulan berada di atas.

Imam Baihaqi menjelaskan riwayat "sebagaimana melihat bulan" dengan kalamnya sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا أَبُوْ مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوْسُفَ الْأَصْبَهَانِيُّ، أَنَا أَبُوْ سَعِيْدِ بْنُ الْأَعْرَابِيِّ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، ثَنَا وَكِيْعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ: أَمَا إِنَّكُمْ سَتُعْرَضُوْنَ عَلَى رَبِّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ فَتَرَوْنَهُ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوْا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا

"Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al-Asbahani, berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Sa'id bin Al-A'rabi, berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabbah, berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Waki' bin Al-Jarrah, berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: "Kami sedang duduk bersama Rasulullah , lalu beliau melihat ke bulan pada malam purnama, kemudian bersabda: 'Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan diperlihatkan kepada Rabb kalian 'Azza wa Jalla, lalu kalian akan melihat-Nya sebagaimana kalian melihat bulan ini, tanpa ada kesulitan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.'"

وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ السُّلَمِيُّ، ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ الْأَصَمُّ، حَدَّثَنِيْ أَحْمَدُ بْنُ يُوْنُسَ الضَّبِّيُّ، ثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ، ثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، فَذَكَرَهُ بِإِسْنَادِهِ وَمَعْنَاهُ، زَادَ عِنْدَ قَوْلِهِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا  ثُمَّ قَرَأَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ ربِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوْبِ [ق: 39]

Dan telah memberitakan kepada kami Abu Abdurrahman Muhammad bin Al-Husain As-Sulami, berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al-Abbas Al-Asham, berkata: Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Yunus Adh-Dhabi, berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Ya'la bin 'Ubaid, berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Isma'il bin Abi Khalid, lalu ia menyebutkannya dengan sanad yang sama dan makna yang serupa, dengan tambahan pada perkataan 'sebelum terbenamnya matahari,' lalu beliau membaca firman Allah: "Dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya" (Qaf: 39).

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ: سَمِعْتُ الشَّيْخَ الْإِمَامَ أَبَا الطَّيِّبِ سَهْلَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ رَحِمَهُ اللَّهُ يَقُوْلُ فِيْمَا أَمْلَاهُ عَلَيْنَا فِي قَوْلِهِ: لَا تُضَامُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ بِضَمِّ التَّاءِ وَتشْدِيْدِ الْمِيْمِ يُرِيْدُ لَا تَجْتَمِعُوْنَ لِرُؤْيَتِهِ مِنْ جِهَتِهِ، وَلَا يُضَمُّ بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ لِذَلِكَ فَإِنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُرَى فِي جِهَةٍ كَمَا يُرَى الْمَخْلُوْقُ فِيْ جِهَةٍ وَمَعْنَاهُ بِفَتْحِ التَّاءِ لَا تُضَامُوْنَ لِرُؤْيَتِهِ مِثْلَ مَعْنَاهُ بِضَمِّهَا، لَا تُضَامُوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ بِالِاجْتِمَاعِ فِي جِهَةٍ وَهُوَ دُوْنَ تَشْدِيْدِ الْمِيْمِ مِنَ الضَّيْمِ مَعْنَاهُ: لَا تُظْلَمُوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ بِرُؤْيَةِ بَعْضِكُمْ دُوْنَ بَعْضٍ وَأَنَّكُمْ تَرَوْنَهُ فِي جِهَاتِكُمْ كَلِّهَا وَهُوَ يَتَعَالَى عَنْ جِهَةٍ، قَالَ: وَالتَّشْبِيْهُ بِرُؤْيَةِ الْقَمَرِ لِيَقِيْنِ الرُّؤْيَةِ دُوْنَ تَشْبِيهِ الْمَرْئِيِّ، تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا

Berkata Syaikh Imam Ahmad رحمه الله: Aku mendengar Syaikh Imam Abu Ath-Thayyib Sahl bin Muhammad bin Sulaiman رحمه الله berkata dalam apa yang ia sampaikan kepada kami terkait sabda Nabi : 'Lā tuḍāmūna fī ru’yatihi' (tidak ada kesulitan bagi kalian dalam melihat-Nya), dengan dhammah (baris depan) pada huruf ta’ dan tasydid (penekanan) pada huruf mim, maksudnya adalah: kalian tidak akan berkumpul untuk melihat-Nya dari satu arah tertentu, dan sebagian kalian tidak akan dihimpit oleh sebagian yang lain untuk itu. Karena sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla tidak dilihat dari satu arah tertentu sebagaimana makhluk dilihat dari arah tertentu. Adapun maknanya dengan fathah (baris atas) pada huruf ta', yakni lā tuḍāmūna (tidak ada kesulitan), maknanya serupa dengan yang sebelumnya: kalian tidak akan mengalami kesulitan dalam melihat-Nya, dan kalian tidak akan dizalimi dalam penglihatan itu dengan sebagian kalian melihat dan sebagian lainnya tidak, melainkan kalian semua akan melihat-Nya dari arah kalian menghadap masing-masing seluruhnya sedangkan Allah suci dari arah (bukan yang berada diarah mereka menghadap). Beliau berkata: Dan penyerupaan (dalam hadis tersebut) dengan penglihatan bulan adalah untuk menegaskan keyakinan tentang kepastian penglihatan, bukan penyerupaan terhadap objek yang dilihat. Maha Luhur Allah yang suci dari itu semua, 'uluwwan kabīran."

[Kitab al I'tiqad 'ala Madzhab as Salaf. Hal. 128]


Kapasitas Imam Baihaqi di dalam menjelaskan aqidah salaf tidak diragukan lagi sehingga beliau menulis kitab al I'tiqod 'ala Madzhab as Salaf (keyakinan di atas madzhab salaf), karena Imam Baihaqi mendapatkan riwayat dengan sanad yang sampai kepada ulama salaf dan tentunya menjelaskan dengan penjelasan yang diwariskan turun temurun dari para ulama salaf dengan sanad. Sedangkan Wahabi mendapatkan riwayat hanya dari kitab tanpa sanad, sehingga dipastikan mereka menjelaskan secara otodidak.


Share:

Jumat, 10 Januari 2025

BANTAHAN TERHADAP SYAIKH AL BANI TENTANG MELIHAT ALLAH DI SURGA

 الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (8)

Imam Nawawi berkata :

وَلَا يَلْزَمُ مِنْ رُؤْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى إِثْبَاتُ جِهَةٍ تَعَالَى عَنْ ذَلِكَ بَلْ يَرَاهُ الْمُؤْمِنُونَ لَا فِيْ جِهَةٍ كَمَا يَعْلَمُوْنَهُ لَا فِيْ جِهَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Tidak melazimkan dari melihat Allah ta'ala menetapkan arah, maha suci Allah dari sifat demikian. Tetapi orang-orang beriman akan melihatnya tidak berada pada satu arah manapun sebagaimana mereka mengetahui Allah tidak berada pada satu arah manapun. Wallahu a'lam.

[Kitab Syarah Shahih Muslim. Hal. 16. Juz 3]

Sedangkan Syaikh al Bani berkata :

وَمَنْ قَالَ: يُرَى لَا فِي جِهَةٍ. فَلْيُرَاجِعْ عَقْلَهُ. فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مُكَابِرًا لِعَقْلِهِ أَوْ فِي عَقْلِهِ شَيْءٌ، وَإِلَّا فَإِذَا قَالَ: يُرَى لَا أَمَامَ الرَّائِي وَلَا خَلْفَهُ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَا عَنْ يَسَارِهِ وَلَا فَوْقَهُ وَلَا تَحْتَهُ، رَدَّ عَلَيْهِ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ بِفِطْرَتِهِ السَّلِيمَةِ.

Barang siapa yang mengatakan bahwa Allah dilihat tidak berada pada satu arah manapun, maka hendaklah ia meninjau kembali akalnya. Sebab, ia mungkin saja sedang menentang akalnya sendiri, atau ada sesuatu yang tidak beres dengan akalnya. Jika ia mengatakan bahwa Allah dilihat, tetapi tidak di depan orang yang melihat, tidak di belakangnya, tidak di kanannya, tidak di kirinya, tidak di atasnya, dan tidak di bawahnya, maka setiap orang yang mendengarnya dengan fitrah yang lurus pasti akan menolaknya.

[Tahqiq Kitab Matan Aqidah ath Thahawiyyah. Hal. 43]

 

Dari pemaparan tersebut nampak perbedaan aqidah antara Imam Nawawi dengan Syaikh al Bani, di mana Imam Nawawi mensifati Allah laa fii jihah [لَا فِيْ جِهَةٍ] yang artinya tidak berada pada satu arah manapun tatkala melihat Allah di surga. Sedangkan Syaikh al Bani mengingkarinya, karena ia menjadikan peristiwa melihat Allah sebagai dalil dzat Allah berada pada satu arah, yaitu arah atas. Dan yang mengherankan adalah Syaikh al Bani mengatakan demikian di dalam Tahqiqnya terhadap kitab Matan Aqidah ath Thahawiyyah, ini menandakan al Bani bukan termasuk para ulama ahli tahqiq (muhaqqiqun).

Ini penjelasannya :

Tatkala Rasulullah bersabda :

كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ

"Allah ta'ala ada (sebelum mahluk diciptakan) dan tidak ada segala sesuatu selain Nya." [Hadits Shahih Bukhari]

Semua ulama ahlussunnah sepakat berdasarkan keterangan hadits tersebut dzat Allah memiliki sifat azaliyah yaitu "laa fii jihah" [لَا فِيْ جِهَةٍ] yang artinya tidak berada pada satu arah manapun. Yang demikian jelas, karena arah itu baru ada setelah alam semesta diciptakan. Imam ath Thahawi mengatakannya dengan kalimat :

لَا تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ

Dzat Allah tidak diliputi arah-arah yang enam.

[Tahqiq Kitab Matan Aqidah ath Thahawiyyah. Hal. 45]

Di mana sebelum mengatakan hal itu Imam Abu Ja'far ath Thahawi berkata :

وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا كَذَلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّا

Dzat Allah sebagaimana dahulu dengan sifat-sifat Nya sebelum mahluk diciptakan. Sama seperti yang demikian akan senantiasa disifati dengan sifat tersebut kekal selamanya.

[Tahqiq Kitab Matan Aqidah ath Thahawiyyah. Hal. 43]

Perkataan itu dinukil dari kitab yang ditahqiq oleh Syaikh al Bani sendiri dan jelas sekali di sini bahwa Imam Nawawi mengikuti apa yang dikatakan oleh Imam ath Thahawi. Jika sebelum mahluk diciptakan dzat Allah memiliki sifat laa fii jihah, maka sekarang dan selamanya akan ada sifat laa fii jihah termasuk ketika orang beriman melihatnya di surga. Sifat laa fii jihah tidak boleh punah, Allah senantiasa disifati dengan sifat tersebut kekal selamanya.

Jadi seharusnya perkataan al Bani itu harus ditujukan kepada dirinya sendiri, hendaklah dia meninjau kembali akalnya karena mengatakan Imam ath Thahawi beraqidah ahlussunnah wal jama'ah, mengklaim mengikuti aqidahnya tapi meyakini sifat azaliyah Allah sudah punah ketika Allah dilihat di surga, yaitu sifat laa fii jihah. Sedangkan Imam ath Thahawi menyatakan Allah senantiasa disifati dengan sifat azaliyyah kekal selamanya.

Orang awam yang hanya membaca potongan perkataan Syaikh al Bani tentu akan menyangka Syaikh al Bani itu benar, tapi jika sudah membaca kitab yang ditahqiqnya secara menyeluruh tentu akan mengetahui ketanaqudan aqidahnya. 

Share:

Selasa, 07 Januari 2025

KONTROVERSI IBNU TAIMIYAH DAN JAWABAN TERHADAP PENDAPATNYA

   الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (7)


Ibnu Taimiyah adalah ulama yang diagung-agungkan oleh Wahabi dan sejarah mencatat pada masa hidupnya Ibnu Taimiyah adalah sosok kontroversial. Pendapat nyelenehnya terkait larangan melakukan perjalanan khusus untuk ziarah ke kubur Nabi saw memancing banyak perdebatan dan penolakan. Jadi tidak heran jika Wahabi pun di zaman sekarang menimbulkan banyak perdebatan dan penolakan, karena mereka mengikuti panutannya.

Imam Ibnu Hajar al Asqalani mencatat kisah Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya :

قَالَ الْكِرْمَانِيُّ: وَقَعَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي عَصْرِنَا فِي الْبِلَادِ الشَّامِيَّةِ مُنَاظَرَاتٌ كَثِيْرَةٌ، وَصُنِّفَ فِيهَا رَسَائِلُ مِنَ الطَّرَفَيْنِ.

Al-Kirmani berkata: "Terjadi banyak perdebatan mengenai masalah ini di era kami di negeri Syam, dan dari kedua belah pihak ditulis berbagai risalah tentangnya."

قُلْتُ: يُشِيرُ إِلَى مَا رَدَّ بِهِ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّيْنِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، وَمَا انْتَصَرَ بِهِ الْحَافِظُ شَمْسُ الدِّيْنِ ابْنُ عَبْدِ الْهَادِي وَغَيْرُهُ لِابْنِ تَيْمِيَّةَ. وَهِيَ مَشْهُوْرَةٌ فِي بِلَادِنَا. وَالْحَاصِلُ: إِنَّهُمْ أَلْزَمُوْا ابْنَ تَيْمِيَّةَ بِتَحْرِيْمِ شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةِ قَبْرِ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْكَرْنَا صُورَةَ ذَلِكَ. وَفِي شَرْحِ ذَلِكَ مِنَ الطَّرَفَيْنِ طُوْلٌ، وَهِيَ مِنْ أَبْشَعِ الْمَسَائِلِ الْمَنْقُوْلَةِ عَنْ ابْنِ تَيْمِيَّةَ،

Aku (Ibnu Hajar) berkata : Yang dimaksud adalah tanggapan yang diberikan oleh Syaikh Taqiyuddin As-Subki dan lainnya terhadap Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, serta pembelaan yang dilakukan oleh Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Abdul Hadi dan lainnya terhadap Ibnu Taimiyah. Masalah ini sudah dikenal luas di negeri kami. Adapun kesimpulannya: mereka menisbatkan kepada Ibnu Taimiyah bahwa ia mengharamkan perjalanan khusus (syadd ar-rihal) untuk menziarahi makam Nabi kita, Rasulullah , dan kami mengingkari hal tersebut. Penjelasan dari kedua belah pihak tentang hal ini sangat panjang, dan ini termasuk salah satu masalah yang paling buruk yang dinukil dari Ibnu Taimiyah

وَمِنْ جُمْلَةِ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى دَفْعِ مَا ادَّعَاهُ غَيْرُهُ مِنَ الْإِجْمَاعِ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ زِيَارَةِ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا نُقِلَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَقُولَ: زُرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَدْ أَجَابَ عَنْهُ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَصْحَابِهِ بِأَنَّهُ كَرِهَ اللَّفْظَ أَدَبًا، لَا أَصْلَ الزِّيَارَةِ.  فَإِنَّهَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ وَأَجَلِّ الْقُرُبَاتِ الْمُوَصِّلَةِ إِلَى ذِي الْجَلَالِ، وَأَنَّ مَشْرُوعِيَّتَهَا مَحَلُّ إِجْمَاعٍ بِلَا نِزَاعٍ، وَاللَّهُ الْهَادِي إِلَى الصَّوَابِ.

Di antara dalil yang digunakan untuk menolak klaim adanya ijma' (kesepakatan ulama) tentang disyariatkannya ziarah ke makam Nabi adalah riwayat dari Imam Malik bahwa beliau tidak menyukai seseorang berkata: 'Aku telah menziarahi makam Nabi .' Para ahli tahqiq dari kalangan pengikutnya menjelaskan bahwa ketidaksukaan tersebut terkait dengan lafaznya, sebagai bentuk kesopanan, bukan terhadap esensi ziarah itu sendiri. Sebab, ziarah ke makam Nabi termasuk amalan yang paling utama dan ibadah yang paling agung untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia. Bahkan, kesyariatannya menjadi kesepakatan tanpa ada perselisihan. Allah adalah pemberi petunjuk kepada kebenaran.

قَالَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ :  قَوْلُهُ : إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ مَحْذُوْفٌ، فَإِمَّا أَنْ يُقَدِّرَ عَامًّا، فَيَصِيْرَ: لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ إِلَّا إِلَى الثَّلَاثَةِ، أَوْ أَخَصَّ مِنْ ذَلِكَ. لَا سَبِيلَ إِلَى الْأَوَّلِ لِإِفْضَائِهِ إِلَى سَدِّ بَابِ السَّفَرِ لِلتِّجَارَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَطَلَبِ الْعِلْمِ وَغَيْرِهَا، فَتَعَيَّنَ الثَّانِي. وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَدَّرَ مَا هُوَ أَكْثَرُ مُنَاسَبَةً، وَهُوَ: لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ إِلَّا إِلَى الثَّلَاثَةِ، فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْلُ مَنْ مَنَعَ شَدَّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةِ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ وَغَيْرِهِ مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Sebagian ahli tahqiq berkata : Terkait sabda Nabi : 'Kecuali ke tiga masjid,' frasa yang dikecualikan darinya tidak disebutkan secara eksplisit. Frasa itu bisa ditafsirkan secara umum, sehingga menjadi: 'Tidak boleh melakukan perjalanan ke tempat manapun untuk tujuan apapun kecuali ke tiga masjid.' Atau lebih khusus dari itu. Penafsiran pertama tidak memungkinkan, karena akan menghalangi perjalanan untuk tujuan perdagangan, silaturahmi, menuntut ilmu, dan lainnya. Maka yang harus dipilih adalah penafsiran kedua. Penafsiran yang lebih tepat adalah: 'Tidak boleh melakukan perjalanan ke masjid untuk shalat di dalamnya kecuali ke tiga masjid.' Dengan demikian, klaim bahwa perjalanan khusus untuk menziarahi makam Nabi yang mulia dan makam orang-orang saleh lainnya dilarang menjadi batal. Allah lebih mengetahui

وَقَالَ السُّبْكِيُّ الْكَبِيرُ: لَيْسَ فِي الْأَرْضِ بُقْعَةٌ لَهَا فَضْلٌ لِذَاتِهَا حَتَّى تُشَدَّ الرِّحَالُ إِلَيْهَا غَيْرَ الْبِلَادِ الثَّلَاثَةِ. وَمُرَادِي بِالْفَضْلِ: مَا شَهِدَ الشَّرْعُ بِاعْتِبَارِهِ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ حُكْمًا شَرْعِيًّا. وَأَمَّا غَيْرُهَا مِنَ الْبِلَادِ فَلَا تُشَدُّ إِلَيْهَا لِذَاتِهَا، بَلْ لِزِيَارَةٍ أَوْ جِهَادٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْمَنْدُوبَاتِ أَوِ الْمُبَاحَاتِ. قَالَ: وَقَدِ الْتَبَسَ ذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِمْ، فَزَعَمَ أَنَّ شَدَّ الرِّحَالِ إِلَى الزِّيَارَةِ لِمَنْ فِي غَيْرِ الثَّلَاثَةِ دَاخِلٌ فِي الْمَنْعِ، وَهُوَ خَطَأٌ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ إِنَّمَا يَكُونُ مِنْ جِنْسِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ. فَمَعْنَى الْحَدِيثِ: لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ، أَوْ إِلَى مَكَانٍ مِنَ الْأَمْكِنَةِ لِأَجْلِ ذَلِكَ الْمَكَانِ إِلَّا إِلَى الثَّلَاثَةِ الْمَذْكُورَةِ. وَشَدُّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةٍ أَوْ طَلَبِ عِلْمٍ لَيْسَ إِلَى الْمَكَانِ بَلْ إِلَى مَنْ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

As Subki al Kabir berkata : Tidak ada tempat di bumi ini yang memiliki keutamaan karena zatnya sehingga seseorang diperintahkan untuk melakukan perjalanan kepadanya, kecuali tiga tempat suci. Yang aku maksud dengan keutamaan adalah keutamaan yang diakui oleh syariat dan dijadikan dasar penetapan hukum syar'i. Adapun tempat-tempat lainnya, tidak boleh dilakukan perjalanan ke sana karena zatnya, tetapi karena tujuan seperti ziarah, jihad, menuntut ilmu, atau kegiatan lainnya yang bersifat dianjurkan atau dibolehkan." Ia berkata:
"Hal ini telah disalahpahami oleh sebagian orang. Mereka mengira bahwa perjalanan untuk menziarahi makam orang yang tidak berada di tiga tempat suci termasuk dalam larangan. Ini adalah kesalahan, karena pengecualian dalam hadis hanya berlaku dalam satu jenis (yakni masjid). Maksud hadis adalah: 'Tidak boleh melakukan perjalanan ke masjid tertentu atau tempat tertentu karena keutamaan tempat tersebut, kecuali ke tiga masjid yang disebutkan.' Adapun perjalanan untuk ziarah atau menuntut ilmu, itu bukanlah perjalanan ke tempatnya, melainkan kepada orang yang berada di tempat tersebut. Allah lebih mengetahui.

[Kitab Fathul Baari. Hal. 66. Juz 3].

 

Imam Taqiyudin as Subki juga berkata di dalam kitab fatwanya :

كُنْت رَدَدْت عَلَيْهِ فِي حَيَاتِهِ فِي إنْكَارِهِ السَّفَرَ لِزِيَارَةِ الْمُصْطَفَى - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَفِي إنْكَارِهِ وُقُوعَ الطَّلَاقِ إذَا حُلِفَ بِهِ ثُمَّ ظَهَرَ لِي مِنْ حَالِهِ مَا يَقْتَضِي أَنَّهُ لَيْسَ مِمَّنْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ فِي نَقْلٍ يَنْفَرِدُ بِهِ لِمُسَارَعَتِهِ إلَى النَّقْلِ لِفَهْمِهِ كَمَا فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَلَا فِي بَحْثٍ يُنْشِئُهُ لِخَلْطِهِ الْمَقْصُودَ بِغَيْرِهِ وَخُرُوجِهِ عَنْ الْحَدِّ جِدًّا، وَهُوَ كَانَ مُكْثِرًا مِنْ الْحِفْظِ وَلَمْ يَتَهَذَّبْ بِشَيْخٍ وَلَمْ يُرْتَضْ فِي الْعُلُومِ بَلْ يَأْخُذْهَا بِذِهْنِهِ مَعَ جَسَارَتِهِ وَاتِّسَاعِ خَيَالِ وَشَغَبٍ كَثِيرٍ، ثُمَّ بَلَغَنِي مِنْ حَالِهِ مَا يَقْتَضِي الْإِعْرَاضَ عَنْ النَّظَرِ فِي كَلَامِهِ جُمْلَةً. وَكَانَ النَّاسُ فِي حَيَاتِهِ اُبْتُلُوا بِالْكَلَامِ مَعَهُ لِلرَّدِّ عَلَيْهِ وَحُبِسَ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَوُلَاةِ الْأُمُورِ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ مَاتَ.

Imam as-Subki berkata: "Aku pernah membantahnya (Ibnu Taimiyah) ketika ia masih hidup, terkait penolakannya terhadap anjuran melakukan perjalanan untuk menziarahi makam Rasulullah , dan juga terkait penolakannya atas terjadinya talak jika seseorang bersumpah dengannya (dalam bentuk sumpah talak). Kemudian, menjadi jelas bagiku dari keadaannya sesuatu yang menunjukkan bahwa ia bukanlah orang yang dapat diandalkan dalam periwayatan yang hanya disampaikannya seorang diri. Hal ini karena ia terlalu tergesa-gesa dalam menyampaikan sesuatu berdasarkan pemahamannya, seperti dalam masalah ini. Ia juga tidak dapat diandalkan dalam pembahasan yang disusunnya sendiri, karena ia sering mencampuradukkan tujuan dengan hal-hal lain dan melampaui batas secara berlebihan. Ia adalah orang yang memiliki banyak hafalan, tetapi ia tidak mendapatkan pendidikan yang terarah dari seorang guru, dan ia tidak mendalami ilmu secara layak. Sebaliknya, ia mempelajarinya berdasarkan pemahaman pribadinya, disertai dengan keberaniannya, keluasan imajinasinya, dan banyaknya kekacauan dalam pandangannya. Kemudian, aku mendengar tentang keadaannya sesuatu yang membuatku berpaling untuk tidak lagi memerhatikan perkataannya secara keseluruhan. Pada masa hidupnya, orang-orang diuji dengan perdebatan dengannya untuk membantah pandangannya, dan ia dipenjara dengan kesepakatan seluruh umat Islam serta penguasa pada masa itu. Kemudian ia meninggal dunia."

[Kitab Fatawa as Subkiy. Hal. 210.]

Tradisi para ulama itu selalu mengangkat kembali pembahasan terkait pendapat-pendapat ulama yang memiliki pendapat nyeleneh disetiap generasinya untuk menjaga agar pendapat nyeleneh itu tidak diikuti orang-orang awam. Maka kita pun harus mengikuti tradisi para ulama tersebut karena ulama adalah panutan kita.

Share:

Minggu, 05 Januari 2025

KITAB AL ASMA WA ASH SHIFAT [KARYA IMAM BAIHAQI]

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْعَرْشِ وَالْكُرْسِيِّ

"Bab tentang apa yang disebutkan mengenai Arsy dan Kursi."


قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ} [هود: 7] ، وَقَالَ تَعَالَى: {وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ} [التوبة: 129] ، وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا: {ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ} [البروج: 15] ، وَقَالَ جَلَّتْ عَظَمَتُهُ: {وَتَرَى الْمَلَائِكَةَ حَافِّيْنَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ} [الزمر: 75] ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُوْنَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ} [غافر: 7] الْآيَةُ. وَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ} [الحاقة: 17]

Allah Azza wa Jalla berfirman: "Dan Arsy-Nya berada di atas air." (Surah Hud: 7). Allah Ta'ala berfirman: "Dan Dia adalah Rabb Arsy yang agung." (Surah At-Taubah: 129). Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi berfirman: "Yang memiliki Arsy yang mulia." (Surah Al-Buruj: 15). Allah yang Maha Agung berfirman: "Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat melingkar di sekeliling Arsy." (Surah Az-Zumar: 75). Allah Ta'ala berfirman: "(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Rabb mereka." (Surah Ghafir: 7). Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman: "Dan pada hari itu, delapan (malaikat) memikul Arsy Rabbmu di atas mereka." (Surah Al-Haqqah: 17).

_Qultu :_

Semua ayat di atas menunjukkan kemuliaan dan keagungan Arsy Allah dalam Al-Qur'an.

 

وَأَقَاوِيْلُ أَهْلِ التَّفْسِيرِ عَلَى أَنَّ الْعَرْشَ هُوَ السَّرِيرُ، وَأَنَّهُ جِسْمٌ مُجَسَّمٌ، خَلَقَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَأَمَرَ مَلَائِكَتَهُ بِحَمْلِهِ وَتَعَبَّدَهُمْ بِتَعْظِيمِهِ وَالطَّوَافِ بِهِ، كَمَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ بَيْتًا وَأَمَرَ بَنِي آدَمَ بِالطَّوَافِ بِهِ وَاسْتِقْبَالِهِ فِي الصَّلَاةِ.

Pendapat para ahli tafsir menyatakan bahwa Arsy adalah singgasana, dan ia merupakan jisim mujassam (berupa fisik, materi). Allah Ta'ala menciptakannya, memerintahkan para malaikat-Nya untuk memikulnya, serta menjadikan mereka beribadah dengan mengagungkannya dan mengelilinginya. Sebagaimana Allah menciptakan di bumi sebuah rumah (Ka'bah) dan memerintahkan Bani Adam untuk mengelilinginya (thawaf) dan menghadap ke arahnya dalam salat.

وَفِي أَكْثَرِ هَذِهِ الْآيَاتِ دَلَالَةٌ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبُوْا إِلَيْهِ، وَفِي الْأَخْبَارِ وَالْآثَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَعْنَاهُ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ ذَلِكَ.

Dalam kebanyakan ayat-ayat ini terdapat petunjuk yang menunjukkan kebenaran pendapat mereka, dan dalam hadis-hadis serta atsar-atsar yang diriwayatkan mengenai maknanya juga terdapat bukti yang menunjukkan kebenaran hal tersebut.

 

وَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ} [البقرة: 255] . وَرُوِّينَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: عِلْمُهُ. وَسَائِرُ الرِّوَايَاتِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْكُرْسِيُّ الْمَشْهُورُ الْمَذْكُورُ مَعَ الْعَرْشِ

Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman: 'Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.' (Surah Al-Baqarah: 255). Kami meriwayatkan dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa ia berkata: 'Yang dimaksud adalah ilmu-Nya.' Namun, berbagai riwayat lain dari Ibnu Abbas dan selainnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan 'kursi' adalah kursi yang masyhur yang disebutkan bersama dengan Arsy.

أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا يَحْيَى بْنَ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، أنا أَبُو بَكْرٍ [ص:273] أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ بْنِ الْحَسَنِ الْفَقِيْهُ، ثنا جَعْفَرُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ، ثنا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ، ثنا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ، ح. وَحَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ أَبِيْ عُثْمَانَ، ثنا عَفَّانُ، ثنا أَبَانُ، قَالَا: ثنا قَتَادَةُ، عَنْ أَبِيْ الْعَالِيَةِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُوْ عِنْدَ الْكَرْبِ:

Abu Zakariya Yahya bin Ibrahim bin Muhammad bin Yahya mengabarkan kepada kami: 'Abu Bakar Ahmad bin Salman bin Al-Hasan Al-Faqih menceritakan kepada kami; Ja'far bin Abu Utsman menceritakan kepada kami; Muslim bin Ibrahim menceritakan kepada kami; Hisyam bin Abu Abdullah.' Dan dalam jalur lain: 'Ja'far bin Abu Utsman menceritakan kepada kami; Affan menceritakan kepada kami; Aban menceritakan kepada kami.' Keduanya berkata: 'Qatadah meriwayatkan dari Abu Al-'Aliyah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, yang berkata: "Sesungguhnya Nabi Allah biasa berdoa ketika menghadapi kesulitan:

«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ» .

"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Rabb Arsy yang mulia, tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah Rabb langit dan Rabb Arsy yang agung."

رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ، وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ هِشَامٍ

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Muslim bin Ibrahim, dan juga diriwayatkan oleh Muslim melalui jalur lain dari Hisyam.

حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ الْأَصْبَهَانِيُّ، إِمْلَاءً، أنا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أنا بِشْرُ بْنُ مُوسَى، وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ وَأَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ فِرَاسٍ الْمَكِّيُّ، قَالُوا: أنا أَبُو حَفْصٍ عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ الْجُمَحِيُّ، أنا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، قَالَا: ثنا أَبُو نُعَيْمٍ، ثنا الْأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَقَالَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ، أَتَدْرِي أَيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ؟» قَالَ: قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: " فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ عِنْدَ رَبِّهَا فَتَسْتَأْذِنُ فِي الرُّجُوْعِ فَيُؤْذَنُ لَهَا، فَيُوْشِكُ أَنْ تَسْتَأْذِنَ فَلَا [ص:274] يُؤَذَنُ لَهَا، حَتَّى تَسْتَشْفِعَ وَتَطْلُبَ، فَإِذَا طَالَ عَلَيْهَا قِيْلَ لَهَا: اطْلُعِي مِنْ مَكَانِكِ ". فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ} [يس: 38] ". رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ أَبِيْ نُعَيْمٍ، وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ

Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al-Ashbahani meriwayatkan kepada kami secara dikte. Ia berkata: 'Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Al-Faqih menceritakan kepada kami; Bisyr bin Musa menceritakan kepada kami.' Dan Abu Abdullah Al-Hafizh, Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf, Abu Zakariya bin Abi Ishaq, dan Abu Muhammad Al-Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Firas Al-Makki berkata: 'Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Ahmad Al-Jumahi menceritakan kepada kami; Ali bin Abdul Aziz menceritakan kepada kami.' Mereka berdua berkata: 'Abu Nu'aim menceritakan kepada kami; Al-A'mash menceritakan kepada kami dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu yang berkata: Kami bersama Nabi di masjid saat matahari terbenam. Beliau berkata: "Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke mana matahari pergi saat tenggelam?" Aku menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Sesungguhnya matahari pergi hingga bersujud di bawah Arsy di hadapan Rabbnya, lalu ia meminta izin untuk kembali, dan izin itu diberikan kepadanya. Namun, akan tiba suatu waktu ketika ia meminta izin, tetapi tidak diizinkan, hingga ia memohon dan meminta pertolongan. Ketika waktu itu panjang baginya, dikatakan kepadanya: 'Kembalilah dari tempat engkau terbit.'" Itulah maksud firman Allah Ta'ala:'Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.' (Surah Yasin: 38)." Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Abu Nu'aim, dan juga diriwayatkan oleh Muslim melalui jalur lain.

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِيْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْكَعْبِيُّ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوْبَ، أنا عَيَّاشٌ الرَّقَّامُ، ثَنَا وَكِيْعٌ، ثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا} [يس: 38] قَالَ: «مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ» . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ عَيَّاشٍ الرَّقَّامِ وَغَيْرِهِ، وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ إَسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ وَغَيْرُهُ عَنْ وَكِيْعٍ وَذَكَرَ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي قَوْلِهِ: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا} [يس: 38]

Abu Abdullah Al-Hafizh mengabarkan kepada kami. Ia berkata: Abdullah bin Muhammad Al-Ka'bi mengabarkan kepada saya. Ia berkata: Muhammad bin Ayyub mengabarkan kepada kami. Ia berkata: 'Ayasy Ar-Raqqam meriwayatkan kepada kami; Waki' meriwayatkan kepada kami; Al-A'mash meriwayatkan kepada kami dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, yang berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah Azza wa Jalla: 'Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.' (Surah Yasin: 38). Beliau bersabda: 'Tempat peredarannya adalah di bawah Arsy.' Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Ayasy Ar-Raqqam dan lainnya, dan juga diriwayatkan oleh Muslim dari Ishaq bin Ibrahim dan lainnya dari Waki'. Abu Sulaiman Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan mengenai firman Allah Ta'ala: 'Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.' (Surah Yasin: 38).

أَنَّ أَهْلَ التَّفْسِيْرِ وَأَصْحَابَ الْمَعَانِي قَالُوْا فِيْهِ قَوْلَيْنِ؛ قَالَ بَعْضُهُمْ: مَعْنَاهُ أَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا، أَيْ: لِأَجَلٍ أُجِّلَ لَهَا، وَقَدَرٍ قُدِّرَ لَهَا، يَعْنِي انْقِطَاعَ مُدَّةِ بَقَاءِ الْعَالَمِ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: مُسْتَقَرُّهَا غَايَةٌ مَا تَنْتَهِي إِلَيْهِ فِي صُعُودِهَا وَارْتِفَاعِهَا لِأَطْوَلِ يَوْمٍ فِي أَيَّامِ الصَّيْفِ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِي النُّزُولِ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى أَقْصَى مَشَارِقِ الشِّتَاءِ لِأَقْصَرِ يَوْمٍ فِيْ السَّنَةِ.

Para ahli tafsir dan pakar makna Al-Qur'an menyatakan dua pendapat mengenai ayat ini: Sebagian dari mereka berkata: Maknanya adalah bahwa matahari beredar menuju tempat peredarannya, yakni sampai waktu yang telah ditentukan untuknya, dan batas waktu yang telah ditetapkan untuknya, yaitu saat berakhirnya keberlangsungan dunia. Sebagian lainnya berkata: Tempat peredarannya adalah titik akhir di mana matahari mencapai puncak ketinggian dan kenaikannya pada hari terpanjang di musim panas. Kemudian, matahari mulai menurun hingga mencapai titik terjauh di timur pada musim dingin untuk hari terpendek dalam satu tahun.

وَأَمَّا قَوْلُهُ «مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ» فَلَا يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ لَهَا اسْتِقْرَارٌ مَا تَحْتَ الْعَرشِ مِنْ حَيْثِ لَا نُدْرِكُهُ وَلَا نُشَاهِدُهُ، وَإِنَّمَا أَخْبَرَ عَنْ غَيْبٍ فَلَا نُكَذِّبُ بِهِ وَلَا نُكَيِّفُهُ، لِأَنَّ عِلْمَنَا لَا يُحِيْطُ بِهِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمَعْنَى: أَنَّ عَلِمَ مَا سَأَلْتَ عَنْهُ مِنْ مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ فِي كِتَابٍ كُتِبَ فِيْهِ مَبَادِئُ أُمُوْرِ الْعَالَمِ وَنِهَايَاتُهَا، وَالْوَقْتُ الَّذِي [ص:275] تَنْتَهِي إِلَيْهِ مُدَّتُهَا، فَيَنْقَطِعُ دَوَرَانُ الشَّمْسِ وَتَسْتَقِرُّ عِنْدَ ذَلِكَ فَيَبْطُلُ فِعْلُهَا، وَهُوَ اللَّوْحُ الْمَحْفُوظُ، الَّذِي بُيِّنَ فِيْهِ أَحْوَالُ الْخَلْقِ وَالْخَلِيْقَةِ وَآجَالُهُمْ وَمَآلُ أُمُورِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِذَلِكَ.

Adapun ucapan 'tempat tetapnya di bawah ‘Arsy' (mengacu pada matahari), maka tidak mustahil bahwa ia memiliki suatu bentuk ketetapan di bawah ‘Arsy yang tidak kita pahami dan tidak kita saksikan. Ini adalah kabar tentang hal gaib, maka kita tidak mendustakannya dan tidak pula menetapkannya dengan gambaran tertentu, karena ilmu kita tidak mencakup hal tersebut. Kemungkinan maknanya adalah bahwa ilmu tentang apa yang kamu tanyakan mengenai tempat tetapnya (matahari) di bawah ‘Arsy tercatat dalam suatu kitab di mana awal mula dan akhir segala urusan alam ini telah dituliskan, termasuk waktu di mana masa matahari akan berakhir, berhenti berputar, dan menetap sehingga aktivitasnya terhenti. Kitab itu adalah Lauh Mahfuzh, di mana segala keadaan makhluk, umur mereka, dan akhir dari urusan mereka telah dijelaskan. Allah-lah yang lebih mengetahui tentang hal ini.

قَالَ الشَّيْخُ أَبُو سُلَيْمَانَ: وَفِي هَذَا ـ يَعْنِي الْحَدِيْثَ الْأَوَّلَ ـ إِخْبَارٌ عَنْ سُجُوْدِ الشَّمْسِ تَحْتَ الْعَرْشِ فَلَا يُنْكَرُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ عِنْدَ مُحَاذَاتِهَا الْعَرْشَ فِي مَسِيْرِهَا، وَالْخَبَرُ عَنْ سُجُوْدِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ جَاءَ فِي الْكِتَابِ، وَلَيْسَ فِي سُجُوْدِهَا لِرَبِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ مَا يَعُوْقُهَا عَنِ الدَّأْبِ فِيْ سَيْرِهَا وَالتَّصَرُّفِ لِمَا سُخِّرَتْ لَهُ.

Syaikh Abu Sulaiman berkata: Dalam hal ini, yakni dalam hadis yang pertama, terdapat pemberitahuan tentang sujudnya matahari di bawah ‘Arsy. Tidak mustahil hal itu terjadi ketika matahari sejajar dengan ‘Arsy dalam perjalanannya. Kabar tentang sujudnya matahari dan bulan kepada Allah Azza wa Jalla telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Sujudnya matahari kepada Tuhannya di bawah ‘Arsy tidaklah menghalanginya dari terus-menerus beredar dalam perjalanannya dan berfungsi sesuai dengan apa yang telah ditundukkan untuknya.

قَالَ: فَأَمَّا قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍ حَمِئَةٍ} [الكهف: 86] فَإِنَّهُ لَيْسَ بِمُخَالِفٍ لَمَّا جَاءَ فِيْ هَذَا الْخَبَرِ مِنْ أَنَّ الشَّمْسَ تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، لِأَنَّ الْمَذْكُوْرَ فِي الْآيَةِ إِنَّمَا هُوَ نِهَايَةُ مُدْرِكِ الْبَصَرِ إِيَّاهَا حَالَ الْغُرُوْبِ، وَمَصِيْرُهَا تَحْتَ الْعَرْشِ لِلسُّجُوْدِ إِنَّمَا هُوَ بَعْدَ غُرُوْبِهَا فِيْمَا دَلَّ عَلَيْهِ لَفْظُ الْخَبَرِ، فَلَيْسَ بَيْنَهُمَا تَعَارُضٌ

Ia berkata: Adapun firman Allah Azza wa Jalla: "Hingga apabila dia telah sampai pada tempat terbenam matahari, dia mendapati matahari terbenam di mata air yang berlumpur hitam" (QS. Al-Kahfi: 86), maka itu tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam hadis bahwa matahari pergi hingga bersujud di bawah ‘Arsy. Sebab, yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah tentang batas penglihatan mata terhadap matahari saat terbenam, sedangkan keberadaan matahari di bawah ‘Arsy untuk bersujud adalah setelah terbenamnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh redaksi hadis. Maka, tidak ada kontradiksi antara keduanya.

وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِهِ {تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ} [الكهف: 86] أَنَّهَا تَسْقُطُ فِي تِلْكَ الْعَيْنِ فَتَغْمُرُهَا، وَإِنَّمَا هُوَ خَبَرٌ عَنِ الْغَايَةِ الَّتِي بَلَغَهَا ذُو الْقَرْنَيْنِ فِي مَسِيْرِهِ حَتَّى لَمْ يَجِدْ وَرَاءَهَا مَسْلَكًا فَوَجَدَ الشَّمْسَ تَتَدَلَّى عِنْدَ غُرُوْبِهَا فَوْقَ هَذِهِ الْعَيْنِ، أَوْ عَلَى سَمْتِ هَذِهِ الْعَيْنِ، وَكَذَلِكَ يَتَرَاءَى غُرُوْبُ الشَّمْسِ لِمَنْ كَانَ فِي الْبَحْرِ وَهُوَ لَا يَرَى السَّاحِلَ، يَرَى الشَّمْسَ كَأَنَّهَا تَغِيْبُ فِي الْبَحْرِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْحَقِيْقَةِ تَغِيبُ وَرَاءَ الْبَحْرِ، وَفِيْ هَهُنَا بِمَعْنَى فَوْقَ، أَوْ بِمَعْنَى عَلَى، وَحُرُوْفُ الصِّفَاتِ تُبَدَّلُ بَعْضُهَا مَكَانَ بَعْضٍ

Makna firman Allah "terbenam di mata air yang berlumpur hitam" bukanlah bahwa matahari benar-benar jatuh ke dalam mata air tersebut sehingga tenggelam di dalamnya. Sebaliknya, ini adalah kabar tentang batas perjalanan Dzulqarnain, hingga ia tidak menemukan jalan lebih jauh dari itu, dan ia mendapati matahari tampak condong saat terbenam di atas atau sejajar dengan mata air itu. Demikian pula orang yang berada di lautan, yang tidak melihat daratan, akan melihat matahari tampak seperti terbenam di laut. Padahal, sebenarnya matahari terbenam di balik lautan. Dalam konteks ini, kata “di” memiliki makna “di atas” atau “sejajar dengan”. Huruf-huruf yang menunjukkan sifat atau posisi sering kali saling menggantikan dalam penggunaan.

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ، أنا أَبُو الْقَاسِمُ سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ اللَّخْمِيُّ، ثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، ثَنَا قَبِيْصَةُ، ح. وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، ثنا الْفِرْيَابِيُّ، قَالَا: [ص:276] ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُوْدِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ لُطِمَ وَجْهُهُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِكَ لَطَمَ وَجْهِيْ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ادْعُوْهُ» . فَدَعَوْهُ، فَقَالَ: «لِمَ لَطَمَتْ وَجْهَهُ؟» فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي مَرَرْتُ بِالسُّوْقِ وَهُوَ يَقُوْلُ: وَالَّذِي اصْطَفَى مُوسَى عَلَى الْبَشَرِ. فَقُلْتُ: يَا خَبِيْثُ وَعَلَى مُحَمَّدٍ؟ فَأَخَذَتْنِيْ غَضْبَةٌ فَلَطَمْتُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: «لَا تُخَيِّرُوْا بَيْنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يُصْعَقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَكُوْنُ أَوَّلَ مِنْ يُفِيْقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوْسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ، فَلَا أَدْرِيْ أَفَاقَ قَبْلِيْ أَوْ جُوْزِيَ بِصَعْقَتِهِ» . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيْحِ عَنِ الْفِرْيَابِيِّ، وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ أَوْجُهٍ أُخَرَ عَنْ سُفْيَانَ

Telah memberitakan kepada kami Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Abdan, berkata: Aku diberitahu oleh Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Lakhmi, berkata: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar, berkata: Telah menceritakan kepada kami Qabisah. Dan telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Maryam, berkata: Telah menceritakan kepada kami al-Firyabi, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr bin Yahya, dari ayahnya, dari Abu Sa'id, ia berkata: Seorang lelaki dari kalangan Yahudi datang kepada Nabi Muhammad dalam keadaan wajahnya telah dipukul. Ia berkata: "Wahai Muhammad, seseorang dari sahabatmu telah menampar wajahku." Maka Nabi bersabda: "Panggil dia." Lalu mereka memanggilnya. Nabi bertanya kepadanya: "Mengapa engkau menampar wajahnya?" Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, aku melewati pasar dan dia mengatakan, 'Demi Allah yang telah memilih Musa di atas seluruh manusia.' Maka aku berkata, 'Wahai orang jahat, bagaimana dengan Muhammad?' Lalu aku marah dan menampar wajahnya." Rasulullah bersabda: "Janganlah kalian saling mengutamakan di antara para nabi. Sesungguhnya manusia akan dibuat pingsan pada Hari Kiamat, dan aku adalah yang pertama kali sadar. Ketika itu aku melihat Musa memegang salah satu tiang dari tiang-tiang ‘Arsy. Aku tidak tahu apakah ia sadar lebih dulu dariku ataukah ia mendapat balasan karena telah pingsan sebelumnya." Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari al-Firyabi, dan juga oleh Muslim dari beberapa jalur lainnya dari Sufyan. 

أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، أنا أَبُو الْحُسَيْنِ أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ، ثَنَا أَبُو قِلَابَةَ الرَّقَاشِيُّ، ثنا أَبُو الْوَلِيْدِ، وَحَبَّانُ قَالَا: ثَنَا شُعْبَةُ، أَخْبَرَنَا الْمُغِيْرَةُ بْنُ النُّعْمَانِ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكُمْ مَحْشُوْرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً، وَأَوَّلُ مِنْ يُكْسَى مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، يُكْسَى حُلَّةً مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُؤْتَى بِكُرْسِيٍّ فَيُطْرَحُ لَهُ عَنْ يَمِيْنِ الْعَرْشِ، ثُمَّ يُؤْتَى بِيْ فَأُكْسَى حُلَّةً مِنَ الْجَنَّةِ لَا يَقُوْمُ لَهَا البَشْرُ، ثُمَّ أُوتَى بِكُرْسِيٍّ فَيُطْرَحُ لِي عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ

Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Zakariya bin Abi Ishaq, dari Abu Husain Ahmad bin Utsman, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Qilabah ar-Raqasyi, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu al-Walid, dan Habbān, keduanya berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Syu‘bah, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami al-Mughirah bin an-Nu‘man, ia berkata: Aku mendengar Sa‘id bin Jubair berkata: Aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan dalam keadaan tidak beralas kaki (hufaatan), telanjang (‘uraatan). Dan yang pertama kali diberi pakaian dari surga pada hari kiamat adalah Ibrahim ‘alaihis salam, ia akan diberi pakaian dari surga, lalu didatangkan sebuah kursi yang diletakkan di sebelah kanan ‘Arsy. Kemudian aku didatangkan dan aku pun diberi pakaian dari surga, pakaian yang tidak mampu dikenakan oleh manusia biasa. Setelah itu aku didatangkan sebuah kursi yang diletakkan di atas kaki ‘Arsy.

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ هُوَ الْأَصَمُّ، ثنا الْعَبَّاسُ الدُّورِيُّ، ثنا أَبُو عَاصِمٍ النَّبِيلُ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَوَّلُ مَنْ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ قُبْطِيَّتَيْنِ، وَالنَّبِيُّ حُلَّةً حِبَرَةً وَهُوَ عَنْ يَمِيْنِ الْعَرْشِ

Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Abdillah al-Hafizh, dari Abu al-Abbas, yaitu al-Asham, dari al-Abbas ad-Duri, dari Abu ‘Ashim an-Nabil, dari Sufyan, dari Amr bin Qais, dari al-Minhāl bin Amr, dari Abdullah bin al-Harith, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Orang yang pertama kali diberi pakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim, berupa dua kain Qibthi, dan Nabi Muhammad akan diberi pakaian berupa hullah hibarah (kain yang dihias indah). Beliau akan berada di sebelah kanan ‘Arsy."

أَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَرْبِيُّ بِبَغْدَادَ، ثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ الْفَقِيهُ، ثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثَنَا ابْنُ أَبِيْ أُوَيْسٍ، ثَنَا مَالِكٌ، عَنْ [ص:279] أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ كِتَابًا فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ: إِنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ ". رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ أَبِيْ أُوَيْسٍ.

Diriwayatkan kepada kami oleh Abu al-Qasim Abdurrahman bin Ubaidillah al-Harbi di Baghdad, dari Abu Bakar Ahmad bin Salman al-Faqih, dari Ismail bin Ishaq, dari Ibnu Abi Uwais, dari Malik, dari Abu az-Zinad, dari al-A'raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah bersabda: 'Ketika Allah selesai menciptakan makhluk, Dia menulis dalam sebuah kitab, maka kitab itu di sisi-Nya di atas ‘Arsy: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.’" Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Ismail bin Abi Uwais.

وَقَالَ أَبُوْ سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مَعْنَى هَذَا الْحَدِيْثِ: الْقَوْلُ فِيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ: أَنَّهُ أَرَادَ بِالْكِتَابِ أَحَدَ شَيْئَيْنِ إِمَّا: الْقَضَاءَ الَّذِي قَضَاهُ وَأَوْجَبَهُ كَقَوْلِهِ: {كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي} [المجادلة: 21] أَيْ: قَضَى اللَّهُ وَأَوْجَبَ، وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ: فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ. أَيْ: فَعِلْمُ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى فَوْقَ الْعَرْشِ لَا يَنْسَاهُ وَلَا يَنْسَخُهُ وَلَا يُبَدِّلُهُ، كَقَوْلِهِ جَلَّ وَعَلَا: {قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى} [طه: 52] ؛ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ أَرَادَ بِالْكِتَابِ اللَّوْحَ الْمَحْفُوظَ الَّذِي فِيْهِ ذِكْرُ أَصْنَافِ الْخَلْقِ وَالْخَلِيْقَةِ، وَبَيَانُ أُمُوْرِهِمْ وَذِكْرُ آجَالِهِمْ وَأَرْزَاقِهِمْ، وَالْأَقْضِيَةُ النَّافِذَةُ فِيْهِمْ، وَمَآلُ عَوَاقِبِ أُمُورِهِمْ،

Abu Sulaiman Al-Khattabi, semoga Allah merahmatinya, berkata mengenai makna hadis ini:

Pendapat tentangnya, dan Allah lebih mengetahui, adalah bahwa yang dimaksud dengan "kitab" dalam hadis ini adalah salah satu dari dua hal:

1.     Ketetapan yang telah ditetapkan dan diwajibkan oleh Allah, seperti firman-Nya:
"Allah telah menetapkan, 'Aku dan Rasul-rasul-Ku pasti akan menang.'" (QS. Al-Mujadilah: 21). Artinya: Allah telah menetapkan dan mewajibkan hal itu.
Adapun maksud dari ucapannya: "Kitab itu di sisi-Nya di atas 'Arsy." Artinya, ilmu tentang hal tersebut di sisi Allah, berada di atas 'Arsy. Ia tidak akan dilupakan, tidak akan dihapus, dan tidak akan diubah, sebagaimana firman-Nya yang Mahaluhur: "Ilmunya ada di sisi Tuhanku dalam kitab. Tuhanku tidak akan salah dan tidak akan lupa." (QS. Thaha: 52).

2.  Yang dimaksud dengan kitab adalah Lauhul Mahfuzh, yaitu kitab yang di dalamnya terdapat catatan tentang berbagai macam makhluk dan ciptaan, rincian urusan mereka, catatan tentang ajal mereka, rezeki mereka, ketetapan yang berlaku atas mereka, serta akhir dari semua urusan mereka.

Qultu :

Perkataan : "ilmu tentang hal tersebut di sisi Allah Ta’ala", maksudnya ilmu tersebut diketahui oleh Allah ta'ala, tidak akan dilupakan, tidak akan dihapus, dan tidak akan diubah. Lalu perkataan: "Berada di atas Arsy", maksudnya kitabnya yang berada di atas Arsy.

وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ: فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ . أَيْ: فَذِكْرُهُ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ، وَيُضْمَرُ فِيْهِ الذِّكْرُ أَوِ الْعِلْمُ، وَكُلُّ ذَلِكَ جَائِزٌ فِي الْكَلَامِ، سَهْلٌ فِي التَّخْرِيجِ، عَلَى أَنَّ الْعَرْشَ خَلْقُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَخْلُوقٌ لَا يستحيلُ أَنْ يَمَسَّهُ كِتَابُ مَخْلُوقٌ، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ حَمَلَةُ الْعَرْشِ قَدْ رُوِيَ أَنَّ الْعَرْشَ عَلَى كَوَاهِلِهِمْ، وَلِيسَ يَسْتَحِيلُ أَنْ يُمَاسُّوا الْعَرْشَ إِذَا حَمَلُوهُ، وَإِنْ كَانَ حَامِلُ الْعَرْشِ وَحَامِلُ حَمَلْتِهِ فِي [ص:280] الْحَقِيقَةِ هُوَ اللَّهُ تَعَالَى.

Dan makna ucapannya: "kitab itu di sisi-Nya di atas 'Arsy," adalah bahwa catatan itu di sisi-Nya di atas 'Arsy. Di dalamnya terkandung maksud "catatan" atau "ilmu," dan semua itu adalah kemungkinan yang dapat diterima dalam penggunaan bahasa. Penafsiran ini mudah dijelaskan, karena 'Arsy adalah ciptaan Allah 'azza wa jalla, dan tidak mustahil jika kitab yang juga merupakan ciptaan Allah menyentuhnya. Para malaikat yang memikul 'Arsy diriwayatkan bahwa 'Arsy berada di atas pundak mereka. Tidak mustahil bagi mereka untuk bersentuhan dengan 'Arsy ketika mereka memikulnya. Meskipun yang memikul 'Arsy dan memikul para pemikulnya hakikatnya adalah Allah Ta’ala.

وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِ الْمُسْلِمِينَ: إِنَّ اللَّهَ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، هُوَ أَنَّهُ مُمَاسٌّ لَهُ، أَوْ مُتَمَكِّنٌ فِيهِ، أَوْ مُتَحَيِّزٌ فِي جِهَةٍ مِنْ جِهَاتِهِ، لَكِنَّهُ بَائِنٌ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ خَبَرٌ جَاءَ بِهِ التَّوْقِيفُ فَقُلْنَا بِهِ، وَنَفَيْنَا عَنْهُ التَّكْيِيفَ، إِذْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ "

Adapun makna perkataan kaum Muslimin bahwa "Allah beristawa di atas 'Arsy" bukanlah berarti bahwa Allah bersentuhan dengannya, atau berada di dalamnya, atau berada dalam salah satu arah dari arah-arah Arsy. Namun, Allah terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Pernyataan ini hanyalah berita yang datang melalui wahyu, maka kami mengatakannya tanpa menetapkan bentuk atau cara tertentu. Karena tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Qultu :

Yang dimaksud terpisah yang dikatakan Imam Baihaqi bukanlah terpisah dengan jarak atau menyentuh, sebagaimana nanti akan dijelaskan oleh Imam Baihaqi di dalam bab selanjutnya setelah bab ini. Maksud yang dikehendaki adalah menetapkan dzat Allah tidak menyatu dengan mahluk, tidak bercampur dengan mahluk dan tidak melazimkan darinya terpisah dengan jarak atau menyentuh. Adapun terpisah dengan jarak, menyentuh dan menyatu adalah sifat-sifat jisim, Allah suci dari sifat-sifat itu semua karena Allah bukan jisim dan yang demikian jelas masuk akal.

Di dalam bab ini Imam Baihaqi menjelaskan bahwa sabda Rasulullah  :

فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ

"Maka kitab itu di sisi Nya di atas Arsy"

Bukanlah dalil dzat Allah berada di atas Arsy. Ini adalah jawaban bagi Wahabi yang sering mengutip hadits tersebut untuk menguatkan keyakinan mereka yang meyakini dzat Allah menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy. Oleh sebab itu Imam Baihaqi dengan tegas menyatakan bahwa makna dari perkataan Allah beristawa di atas Arsy bukan Allah menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy. 

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ، أنا أَبُوْ جَعْفَرٍ الرَّزَّازُ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثَنَا أَبُوْ مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِيْ سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدِ اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Diriwayatkan oleh Abu Al-Husain bin Bisyran, dari Abu Ja’far Ar-Razzaz, dari Ahmad bin Abd Al-Jabbar, dari Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh, Arsy (singgasana) Ar-Rahman bergetar karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu."

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُؤَذِّنُ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ هُوَ ابْنُ خُزَيْمَةَ، ثَنَا أَبُوْ مُوْسَى، ثَنَا أَبُو الْمُسَاوِرِ الْفَضْلُ بْنُ الْمُسَاوِرِ، ثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِيْ سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Abdillah Al-Hafizh, yang berkata: Diceritakan kepadaku oleh Abu Al-Hasan Muhammad bin Abdillah Al-Mu’addzin, dari Muhammad bin Ishaq (yaitu Ibnu Khuzaimah), dari Abu Musa, dari Abu Musawir Al-Fadhl bin Al-Musawir, dari Abu Awanah, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Arsy bergetar karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu".

وَعَنِ الْأَعْمَشِ، ثنا أَبُو صَالِحٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ. قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فَإِنَّ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: اهْتَزَّ السَّرِيْرُ. فَقَالَ: إِنَّهُ كَانَ بَيْنَ هَذَيْنِ الْحَيَّيْنِ ـ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ ـ ضَغَائِنُ، سَمِعْتُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ عَنْ أَبِي مُوسَى، وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ، وَمِنْ حَدِيثِ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Diriwayatkan dari Al-A’masy, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Shalih, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu (hadits sebelumnya). Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata:
Lalu seorang lelaki berkata kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu, "Sesungguhnya Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan: 'Yang bergetar adalah tempat tidur (jenazah).'" Jabir menjawab: "Antara kedua kabilah ini – al Aus dan al Khazraj - terdapat permusuhan (dahulu), tetapi aku mendengar Nabi Allah bersabda: 'Arsy Ar-Rahman bergetar karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu.'" Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Abu Musa, dan juga oleh Muslim melalui jalur lain dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Juga melalui riwayat Abu Az-Zubair dari Jabir, dan dari riwayat Qatadah dari Anas radhiyallahu ‘anhum. 

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ بَكْرِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الرُّزِّيُّ، ثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، أَنَا سَعِيْدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، ثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَجَنَازَةُ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْضُوْعَةٌ: اهْتَزَّ لَهَا عَرْشُ الرَّحْمَنِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرُّزِّيِّ.

Telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafizh, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abdullah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Ar-Ruzzi, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Atha`, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik, radhiyallahu 'anhu, ia berkata:"Sesungguhnya Nabi Allah , bersabda - ketika jenazah Sa'd, radhiyallahu 'anhu, diletakkan: 'Arsy Ar-Rahman Tabaraka wa Ta'ala berguncang karenanya.'" Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad bin Abdullah Ar-Ruzzi.

قَالَ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَهْدِيٍّ الطَّبَرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: الصَّحِيْحُ مِنَ التَّأْوِيْلِ فِي هَذَا أَنْ يُقَالَ: الِاهْتِزَازُ هُوَ الِاسْتِبْشَارُ وَالسُّرُوْرُ، يُقَالُ: إِنَّ فُلَانًا يَهْتَزُّ لِلْمَعْرُوْفِ، أَيْ يَسْتَبْشِرُ وَيُسَرُّ بِهِ، وَذَكَرَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ الْكَلَامِ وَالشِّعْرِ. قَالَ: وَأَمَّا الْعَرْشُ فَعَرْشُ الرَّحْمَنِ عَلَى مَا جَاءَ فِي الْحَدِيْثِ، وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ حَمَلَةَ الْعَرْشِ الَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَهُ وَيَحِفُّوْنَ حَوْلَهُ فَرِحُوْا بِقُدُوْمِ رُوْحِ سَعْدٍ عَلَيْهِمْ، فَأَقَامَ الْعَرْشَ مَقَامَ مَنْ يَحْمِلُهُ وَيَحِفُّ بِهِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، كَمَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذَا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ. يُرِيدُ: أَهْلَهُ. كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ} [الدخان: ٢٩] يُرِيدُ: أَهْلَهَا.

Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thabari, rahimahullah, berkata:
"Penafsiran yang benar dalam hal ini adalah dikatakan bahwa ihtizaz (berguncang) bermakna kegembiraan dan kesenangan. Dikatakan: 'Si Fulan berguncang karena sesuatu yang baik,' maksudnya adalah ia merasa gembira dan senang dengannya. Hal ini disebutkan dalam berbagai ungkapan dan syair." Ia berkata: "Adapun Arsy, maka Arsy Ar-Rahman sesuai yang disebutkan dalam hadits. Maknanya adalah para malaikat pemikul Arsy, yang memikulnya dan berada di sekelilingnya, bergembira dengan kedatangan ruh Sa’d kepada mereka. Maka, Arsy diungkapkan sebagai pengganti bagi para pemikulnya dan yang mengelilinginya dari kalangan malaikat, sebagaimana Nabi, shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda: 'Ini adalah gunung yang mencintai kami dan kami pun mencintainya.' Yang dimaksud adalah penduduknya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
"Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka." ([Ad-Dukhan: 29]) Yang dimaksud adalah penduduknya."

وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ: إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَسْتَبْشِرُ بِرُوحِ الْمُؤْمِنِ، وَإِنَّ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ بَابًا فِي السَّمَاءِ يَصْعَدُ فِيهِ عَمَلُهُ، وَيَنْزِلُ مِنْهُ رِزْقُهُ، وَيَعْرُجُ فِيهِ رُوحُهُ إِذَا مَاتَ. وَكَأَنَّ حَمَلَةَ الْعَرْشِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فَرِحُوْا وَاسْتَبْشَرُوْا بِقُدُوْمِ رُوْحِ سَعْدٍ عَلَيْهِمْ، لِكَرَامَتِهِ وَطِيْبِ رَائِحَتِهِ، وَحُسْنِ عَمَلِ صَاحِبِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اهْتَزَّ لَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan telah disebutkan dalam hadits bahwa para malaikat bergembira dengan kedatangan ruh seorang mukmin. Setiap mukmin memiliki sebuah pintu di langit yang naik melalui pintu tersebut amalnya, dan melalui pintu itu pula rezekinya turun, serta ruhnya naik ketika ia meninggal dunia. Seakan-akan para malaikat pemikul Arsy merasa gembira dan bersuka cita dengan kedatangan ruh Sa’d kepada mereka, karena kemuliaannya, harum wanginya, dan baiknya amal pemilik ruh tersebut. Maka Nabi, , bersabda: 'Arsy Ar-Rahman Tabaraka wa Ta’ala berguncang karenanya.' Dan Allah lebih mengetahui." 

أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمُّدٍ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ الْفَقِيْهُ الطُّوْسِيُّ، ثَنَا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الْكَارِزِيُّ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الصَّائِغُ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ هِلَالِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، هَاجَرَ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ الَّتِي قَدْ وُلِدَ فِيْهَا . قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أَفَلَا نُبَشِّرُ النَّاسَ بِذَلِكَ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِلْجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُهَاجِرِينَ ـ أَوْ قَالَ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ تَعَالَى ـ كُلُّ دَرَجَتَيْنِ مَا بَيْنَهُمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ تَعَالَى فَسَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ، وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ، وَمِنْهُ تُفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُنْذِرِ، وَقَالَ لِلْمُجَاهِدِيْنَ

Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim Al-Faqih At-Thusi meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Abu Al-Hasan Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Karizi meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Muhammad bin Ali As-Sa’igh meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Al-Munzir meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Muhammad bin Fulaikh meriwayatkan kepadaku dari ayahnya, dari Hilal bin Ali, dari ‘Atha bin Yasar, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mendirikan salat, serta berpuasa di bulan Ramadhan, maka menjadi hak Allah Ta’ala untuk memasukkannya ke dalam surga, baik ia berhijrah di jalan Allah atau tetap tinggal di tanah tempat kelahirannya." Mereka (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, tidakkah kami kabarkan berita gembira ini kepada manusia?" Beliau bersabda: "Sesungguhnya surga memiliki seratus tingkatan yang telah Allah persiapkan untuk orang-orang yang berhijrah — atau beliau berkata untuk para mujahid di jalan Allah Ta’ala. Antara dua tingkatan terdapat jarak seperti antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena Firdaus adalah bagian tengah surga dan bagian tertinggi darinya. Di atasnya terdapat Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan darinya memancar sungai-sungai surga."

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Ibrahim bin Al-Munzir, dan ia mengatakan: "Untuk para mujahid.

حَدَّثَنَا أَبُوْ الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْعَلَوِيُّ، أنا أَبُوْ حَامِدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ بِلَالٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النَّصْرَابَاذِيُّ قَالَا: ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِيْ أَبِيْ، حَدَّثَنِيْ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ، مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيْرَةُ سَبْعِمِائَةِ عَامٍ

Abu Al-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-'Alawi meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Yahya bin Bilal dan Abdullah bin Muhammad An-Nasrabadzi berkata kepada kami: Ahmad bin Hafsh bin Abdullah meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Ayahku meriwayatkan kepadaku, ia berkata: Ibrahim bin Tahman meriwayatkan kepadaku dari Musa bin ‘Uqbah, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: "Diizinkan bagiku untuk menceritakan tentang salah satu malaikat Allah Ta’ala dari para pembawa ‘Arsy. Jarak antara daun telinganya hingga pundaknya adalah sejauh perjalanan tujuh ratus tahun."

أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوْذْبَارِيُّ، أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، ثَنَا أَبُوْ دَاوُدَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ أَبِيْ ثَوْرٍ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمِيْرَةَ، عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ فِي الْبَطْحَاءِ فِي عِصَابَةٍ فِيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرَّتْ سَحَابَةٌ فَنَظَرَ إِلَيْهَا فَقَالَ: مَا تُسَمُّوْنَ هَذِهِ؟ قَالُوْا: السَّحَابَ، قَالَ: وَالْمُزْنَ؟ قَالُوْا: وَالْمُزْنَ. قَالَ: وَالْعَنَانَ؟ قَالُوْا: وَالْعَنَانَ. قَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ بُعْدَ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ؟ قَالُوْا: لَا نَدْرِيْ. قَالَ: إِنَّ بُعْدَ مَا بَيْنَهُمَا إِمَّا وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَانِ أَوْ ثَلَاثٌ وَسَبْعُوْنَ سَنَةً، ثُمَّ السَّمَاءُ فَوْقَهَا كَذَلِكَ، حَتَّى عَدَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ، ثُمَّ مِنْ فَوْقِ السَّابِعَةِ بَحْرٌ بَيْنَ أَسْفَلِهِ وَأَعْلَاهُ كَمَا بَيْنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ، ثُمَّ فَوْقَ ذَلِكَ ثَمَانِيَةُ أَوْعَالٍ بَيْنَ أَظْلَافِهِمْ وَرُكَبِهِمْ مِثْلُ مَا بَيْنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ، ثُمَّ عَلَى ظُهُوْرِهِمُ الْعَرْشُ مَا بَيْنَ أَسْفَلِهِ وَأَعْلَاهُ مِثْلُ مَا بَيْنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ، ثُمَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى جَلَّ ثَنَاؤُهُ فَوْقَ ذَلِكَ. قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ: وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ سِمَاكٍ بِإِسْنَادِهِ وَمَعْنَاهُ

Abu ‘Ali Ar-Rudzbari meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Abu Bakr bin Dasa meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Abu Dawud meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Ash-Shabbah Al-Bazzaz meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Al-Walid bin Abi Tsaur meriwayatkan kepada kami dari Simak, dari Abdullah bin ‘Amirah, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku berada di Al-Batha bersama sekelompok orang yang di antara mereka terdapat Rasulullah . Kemudian lewatlah segumpal awan, maka beliau memandang ke arahnya dan bertanya: "Apa yang kalian sebut ini?" Mereka menjawab: "As-sahab (awan)." Beliau berkata: "Dan apakah kalian menyebutnya al-muzn (awan hujan)?" Mereka menjawab: "Ya, al-muzn juga." Beliau bertanya lagi: "Dan apakah kalian menyebutnya al-‘anan (awan di langit)?" Mereka menjawab: "Ya, al-‘anan juga." Kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian mengetahui seberapa jauh jarak antara langit dan bumi?" Mereka menjawab: "Kami tidak tahu." Beliau bersabda:
"Sesungguhnya jarak antara keduanya adalah satu, dua, atau tiga dan tujuh puluh tahun perjalanan. Kemudian langit di atasnya seperti itu juga, hingga beliau menyebutkan tujuh lapis langit. Lalu di atas langit ketujuh terdapat lautan, jarak antara dasar dan permukaannya seperti jarak antara satu langit ke langit lainnya. Di atasnya terdapat delapan ekor hewan (ou’al) yang jarak antara kuku dan lututnya seperti jarak antara satu langit ke langit lainnya. Di atas punggung mereka terdapat Arsy, jarak antara bagian bawah dan bagian atasnya seperti jarak antara satu langit ke langit lainnya. Kemudian Allah Tabaraka wa Ta’ala, yang Mahatinggi lagi Mahamulia, di atasnya." Abu Dawud berkata: "Dan Ahmad bin Hafsh meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Ayahku meriwayatkan kepadaku dari Ibrahim bin Tahman, dari Simak dengan sanadnya dan maknanya."

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُوْ سَعِيْدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو قَالَا: ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ هُوَ الْأَصَمُّ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثَنَا كَثِيْرُ بْنُ هِشَامٍ، ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ، ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ الْأَصَمِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَمَلَةُ الْعَرْشِ مَا بَيْنَ كَعْبِ أَحَدِهِمْ إِلَى أَسْفَلِ قَدَمِهِ مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ. وَذَكَرَ أَنَّ خُطْوَةَ مَلَكِ الْمَوْتِ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: حَمَلَةُ الْعَرْشِ مِنْهُمْ مَنْ صُورَتُهُ صُورَةُ الْإِنْسَانِ، وَمِنْهُمْ مَنْ صُورَتُهُ صُورَةُ النَّسْرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ صُورَتُهُ صُورَةُ الثَّوْرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ صُورَتُهُ صُورَةُ الْأَسَدِ

Abu Abdullah Al-Hafizh dan Abu Sa’id bin Abi Amr meriwayatkan kepada kami, mereka berkata: Abu Al-Abbas, yaitu Al-Asham, meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Ishaq meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Katsir bin Hisyam meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Ja’far bin Burqan meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Yazid bin Al-Asham meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: "Para pembawa ‘Arsy, jarak antara mata kaki salah seorang dari mereka hingga bagian bawah kakinya adalah perjalanan lima ratus tahun." Dan disebutkan bahwa: "Langkah Malaikat Maut adalah sejauh jarak antara timur dan barat." Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: "Para pemikul ‘Arsy, ada yang berbentuk seperti manusia, ada yang berbentuk seperti elang, ada yang berbentuk seperti banteng, dan ada yang berbentuk seperti singa."

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، ثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِيْ إِيَاسَ، ثَنَا شَيْبَانُ، ثَنَا قَتَادَةُ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَا هَذِهِ الَّتِي فَوْقَكُمْ؟ فَقَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: " فَإِنَّهَا الرَّفِيعُ: سَقْفٌ مَحْفُوظٌ، وَمَوْجٌ مَكْفُوفٌ. هَلْ تَدْرُونَ كَمْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا؟ " قَالُوْا: اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا مَسِيْرَةَ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَهَا وَبَيْنَ السَّمَاءِ الْأُخْرَى مِثْلُ ذَلِكَ. حَتَّى عَدَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ، وَغِلَظُ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، ثُمَّ قَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَا فَوْقَ ذَلِكَ؟ " قَالُوْا: اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّ فَوْقَ ذَلِكَ الْعَرْشُ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ. ثُمَّ قَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَا هَذِهِ الَّتِي تَحْتَكُمْ؟ قَالُوْا: اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّهَا الْأَرْضُ وَبَيْنَهَا وَبَيْنَ الْأَرْضِ الَّتِي تَحْتَهَا مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ. حَتَّى عَدَّ سَبْعَ أَرَضِيْنَ وَغِلَظُ كُلُّ أَرْضٍ مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ"، ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّكُمْ دَلَّيْتُمْ أَحَدَكُمْ بِحَبْلٍ إِلَى الْأَرْضِ السَّابِعَةِ لَهَبَطَ عَلَى اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. ثُمَّ قَرَأَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخَرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ} [الحديد: 3] .

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdurrahman bin Al-Hasan Al-Qadhi, berkata: Telah memberitakan kepada kami Ibrahim bin Al-Husain, berkata: Telah memberitakan kepada kami Adam bin Abi Iyas, berkata: Telah memberitakan kepada kami Syaiban, berkata: Telah memberitakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, semoga Allah meridainya, ia berkata: Rasulullah bersabda: "Apakah kalian tahu apa ini yang ada di atas kalian?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Sesungguhnya itu adalah langit yang tinggi: atap yang terjaga, dan gelombang yang tertahan. Apakah kalian tahu jarak antara kalian dan langit itu?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Sesungguhnya jarak antara kalian dan langit itu adalah perjalanan lima ratus tahun, dan antara langit itu dengan langit berikutnya juga seperti itu." Beliau menyebutkan hingga tujuh langit, dan ketebalan setiap langit adalah perjalanan lima ratus tahun. Kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian tahu apa yang ada di atas itu?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Sesungguhnya di atas itu adalah Arsy, dan jarak antara Arsy dan langit ketujuh adalah perjalanan lima ratus tahun." Kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian tahu apa yang ada di bawah kalian ini?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Sesungguhnya itu adalah bumi, dan antara bumi itu dengan bumi di bawahnya adalah perjalanan lima ratus tahun." Beliau menyebutkan hingga tujuh bumi, dan ketebalan setiap bumi adalah perjalanan lima ratus tahun. Kemudian Rasulullah bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya kalian menjulurkan tali hingga ke bumi ketujuh, niscaya akan sampai kepada Allah, Tabaraka wa Ta’ala." Kemudian Rasulullah membaca ayat: "Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin." (QS. Al-Hadid: 3).

قُلْتُ: هَذِهِ الرِّوَايَةُ فِي مَسِيْرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ اشْتَهَرَتْ فِيْمَا بَيْنَ النَّاسِ، وَرُوِّينَا عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ قَوْلِهِ مِثْلَهَا، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَخْتَلِفَ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ قُوَّةِ السَّيْرِ وَضَعْفِهِ، وَخِفَّتِهِ وَثِقَلِهِ، فَيَكُونُ بِسَيْرِ الْقَوِيِّ أَقَلُّ، وَبِسَيْرِ الضَّعِيْفِ أَكْثَرُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ. وَالَّذِي رُوِيَ فِي آخِرِ هَذَا الْحَدِيْثِ إِشَارَةٌ إِلَى نَفْيِ الْمَكَانِ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، وَأَنَّ الْعَبْدَ أَيْنَمَا كَانَ فَهُوَ فِي الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى سَوَاءٌ، وَأَنَّهُ الظَّاهِرُ، فَيَصِحُّ إِدْرَاكُهُ بِالْأَدِلَّةِ؛ الْبَاطِنُ، فَلَا يَصِحُّ إِدْرَاكُهُ بِالْكَوْنِ فِيْ مَكَانٍ. وَاسْتَدَلَّ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِي نَفْيِ الْمَكَانِ عَنْهُ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ. وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ ". وَإِذَا لَمْ يَكُنْ فَوْقَهُ شَيْءٌ وَلَا دُونَهُ شَيْءٌ لَمْ يَكُنْ فِي مَكَانٍ. وَفِي رِوَايَةِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ انْقِطَاعٌ، وَلَا ثَبَتَ سَمَاعُهُ مِنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، وَرُوِيَ مِنْ وَجْهٍ آَخَرٍ مُنْقَطِعٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرْفُوعًا

Aku (al Baihaqi) berkata : Riwayat tentang perjalanan lima ratus tahun ini sudah masyhur di kalangan manusia. Kami juga meriwayatkan hal yang serupa dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu dari ucapannya sendiri. Perbedaan waktu perjalanan ini bisa jadi tergantung pada kekuatan dan kelemahan perjalanan, atau pada kecepatan dan lambatnya. Dengan perjalanan yang cepat akan lebih singkat, sedangkan perjalanan yang lambat lebih lama. Hanya Allah yang mengetahui. Adapun pada akhir hadits ini terdapat penjelasan yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak terikat dengan tempat. Seorang hamba, di mana pun dia berada, dalam kedekatan atau kejauhan dari Allah adalah sama. Allah adalah Yang Zhahir, sehingga keberadaan-Nya dapat disaksikan melalui bukti-bukti. Dan Dia adalah Yang Batin, sehingga tidak dapat dicapai melalui keberadaan-Nya di tempat tertentu. Sebagian ulama menggunakan sabda Nabi untuk menafikan tempat dari Allah: "Engkau adalah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu pun di atas-Mu. Dan Engkau adalah Yang Batin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu." Jika tidak ada sesuatu pun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya, maka Dia tidak terikat tempat. Dalam riwayat Al-Hasan dari Abu Hurairah terdapat inqitha' (keterputusan), karena tidak terbukti bahwa Al-Hasan mendengar langsung dari Abu Hurairah. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain secara munqathi' dari Abu Dzar secara marfu'. 

أَخْبَرَنَاهُ أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُوْ سَعِيْدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو قَالَا: ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوْبَ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثَنَا أَبُوْ مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي نَصْرٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَيْنَ الْأَرْضِ إِلَى السَّمَاءِ مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ، وَغِلَظُ السَّمَاءِ الدُّنْيَا مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ، وَمَا بَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي تَلِيْهَا مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ، وَالْأَرَضِيْنَ مِثْلُ ذَلِكَ، وَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ إِلَى الْعَرْشِ مِثْلُ جَمِيْعِ ذَلِكَ وَلَوْ حَفَرْتُمْ لِصَاحِبِكُمْ ثُمَّ دَلَّيْتُمُوْهُ لَوَجَدْتُمُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثَمَّ . تَابَعَهُ أَبُوْ حَمْزَةَ السُّكَّرِيُّ وَغَيْرُهُ عَنِ الْأَعْمَشِ فِي الْمِقْدَارِ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh dan Abu Sa’id bin Abi Amr, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Jabbar, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Abu Nashr, dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah bersabda: "Jarak antara bumi dan langit adalah perjalanan lima ratus tahun, dan tebal langit dunia adalah perjalanan lima ratus tahun, dan jarak antara setiap langit dengan langit berikutnya adalah perjalanan lima ratus tahun. Hal yang sama berlaku untuk bumi-bumi yang ada. Dan jarak antara langit ketujuh dan Arsy adalah seperti jumlah semua itu. Seandainya kalian menggali untuk sahabat kalian (yang meninggal), lalu kalian menurunkannya, niscaya kalian akan mendapati Allah عز وجل." Diriwayatkan juga oleh Abu Hamzah As-Sukkari dan lainnya dari Al-A’masy mengenai ukuran tersebut.

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُوْ سَعِيْدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو قَالَا: ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا هَارُونُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ زِرٍّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَالَّتِي تَلِيْهَا خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسِمِائَةُ عَامٍ، وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ وَبَيْنَ الْمَاءِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَالْكُرْسِيُّ فَوْقَ الْمَاءِ، وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَوْقَ الْكُرْسِيِّ، وَيَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ ـ أَظُنُّهُ أَرَادَ ـ وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْمَاءِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh dan Abu Sa’id bin Abi Amr, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Harun bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, dari Hammad bin Salamah, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari Abdullah, yaitu Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Antara langit dunia dan langit yang mengikutinya adalah perjalanan lima ratus tahun. Antara setiap dua langit juga berjarak perjalanan lima ratus tahun. Jarak antara langit ketujuh dan Kursi adalah perjalanan lima ratus tahun. Antara Kursi dan air (di bawahnya) juga perjalanan lima ratus tahun. Kursi berada di atas air, dan Allah عز وجل berada di atas Kursi. Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan — (saya kira ia bermaksud) — jarak antara langit ketujuh dan air adalah perjalanan lima ratus tahun. Dan Allah lebih mengetahui."

وَرَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ عَاصِمِ ابْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ مَسِيْرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، ثُمَّ مَا بَيْنَ كُلِّ سَمَاءَيْنِ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَغِلَظُ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، ثُمَّ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَمَا بَيْنَ الْكُرْسِيِّ وَبَيْنَ الْمَاءِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَالْكُرْسِيُّ فَوْقَ الْمَاءِ، وَاللَّهُ تَعَالَى فَوْقَ الْعَرْشِ، وَلَا يَخْفَى عَلَيْهِ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْءٌ. أَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوْبَ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثَنَا يُوْنُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَذَكَرَهُ

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abdullah bin Utbah dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Abu Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Jarak antara langit dan bumi adalah perjalanan lima ratus tahun. Kemudian jarak antara setiap dua langit adalah perjalanan lima ratus tahun, dan tebal setiap langit adalah perjalanan lima ratus tahun. Kemudian jarak antara langit ketujuh dan Kursi adalah perjalanan lima ratus tahun, dan jarak antara Kursi dan air adalah perjalanan lima ratus tahun. Kursi berada di atas air, dan Allah Ta’ala di atas Arsy. Tidak ada sedikit pun dari amal perbuatan kalian yang tersembunyi dari-Nya." Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Jabbar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, dari Abdurrahman, lalu ia menyebutkan hal itu.

خْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيْدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو قَالَا: ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّاغَانِيُّ، أنا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، ثَنَا السَّائِبُ بْنُ عُمَرَ الْمَخْزُومِيُّ، أنا مُسْلِمُ بْنُ يَنَّاقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ ـ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ ـ فَقَالَ: تَبَارَكَ اللَّهُ مَا أَشَدَّ بَيَاضَهَا، وَالثَّانِيَةُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْهَا، ثُمَّ كَذَلِكَ حَتَّى بَلَغَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ، ثُمَّ قَالَ: خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَخَلَقَ فَوْقَ السَّابِعَةِ الْمَاءَ، وَجَعَلَ فَوْقَ الْمَاءِ الْعَرْشَ، وَجَعَلَ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ وَالرُّجُوْمَ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh dan Abu Sa’id bin Abi Amr, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani, telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadah, telah menceritakan kepada kami As-Sa’ib bin Umar Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Muslim bin Yannaq, ia berkata: "Aku mendengar Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata — sambil ia melihat ke arah langit —: ‘Maha Suci Allah, betapa putihnya langit ini! Langit yang kedua lebih putih darinya, kemudian demikian seterusnya hingga sampai kepada tujuh langit.’ Lalu ia berkata: ‘Allah menciptakan tujuh langit, dan menciptakan di atas langit yang ketujuh air, dan Dia menjadikan di atas air itu Arsy. Dia menjadikan di langit dunia matahari, bulan, bintang-bintang, dan panah-panah api (untuk melempar setan).’"

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، أنا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرِو بْنِ الْعَاصِ، وَعَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دُونَ اللَّهِ تَعَالَى سَبْعُونَ أَلْفَ حِجَابٍ مِنْ نُورٍ وَظُلْمَةٍ، مَا تَسْمَعُ نَفْسٌ حِسَّ شَيْءٍ مِنْ تِلْكَ الْحُجُبِ إِلَّا زَهَقَتْ نَفْسُهَا. تَفَرَّدَ بِهِ مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ الرَّبَذِيُّ، وَهُوَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ ضَعِيْفٌ. وَالْحِجَابُ الْمَذْكُورُ فِي الْأَخْبَارِ يَرْجِعُ إِلَى الْخَلْقِ لَا إِلَى الْخَالِقِ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa bin Ubaidah, dari Umar bin Al-Hakam, dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash, dan dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, mereka berkata: Rasulullah bersabda:
"Di antara Allah Ta’ala dan makhluk-Nya terdapat 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Tidak ada satu jiwa pun yang mendengar suara dari hijab-hijab tersebut kecuali ia akan binasa." Hadits ini diriwayatkan secara khusus oleh Musa bin Ubaidah Ar-Rabadzi, dan ia menurut ahli hadits dinilai sebagai perawi yang lemah. Adapun hijab yang disebutkan dalam riwayat ini merujuk kepada ciptaan (makhluk), bukan kepada Sang Pencipta (Allah).

وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، أنا رَوْحٌ، ثَنَا شِبْلٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيْحٍ، قَالَ: أُرَاهُ عَنْ مُجَاهِدٍ، {وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا} [مريم: 52] قَالَ: بَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْعَرْشِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ حِجَابٍ، حِجَابُ نُورٍ، وَحِجَابُ ظُلْمَةٍ، وَحِجَابُ نُوْرٍ، وَحِجَابُ ظُلْمَةٍ، فَمَا زَالَ يَقْرُبُ مُوسَى حَتَّى كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ حِجَابٌ وَاحِدٌ، فَلَمَّا رَأَى مَكَانَهُ وَسَمِعَ صَرِيْرَ الْقَلَمِ قَالَ: رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ. يَعْنِيْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ: يُقَرِّبُهُ مِنَ الْعَرْشِ حَتَّى كَانَ بَيْنَ مُوسَى وَبَيْنَ الْعَرْشِ حِجَابٌ وَاحِدٌ "

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah, telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abi Najih — aku kira dari Mujahid — tentang firman Allah: "Dan Kami telah mendekatkannya (Musa) untuk berbicara secara langsung" (Maryam: 52). Mujahid berkata: "Antara langit ketujuh dan Arsy terdapat 70.000 hijab, yaitu hijab cahaya, hijab kegelapan, hijab cahaya, dan hijab kegelapan. Musa terus didekatkan hingga antara dirinya dan Allah hanya tersisa satu hijab. Ketika Musa melihat tempatnya dan mendengar suara pena menulis (di Lauh Mahfuzh), ia berkata: 'Ya Tuhanku, perlihatkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.' Artinya, wallahu a‘lam, Allah mendekatkan Musa ke Arsy hingga antara Musa dan Arsy hanya tersisa satu hijab."

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ، ثَنَا مُحَمَّدٌ، أنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيْقٍ، أَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، ثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: بَيْنَ الْمَلَائِكَةِ وَبَيْنَ الْعَرْشِ سَبْعُونَ حِجَابًا، حِجَابٌ مِنْ نُورٍ، وَحِجَابٌ مِنْ ظُلْمَةٍ، وَحِجَابٌ مِنْ نُوْرٍ، وَحِجَابٌ مِنْ ظُلْمَةٍ. قَالَ ابْنُ شَقِيْقٍ: بَلَغَنِي فِي حَدِيْثٍ أَنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ: بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْعَرْشِ سَبْعُوْنَ حِجَابًا، لَوْ دَنَوْتُ إِلَى أَحَدِهِنَّ لَاحْتَرَقْتُ. قُلْتُ: وَهَذَا الَّذِي ذَكَرَهُ ابْنُ شَقِيْقٍ يُرْوَى عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلًا، إِلَّا أَنَّهُ لَمْ يَذْكُرِ الْعَرْشَ، وَفِيْ هَذَا الْأَثَرِ عَنْ مُجَاهِدِ بْنِ جَبْرٍ وَهُوَ أَحَدُ أَرْكَانِ أَهْلِ التَّفْسِيْرِ، إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْحِجَابَ الْمَذْكُوْرَ فِي الْأَخْبَارِ إِنَّمَا هُوَ بَيْنَ الْخَلْقِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ وَغَيْرِهِمْ وَبَيْنَ الْعَرْشِ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Hasan bin Syaqiq, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Abu Bisyr, dari Mujahid, ia berkata: "Antara para malaikat dan Arsy terdapat 70 hijab, yaitu hijab dari cahaya, hijab dari kegelapan, hijab dari cahaya, dan hijab dari kegelapan." Ibnu Syaqiq berkata: "Telah sampai kepadaku dalam suatu hadits bahwa Jibril عليه السلام berkata: 'Antara kami dan Arsy terdapat 70 hijab. Seandainya aku mendekati salah satu hijab tersebut, niscaya aku akan terbakar.'" Aku berkata: "Dan apa yang disebutkan oleh Ibnu Syaqiq juga diriwayatkan dari Zurarah bin Aufa رضي الله عنه dari Nabi secara mursal, kecuali bahwa dalam riwayat tersebut tidak disebutkan tentang Arsy. Dalam atsar ini yang diriwayatkan dari Mujahid bin Jabr — yang merupakan salah satu pilar ahli tafsir — terdapat isyarat bahwa hijab yang disebutkan dalam berbagai riwayat adalah antara makhluk, seperti para malaikat dan lainnya, dengan Arsy. Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang mendukung penjelasan ini. Dan Allah Maha Mengetahui." 

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ هُوَ الْأَصَمُّ، ثَنَا الصَّاغَانِيُّ، أَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، أنا إِسْرَائِيْلُ، عَنِ السُّدِّيِّ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ، فِي قَوْلِهِ: {وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ} [البقرة: 255] قَالَ: إِنَّ الصَّخْرَةَ الَّتِي فِي الْأَرْضِ السَّابِعَةِ وَمُنْتَهَى الْخَلْقِ عَلَى أَرْجَائِهَا، عَلَيْهَا أَرْبَعَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَرْبَعَةُ وُجُوهٍ، وَجْهُ إِنْسَانٍ، وَوَجْهُ أَسَدٍ، وَوَجْهُ ثَوْرٍ، وَوَجْهُ نَسْرٍ، فَهُمْ قِيَامٌ عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطُوا بِالْأَرْضِيْنَ وَالسَّمَاوَاتِ، وَرُؤُوسُهُمْ تَحْتَ الْكُرْسِيِّ، وَالْكُرْسِيُّ تَحْتَ الْعَرْشِ، وَاللَّهُ تَعَالَى وَاضِعٌ كُرْسِيَّهُ عَلَى الْعَرْشِ. فِي هَذِهِ إِشَارَةٌ إِلَى كُرْسِيَّيْنِ، أَحَدُهُمَا: تَحْتَ الْعَرْشِ وَالْآخَرُ مَوْضُوْعٌ عَلَى الْعَرْشِ

Telah memberitakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Al-Abbas, yaitu Al-Asham, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ash-Shaghani, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ubaidullah bin Musa, dari Israil, dari As-Suddi, dari Abu Malik, tentang firman-Nya: {Dan Kursi-Nya meliputi langit dan bumi} [Al-Baqarah: 255], ia berkata: Batu besar yang ada di bumi ketujuh dan menjadi batas penciptaan berada di tepinya. Di atasnya ada empat malaikat, masing-masing dari mereka memiliki empat wajah: wajah manusia, wajah singa, wajah sapi, dan wajah burung elang. Mereka berdiri di atasnya, mengelilingi bumi-bumi dan langit-langit. Kepala mereka berada di bawah Kursi, dan Kursi berada di bawah 'Arsy. Allah Ta'ala meletakkan Kursi-Nya di atas 'Arsy. Dalam hal ini terdapat isyarat kepada dua kursi: salah satunya berada di bawah 'Arsy, dan yang lainnya diletakkan di atas 'Arsy.

وَقَدْ مَضَتْ رِوَايَةُ أَسْبَاطِ عَنِ السُّدِّيِّ عَنْ أَبِي مَالِكٍ، وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَعَنِ َ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَعَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ} [البقرة: 255] فَإِنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي جَوْفِ الْكُرْسِيِّ وَالْكُرْسِيُّ بَيْنَ يَدَيِ الْعَرْشِ

Dan telah disebutkan riwayat Asbath dari As-Suddi, dari Abu Malik, dan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, serta dari Murrah Al-Hamdani dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, dan juga dari sejumlah sahabat Rasulullah tentang firman-Nya: {Dan Kursi-Nya meliputi langit dan bumi} [Al-Baqarah: 255], bahwa langit dan bumi berada di dalam (jauh lebih kecil dibandingkan) Kursi, dan Kursi berada di hadapan 'Arsy.

وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنَا أَبُوْ أَحْمَدَ الصَّفَّارُ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَصْرٍ، ثَنَا عَمْرُو بْنُ طَلْحَةَ، ثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ نَصْرٍ، فَذَكَرَهُ

Telah memberitakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Ahmad Ash-Saffar, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Nashr, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Amru bin Thalhah, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Asbath bin Nashr, kemudian ia menyebutkan (riwayat tersebut).

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ هُوَ الْأَصَمُّ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، ثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ: ثَنَا ابْنُ جُحَادَةَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ وَلَهُ أَطِيْطٌ كَأَطِيْطِ الرَّحْلِ. قَدْ رُوِيْنَا فِي هَذَا أَيْضًا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَذَكَرْنَا أَنَّ مَعْنَاهُ فِيْمَا نَرَى أَنَّهُ مَوْضُوْعٌ مِنَ الْعَرْشِ مَوْضِعَ الْقَدَمَيْنِ مِنَ السَّرِيْرِ، وَلَيْسَ فِيهِ إِثْبَاتُ الْمَكَانِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ

Telah memberitakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Al-Abbas, yaitu Al-Asham, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Harun bin Abdullah, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abduṣṣamad bin Abduwārith, ia berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Telah memberitakan kepada kami Ibnu Juhadah, dari Salamah bin Kuhail, dari Umārah bin Umair, dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Kursi adalah tempat kedua kaki, dan ia memiliki suara berderak seperti derak pelana.' Kami juga telah meriwayatkan tentang hal ini dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dan kami menyebutkan bahwa maknanya, menurut yang kami pahami, adalah bahwa Kursi itu merupakan bagian dari 'Arsy yang menjadi tempat kedua kaki, sebagaimana bagian dari singgasana (sarir). Dan dalam hal ini tidak terdapat penetapan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ بِبَغْدَادَ، أنا أَبُو عَمْرٍو عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ  بْنِ السَّمَّاكِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي سَعْدٍ، ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مَنْصُوْرِ بْنِ أَبِي الْأَسْوَدِ، ثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنَ الْحَبَشَةِ، قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَعْجَبُ شَيْءٍ رَأَيْتَهُ ثَمَّ؟ قَالَ: رَأَيْتُ امْرَأَةً عَلَى رَأْسِهَا مِكْتَلٌ مِنْ طَعَامٍ، فَمَرَّ فَارِسٌ فَأَذْرَاهُ فَقَعَدَتْ تَجْمَعُ طَعَامَهَا، ثُمَّ الْتَفَتَتْ إِلَيْهِ فَقَالَتْ لَهُ: وَيْلٌ لَكَ يَوْمَ يَضَعُ الْمَلِكُ كُرْسِيَّهُ فَيَأْخُذُ لِلْمَظْلُوْمِ مِنَ الظَّالِمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصْدِيْقًا لِقَوْلِهَا: لَا قُدِّسَتْ أُمَّةٌ ـ أَوْ كَيْفَ تُقَدَّسُ أُمَّةٌ ـ لَا يَأْخُذُ ضَعِيْفُهَا حَقَّهُ مِنْ شَدِيْدِهَا وَهُوَ غَيْرُ مُتَعْتَعٍ

Telah memberitakan kepada kami Abu Al-Husain bin Bisyran di Baghdad, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Amr Utsman bin Ahmad bin As-Sammak, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Sa'd, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Sa'id bin Sulaiman, dari Manshur bin Abi Al-Aswad, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Atha' bin As-Saib, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Ketika Ja'far radhiyallahu 'anhu tiba dari Habasyah, Rasulullah bertanya kepadanya: 'Apa hal paling menakjubkan yang engkau lihat di sana?' Ja'far menjawab: 'Aku melihat seorang wanita dengan keranjang makanan di atas kepalanya. Lalu lewat seorang penunggang kuda dan ia menjatuhkan keranjang itu. Wanita itu duduk untuk mengumpulkan makanannya, kemudian ia menoleh kepada penunggang kuda tersebut dan berkata: "Celakalah engkau pada hari ketika Raja (Allah) meletakkan Kursi-Nya dan mengambil hak orang yang terzalimi dari orang yang zalim."' Maka Rasulullah bersabda sebagai bentuk peneguhan atas ucapannya: 'Tidak akan dimuliakan suatu umat – atau bagaimana mungkin suatu umat dimuliakan – jika orang yang lemah di antara mereka tidak dapat mengambil haknya dari orang yang kuat tanpa mengalami kesulitan.

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنَا أَبُوْ الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ الْفَضْلِ السَّامِرِيُّ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ الْعَبْدِيُّ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ السَّعْدِيُّ الْبَصْرِيُّ، ثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ. قَالَ فِيْهِ: قُلْتُ: فَأَيُّ آيَةٍ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ يَا أَبَا ذَرٍّ، مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ فِي أَرْضِ فَلَاةٍ، وَفَضَلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ . تَفَرَّدَ بِهِ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ السَّعْدِيُّ وَلَهُ شَاهِدٌ بِإِسْنَادٍ أَصَحَّ

Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al-Hafizh, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Al-Hasan Ali bin Al-Fadhl As-Samiri di Baghdad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Arafah Al-Abdi, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Yahya bin Sa'id As-Sa'di Al-Bashri, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abdul Malik bin Juraij, dari Atha', dari Ubaid bin Umair Al-Laitsi, dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 'Aku masuk menemui Rasulullah ketika beliau berada di masjid.' Kemudian ia menyebutkan hadis tersebut. Di dalamnya, ia berkata: 'Aku bertanya: Wahai Rasulullah, ayat apa yang paling agung yang diturunkan Allah kepadamu?' Beliau menjawab: 'Ayat Kursi.' Lalu Rasulullah bersabda: 'Wahai Abu Dzar, tidaklah tujuh langit dibandingkan dengan Kursi melainkan seperti sebuah cincin yang dilemparkan di tanah lapang, dan keagungan 'Arsy dibandingkan dengan Kursi seperti keagungan tanah lapang dibandingkan dengan cincin tersebut.' Hadis ini diriwayatkan secara khusus oleh Yahya bin Sa'id As-Sa'di, namun memiliki penguat (syahid) dengan sanad yang lebih sahih.

أَنْبَأَنِي أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، إِجَازَةً، أَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ بْنِ عَامِرٍ، ثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ هِشَامِ بْنِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى الْغَسَّانِيُّ، ثَنَا أَبِي، عَنْ جَدِّي، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّمَا أُنْزِلَ عَلَيْكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، وَفَضَلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى الْحَلْقَةِ

elah memberitahukan kepadaku Abu Abdillah Al-Hafizh secara izin, dia berkata: Telah memberitahukan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq Al-Faqih, dia berkata: Telah memberitahukan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan bin Amir, dia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya Al-Ghassani, dia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami ayahku, dari kakekku, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, wahyu mana yang paling agung diturunkan kepadamu?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ayat Kursi." Kemudian beliau bersabda: "Wahai Abu Dzar, tidaklah langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi kecuali seperti sebuah lingkaran yang dilemparkan di padang pasir yang luas. Dan keagungan Arsy dibandingkan dengan Kursi adalah seperti luasnya padang pasir dibandingkan dengan lingkaran itu."

أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرِ بْنُ قَتَادَةَ، أنا أَبُو مَنْصُورٍ النَّضْرَوِيُّ، أنا أَحْمَدُ بْنُ نَجْدَةَ، ثَنَا  سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، ثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: مَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلَّا بِمَنْزِلَةِ حَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ فِي الْأَرْضِ الْفَلَاةِ

Telah memberitahukan kepada kami Abu Nashr bin Qatadah, dia berkata: Telah memberitahukan kepada kami Abu Manshur An-Nadrawi, dia berkata: Telah memberitahukan kepada kami Ahmad bin Najdah, dia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Sa'id bin Manshur, dia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dia berkata: "Tidaklah langit dan bumi dibandingkan dengan Kursi kecuali seperti sebuah lingkaran yang dilemparkan di padang pasir yang luas." 

مَا جَاءَ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] ، وَقَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [الأعراف: 54] ، وَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [الأعراف: 54] ، وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا: {اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [الرعد: 2]

Apa yang datang dari firman Allah Azza wa Jalla: {Yang Maha Pengasih, beristawa di atas 'Arsy} [Thaha: 5], dan firman-Nya عَزَّ وَجَلَّ: {Kemudian Dia beristawa di atas 'Arsy} [Al-A'raf: 54]. Allah Ta'ala berfirman: {Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristawa di atas 'Arsy} [Al-A'raf: 54]. Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi juga berfirman: {Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang yang kalian lihat, kemudian Dia beristawa di atas 'Arsy} [Ar-Ra'd: 2].

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَلِيٍّ الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرُّوذْبَارِيُّ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْهَرَوِيُّ، بِالرَّمْلَةِ، ثَنَا ابْنُ أَبِي إِيَاسَ، ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ وَكِيعِ بْنِ حُدُسٍ، عَنْ أَبِي رَزِينٍ الْعُقَيْلِيِّ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَانَ فِي عَمَاءٍ مَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَمَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ، ثُمَّ خَلَقَ الْعَرْشَ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَيْهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى . قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ دُونَ الِاسْتِوَاءِ، فَأَمَّا الِاسْتِوَاءُ فَالْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانُوْا لَا يُفَسِّرُوْنَهُ وَلَا يَتَكَلَّمُونَ فِيْهِ كَنَحْوِ مَذْهَبِهِمْ فِي أَمْثَالِ ذَلِكَ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Rudzbari, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu al-Abbas Muhammad bin Ya'qub, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman al-Harawi di Ramalah, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ibnu Abi Iyas, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ya’la bin Atha’, dari Waki’ bin Hudus, dari Abu Razin al-Uqaili, ia berkata: Aku berkata, "Wahai Rasulullah, di mana Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala berada sebelum menciptakan langit dan bumi?" Rasulullah bersabda: "Dia berada di dalam keaadaan 'ama' (kekaburan atau keadaan yang tidak dapat dipahami), tidak ada sesuatu di atasnya berupa udara, dan tidak ada sesuatu di bawahnya berupa udara. Kemudian Dia menciptakan Arsy dan beristawa di atasnya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia." Telah berlalu pembahasan tentang makna hadis ini kecuali bagian tentang istiwa. Adapun mengenai istiwa, para ulama terdahulu dari kalangan sahabat kami -semoga Allah meridhai mereka- tidak menjelaskan maknanya dan tidak membahasnya, sesuai dengan metode mereka dalam hal-hal yang serupa dengan itu.

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَوْهَرِيُّ بِبَغْدَادَ، ثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ الْهَيْثَمِ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيْرٍ الْمِصِّيصِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الْأَوْزَاعِيَّ، يَقُوْلُ: كُنَّا وَالتَّابِعُوْنَ مُتَوَافِرُوْنَ نَقُوْلُ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذِكْرُهُ فَوْقَ عَرْشِهِ، وَنُؤْمِنُ بِمَا وَرَدَتِ السُّنَّةُ بِهِ مِنْ صِفَاتِهِ جَلَّ وَعَلَا

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Jauhari di Baghdad, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ibrahim bin al-Haitsam, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Katsir al-Mishishi, ia berkata: Aku mendengar al-Auza'i berkata: "Kami, bersama para tabi'in yang masih banyak jumlahnya, berkata: Sesungguhnya Allah Ta'ala, yang Maha Mulia sebutan-Nya, di atas Arsy-Nya, dan kami beriman kepada apa yang disebutkan dalam sunnah mengenai sifat-sifat-Nya yang Maha Mulia dan Maha Tinggi."

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِيْ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ مِهْرَانَ، ثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ ابْنُ أَخِي رِشْدِينِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ وَهْبٍ، يَقُولُ: كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فَدَخَلَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ وَأَخَذَتْهُ الرُّحَضَاءُ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ، وَلَا يُقَالُ: كَيْفَ، وَكَيْفٌ عَنْهُ مَرْفُوعٌ، وَأَنْتَ رَجُلُ سُوءٍ صَاحِبُ بِدْعَةٍ، أَخْرِجُوْهُ. قَالَ: فَأُخْرِجَ الرَّجُلُ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Muhammad bin Isma'il bin Mihran, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami ayahku, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu al-Rabi’, anak saudara dari Rasydin bin Sa'd, ia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Wahb berkata: "Kami berada di sisi Malik bin Anas, lalu seorang laki-laki masuk dan berkata, 'Wahai Abu Abdillah, {Yang Maha Pengasih beristawa di atas Arsy} [Thaha: 5], bagaimana caranya beristawa?' Malik pun tertunduk dan keringat dingin mengalir di wajahnya. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, '{Yang Maha Pengasih beristawa di atas Arsy} [Thaha: 5] sebagaimana Dia telah menyifati dzat-Nya. Tidak boleh ditanyakan 'bagaimana', karena kaif (gambaran) itu ditiadakan darinya. Dan engkau adalah orang yang buruk, pelaku bid'ah! Keluarkan dia.' Maka laki-laki itu pun dikeluarkan."

أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَارِثِ الْفَقِيهُ الْأَصْفَهَانِيُّ، أنا أَبُوْ مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ حَيَّانَ الْمَعْرُوفُ بِأَبِي الشَّيْخِ، ثَنَا أَبُوْ جَعْفَرٍ أَحْمَدُ بْنُ زَيْرَكَ الْيَزْدِيُّ، سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ النَّضْرِ النَّيْسَابُورِيَّ، يَقُوْلُ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ يَحْيَى، يَقُوْلُ: كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فَجَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] فَكَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ بِرَأْسِهِ حَتَّى عَلَاهُ الرُّحَضَاءُ ثُمَّ قَالَ: الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلَّا مُبْتَدِعًا. فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin al-Harith al-Faqih al-Ashfahani, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja'far bin Hayyan, yang dikenal sebagai Abu al-Syaikh, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Ja'far Ahmad bin Zairak al-Yazdi, ia berkata: Aku mendengar Muhammad bin Amru bin al-Nadhr al-Naisaburi berkata: Aku mendengar Yahya bin Yahya berkata:

"Kami berada di sisi Malik bin Anas, lalu datang seorang laki-laki dan berkata, 'Wahai Abu Abdillah, {Yang Maha Pengasih beristawa di atas Arsy} [Thaha: 5], bagaimana cara Dia beristawa?' Malik pun menundukkan kepalanya hingga keringat dingin mengalir di wajahnya. Kemudian ia berkata, 'Istiwa itu sudah diketahui, bagaimana caranya tidak dapat dijangkau oleh akal, beriman kepadanya adalah kewajiban, dan bertanya tentang hal ini adalah bid'ah. Aku tidak melihatmu kecuali sebagai seorang pelaku bid'ah.' Maka Malik memerintahkan agar laki-laki itu dikeluarkan."

وَرُوِيَ فِي ذَلِكَ أَيْضًا عَنْ رَبِيْعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَسْتَاذِ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا،أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ، أَنَا أَبُو الشَّيْخِ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مَعْدَانَ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَهْدِيٍّ، ثَنَا مُوْسَى بْنُ خَاقَانَ، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحِ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: سُئِلَ رَبِيْعَةُ الرَّأْيُ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] كَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ: الْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَيَجِبُ عَلِيَّ وَعَلَيْكُمُ الْإِيمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهُ

Diriwayatkan juga mengenai hal ini dari Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, guru Malik bin Anas – semoga Allah meridhai keduanya. Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar bin al-Harith, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu al-Syaikh, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Ma'dan, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Mahdi, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Musa bin Khakan, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abdullah bin Shalih bin Muslim, ia berkata: Rabi'ah ar-Ra’yi ditanya tentang firman Allah Tabaraka wa Ta’ala: {Yang Maha Pengasih beristawa di atas Arsy} [Thaha: 5], bagaimana cara Dia beristawa? Rabi'ah menjawab: "Bagaimana caranya tidak diketahui, dan istiwa itu tidak dapat dinalar. Namun, wajib atas diriku dan kalian untuk beriman kepada semuanya."

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيْدَ، سَمِعْتُ أَبَا يَحْيَى الْبَزَّازُ، يَقُوْلُ: سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ بْنَ حَمْزَةَ، يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ أَبِي الْحَوَارِيِّ، يَقُوْلُ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ، يَقُوْلُ: كُلُّ مَا وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ نَفْسِهِ فِي كِتَابِهِ فَتَفْسِيْرُهُ تِلَاوَتُهُ، وَالسُّكُوْتُ عَلَيْهِ.

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Yazid, ia berkata: Aku mendengar Abu Yahya al-Bazzar berkata: Aku mendengar al-Abbas bin Hamzah berkata: Aku mendengar Ahmad bin Abi al-Hawari berkata: Aku mendengar Sufyan bin 'Uyainah berkata: "Setiap apa yang Allah Ta’ala sifatkan tentang dzat-Nya dalam kitab-Nya, maka penafsirannya adalah membacanya dan diam atasnya."

Qultu :

Penafsiran yang dimaksud adalah penjelasan terkait cara menyikapinya, yaitu membacanya dan diam dari menjelaskan maknanya. 

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: هَذِهِ نُسْخَةُ الْكِتَابِ الَّذِي أَمْلَاهُ الشَّيْخُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ فِي مَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِيمَا جَرَى بَيْنَ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ وَبَيْنَ أَصْحَابِهِ، فَذَكَرَهَا وَذَكَرَ فِيْهَا: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] بِلَا كَيْفٍ، وَالْآثَارُ عَنِ السَّلَفِ فِي مِثْلِ هَذَا كَثِيرَةٌ" وَعَلَى هَذِهِ الطَّرِيْقِ يَدُلُّ مُذْهِبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَإِلَيْهَا ذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالْحُسَيْنُ بْنُ الْفَضْلِ الْبَجَلِيُّ. وَمِنَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ أَبُوْ سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ. وَذَهَبَ أَبُوْ الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ الْأَشْعَرِيُّ إِلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَلَّ ثَنَاؤُهُ فَعَلَ فِي الْعَرْشِ فِعْلًا سَمَّاهُ اسْتِوَاءً، كَمَا فَعَلَ فِي غَيْرِهِ فِعْلًا سَمَّاهُ رِزْقًا أَوْ نِعْمَةً أَوْ غَيْرَهُمَا مِنْ أَفْعَالِهِ. ثُمَّ لَمْ يُكَيِّفِ الِاسْتِوَاءَ إِلَّا أَنَّهُ جَعَلَهُ مِنْ صِفَاتِ الْفِعْلِ لِقَوْلِهِ: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] وَثُمَّ لِلتَّرَاخِي، وَالتَّرَاخِي إِنَّمَا يَكُوْنُ فِي الْأَفْعَالِ، وَأَفْعَالُ اللَّهِ تَعَالَى تُوْجَدُ بِلَا مُبَاشَرَةٍ مِنْهُ إِيَّاهَا وَلَا حَرَكَةٍ.

Muhammad bin Abdullah Al-Hafizh mengabarkan kepada kami, dia berkata: "Ini adalah salinan kitab yang didiktekan oleh Syaikh Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Ayyub tentang madzhab Ahlus Sunnah terkait permasalahan yang terjadi antara Muhammad bin Ishaq bin Khuzaymah dan para sahabatnya. Beliau menyebutkan di dalamnya: "Ar-Rahman di atas Arsy beristiwa" [Thaha: 5] tanpa menanyakan bagaimana (tanpa kaif). Terdapat banyak atsar dari para salaf mengenai hal semisal ini." "Dan pada metode ini juga menunjukkan pendapat Imam Syafi'i radhiyallahu 'anhu, begitu pula pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bajali, dan dari kalangan ulama belakangan Abu Sulaiman Al-Khattabi. Sedangkan Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah Ta'ala, yang maha agung pujian-Nya, melakukan pada Arsy suatu perbuatan yang Dia sebut sebagai istiwa, sebagaimana Dia juga melakukan pada selainnya suatu perbuatan yang Dia sebut sebagai rezeki, nikmat, atau perbuatan-perbuatan-Nya yang lain. Namun, beliau (Al-Asy'ari) tidak menetapkan kaifiyah terhadap istiwa, kecuali bahwa beliau menjadikannya sebagai salah satu sifat perbuatan, berdasarkan firman-Nya:
{Ar-Rahman di atas Arsy beristiwa} [Thaha: 5]."

"Sedangkan kata 'ثم' (kemudian) menunjukkan urutan yang disertai jarak waktu, dan jarak waktu itu hanya terjadi pada perbuatan. Perbuatan Allah Ta'ala itu terjadi tanpa adanya kontak langsung dari-Nya terhadap perbuatan tersebut dan tanpa adanya gerakan."

Qultu:

Imam Baihaqi menjelaskan pendapat Imam Abu al Hasan al Asy'ari yang menetapkan istiwa sebagai sifat perbuatan yang muhdats tanpa menjelaskan maknanya.

وَذَهَبَ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَهْدِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي آخَرِيْنَ مِنْ أَهْلِ النَّظَرِ إِلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي السَّمَاءِ فَوْقَ كُلِّ شَيْءٍ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ بِمَعْنَى أَنَّهُ عَالٍ عَلَيْهِ، وَمَعْنَى الِاسْتِوَاءِ: الِاعْتِلَاءُ، كَمَا يَقُوْلُ: اسْتَوَيْتُ عَلَى ظَهْرِ الدَّابَّةِ، وَاسْتَوَيْتُ عَلَى السَّطْحِ. بِمَعْنَى عَلَوْتُهُ، وَاسْتَوَتِ الشَّمْسُ عَلَى رَأْسِي، وَاسْتَوَى الطَّيْرُ عَلَى قِمَّةِ رَأْسِي، بِمَعْنَى عَلَا فِي الْجَوِّ، فَوُجِدَ فَوْقَ رَأَسِيْ. وَالْقَدِيْمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايِنٌ عَنِ الْعَرْشِ، يُرِيْدُ بِهِ: مُبَايَنَةَ الذَّاتِ الَّتِي هِيَ بِمَعْنَى الِاعْتِزَالِ أَوِ التَّبَاعُدِ، لِأَنَّ الْمُمَاسَّةَ وَالْمُبَايَنَةَ الَّتِي هِيَ ضِدُّهَا، وَالْقِيَامُ وَالْقُعُودُ مِنْ أَوْصَافِ الْأَجْسَامِ، وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَدٌ صَمَدٌ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، فَلَا يَجُوزُ عَلَيْهِ مَا يَجُوْزُ عَلَى الْأَجْسَامِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

"Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thabari, bersama beberapa ulama muta’akhirin dari kalangan ahli nadzor (para teolog), berpendapat bahwa Allah Ta'ala berada di langit, di atas segala sesuatu, beristiwa di atas Arsy-Nya, dalam arti bahwa Dia Maha Tinggi di atasnya. Dan makna istiwa adalah al-‘uluw (ketinggian), sebagaimana dikatakan: 'Aku beristiwa di atas punggung hewan tunggangan,' atau 'Aku beristiwa di atas atap,' yang berarti 'aku berada di atasnya'. Contohnya: 'Matahari beristiwa di atas kepalaku,' atau 'Burung beristiwa di puncak kepalaku,' yang berarti ia berada tinggi di udara sehingga berada di atas kepalaku.

Allah yang maha ada tanpa permulaan (Al-Qadim), Mahasuci Dia, Maha Tinggi di atas Arsy-Nya, bukan dalam keadaan duduk (lā qā’id), bukan berdiri (lā qā’im), tidak menyentuh (lā mumās), dan tidak pula terpisah dari Arsy (lā mubāyin). Yang dimaksud dengan mubāyanah di sini adalah keterpisahan dzat, yang bermakna menjauh atau berjarak, karena persentuhan (mumāsah) dan keterpisahan (mubāyanah) yang menjadi kebalikannya, serta sifat berdiri (qiyam) dan duduk (qu’ud) adalah sifat-sifat benda (jism). Sedangkan Allah Azza wa Jalla adalah Ahad (Maha Esa), Shamad (tempat bergantung), tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya. Maka tidak mungkin bagi-Nya disifati dengan sifat-sifat benda (jisim), Mahasuci dan Maha Tinggi Dia."

Qultu:
Pada bagian ini menjelaskan bahwa ulama yang menetapkan sifat tinggi bagi Allah maksudnya bukan meyakini sebagai letak geografis dzat Allah dari bumi karena disucikan di dalamnya sifat menyentuh dan terpisah dengan jarak karena menyentuh dan terpisah dengan jarak adalah kakteristik jisim.

وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو بَكْرِ بْنُ فُورَكٍ هَذِهِ الطَّرِيْقَةَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ قَالَ: اسْتَوَى بِمَعْنَى: عَلَا، ثُمَّ قَالَ: وَلَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ عُلُوًّا بِالْمَسَافَةِ وَالتَّحَيُّزِ وَالْكَوْنِ فِي مَكَانٍ مُتَمَكِّنًا فِيْهِ، وَلَكِنْ يُرِيْدُ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ} [الملك: 16] أَيْ: مَنْ فَوْقَهَا عَلَى مَعْنَى نَفْيِ الْحَدِّ عَنْهُ، وَأَنَّهُ لَيْسَ مِمَّا يَحْوِيْهِ طَبَقٌ أَوْ يُحِيْطُ بِهِ قُطْرٌ، وَوُصِفَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِذَلِكَ بِطَرِيْقَةِ الْخَبَرِ، فَلَا نَتَعَدَّى مَا وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ.

"Ustadz Abu Bakr bin Furak meriwayatkan metode ini dari sebagian sahabat kami, bahwa ia berkata: 'Istiwa' berarti 'ala' (tinggi). Kemudian ia menambahkan: 'Namun, tidak dimaksudkan dengannya ketinggian yang bersifat jarak, tempat, atau keberadaan di lokasi tertentu yang memungkinkan-Nya berada di sana. Melainkan yang dimaksud adalah sebagaimana firman Allah Ta'ala:
{Apakah kalian merasa aman kepada Dzat yang di dalam langit?} [Al-Mulk: 16], yaitu yang di atasnya, dalam arti menafikan batasan (hadd) bagi-Nya. Allah tidak diliputi oleh sesuatu yang memiliki lapisan atau dikelilingi oleh sesuatu yang memiliki arah.' Allah Subhanahu wa Ta'ala disifati dengan itu melalui jalur pemberitaan (khabar), maka kita tidak melampaui apa yang telah diberitakan melalui khabar."

Qultu:
Pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa ulama yang menetapkan sifat fiss sama (di atas langit) tanpa takwil di dalamnya tidak meyakini dzat Allah memiliki batas dan ujung dan itu artinya tidak meyakini dzat Allah menetap pada satu arah yaitu arah atas dan tidak ada di arah selainnya.

قُلْتُ: وَهُوَ عَلَى هَذِهِ الطَّرِيقَةِ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ، وَكَلِمَةُ ثُمَّ تَعَلَّقَتْ بِالْمُسْتَوى عَلَيْهِ، لَا بِالِاسْتِوَاءِ، وَهُوَ كَقَوْلِهِ: {ثُمَّ اللَّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ} [يونس: 46] يَعْنِي: ثُمَّ يَكُوْنُ عَمَلُهُمْ فَيَشْهَدُهُ،

Aku (al Baihaqi) berkata: "Pada metode ini, istiwa termasuk sifat dzat. Kata 'tsumma' (kemudian) berkaitan dengan 'mustawa 'alaih' (apa yang diistiwa di atasnya), bukan dengan 'istiwa'. Ini seperti firman-Nya: {Kemudian Allah menjadi saksi atas apa yang mereka lakukan} [Yunus: 46], yang artinya: kemudian perbuatan mereka terjadi, lalu Allah menyaksikannya."

Qultu:
Pada bagian ini penulis menyebutkan pendapat ulama yang menjadikan istiwa sebagai sifat dzat dan menyatakan bahwa kata tsumma (kemudian) tidak selalu menunjukkan kepada sifat yang baru, karena disnisbatkan kepada objeknya, yaitu Arsy bukan kepada subjeknya, yaitu Allah.

وَقَدْ أَشَارَ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ إِسْمَاعِيلَ إِلَى هَذِهِ الطَّرِيقَةِ حِكَايَةً، فَقَالَ: وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنَّهُ صِفَةُ ذَاتٍ، وَلَا يُقَالُ: لَمْ يَزَلْ مُسْتَوِيًا عَلَى عَرْشِهِ، كَمَا أَنَّ الْعِلْمَ بِأَنَّ الْأَشْيَاءَ قَدْ حَدَثَتْ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ، وَلَا يُقَالُ: لَمْ يَزَلْ عَالِمًا بِأَنْ قَدْ حَدَثَتْ، وَلَمَّا حَدَثَتْ بَعْدُ، قَالَ: وَجَوَابِي هُوَ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنَّ اللَّهَ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ وَأَنَّهُ فَوْقَ الْأَشْيَاءَ بَائِنٌ مِنْهَا، بِمَعْنَى أَنَّهَا لَا تَحُلُّهُ وَلَا يَحُلُّهَا، وَلَا يَمَسُّهَا وَلَا يُشْبِهُهَا، وَلَيْسَتِ الْبَيْنُوْنَةُ بِالْعُزْلَةِ تَعَالَى اللَّهُ رَبُّنَا عَنِ الْحُلُوْلِ وَالْمُمَاسَّةِ عُلُوًّا كَبِيرًا.

Abu Al-Hasan Ali bin Ismail (Al-Asy'ari) telah mengisyaratkan metode ini secara riwayat. Ia berkata: 'Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa istiwa adalah sifat dzat. Tidak dikatakan bahwa Allah senantiasa beristiwa di atas Arsy-Nya, sebagaimana bahwa ilmu terhadap segala sesuatu yang telah terjadi adalah sifat dzat, tetapi tidak dikatakan bahwa Dia senantiasa mengetahui bahwa sesuatu telah terjadi sebelum sesuatu itu benar-benar terjadi.'

Ia berkata: "Jawabanku adalah yang pertama, yaitu bahwa Allah beristiwa di atas Arsy-Nya dan Dia di atas segala sesuatu, terpisah dari-Nya, dalam arti bahwa sesuatu tidak masuk ke dalam-Nya, dan Dia tidak masuk ke dalamnya, serta tidak menyentuhnya atau menyerupainya. Keterpisahan ini bukanlah dalam makna pengasingan (i’tizal). Mahatinggi Allah Rabb kita dari keberadaan (huluul) dan kontak fisik (mumasah), dengan ketinggian yang agung."

قَالَ: وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنَّ الِاسْتِوَاءَ صِفَةُ اللَّهِ تَعَالَى تَنْفِي الِاعْوِجَاجَ عَنْهُ، وَفِيمَا كَتَبَ إِلَيَّ الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورِ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّ كَثِيْرًا مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا ذَهَبُوْا إِلَى أَنَّ الِاسْتِوَاءَ هُوَ الْقَهْرُ وَالْغَلَبَةُ، وَمَعْنَاهُ أَنَّ الرَّحْمَنَ غَلَبَ الْعَرْشَ وَقَهَرَهُ، وَفَائِدَتُهُ الْإِخْبَارُ عَنْ قَهْرِهِ مَمْلُوْكَاتِهِ، وَأَنَّهَا لَمْ تَقْهَرْهُ، وَإِنَّمَا خَصَّ الْعَرْشَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ الْمَمْلُوْكَاتِ، فَنَبَّهَ بِالْأَعْلَى عَلَى الْأَدْنَى، قَالَ: وَالِاسْتِوَاءُ بِمَعْنَى الْقَهْرِ وَالْغَلَبَةِ شَائِعٌ فِي اللُّغَةِ، كَمَا يُقَالُ: اسْتَوَى فُلَانٌ عَلَى النَّاحِيَةِ إِذَا غَلَبَ أَهْلَهَا،

Ia juga berkata: "Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa istiwa adalah sifat Allah Ta'ala yang menafikan kekurangan atau ketidakseimbangan dari-Nya."

Dalam surat yang ditulis kepada saya oleh Ustadz Abu Manshur bin Abi Ayyub, ia menyebutkan bahwa banyak dari kalangan sahabat kami yang belakangan berpendapat bahwa istiwa bermakna penaklukan dan penguasaan (al-qahr wa al-ghalabah). Maknanya adalah bahwa Ar-Rahman menaklukkan dan menguasai Arsy, dan manfaatnya adalah pemberitaan tentang penguasaan-Nya terhadap ciptaan-Nya, serta bahwa mereka tidak dapat menguasai-Nya. Disebutkan secara khusus tentang Arsy karena ia adalah makhluk paling agung, sehingga dengan menyebutkan yang tertinggi, hal itu menunjukkan penguasaan-Nya terhadap yang lebih rendah darinya." Ia berkata: "Istiwa dalam arti penguasaan dan penaklukan tersebar luas dalam bahasa, sebagaimana dikatakan: 'Si Fulan beristiwa atas suatu wilayah' ketika ia telah menguasai penduduknya."

وَقَالَ الشَّاعِرُ فِي بِشْرِ بْنِ مَرْوَانَ:

[البحر الرجز]

قَدِ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ ... مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مُهْرَاقِ

يُرِيدُ: أَنَّهُ غَلَبَ أَهْلَهُ مِنْ غَيْرِ مُحَارَبَةٍ. قَالَ: وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي الْآيَةِ بِمَعْنَى الِاسْتِيلَاءِ، لِأَنَّ الِاسْتِيلَاءَ غَلَبَةٌ مَعَ تَوَقُّعِ ضَعْفٍ، قَالَ: وَمِمَّا يُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: {ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ} [فصلت: 11] وَالِاسْتِوَاءُ إِلَى السَّمَاءِ هُوَ الْقَصْدُ إِلَى خَلْقِ السَّمَاءِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ الْقَصْدُ إِلَى السَّمَاءِ اسْتِوَاءً جَازَ أَنْ تَكُونَ الْقُدْرَةُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتِوَاءً.

Dan seorang penyair berkata tentang Bisyr bin Marwan (bahr rajaz): "Bisyr telah beristawa atas Irak, tanpa pedang atau darah yang tertumpah." Maksudnya: Ia menguasai rakyatnya tanpa peperangan. Ia (penulis) berkata: "Namun, penggunaan kata istiwa' dalam ayat (Al-Qur'an) bukanlah dalam makna *istila' (menguasai dengan kemenangan yang melibatkan kelemahan). Sebab, istila' mencakup makna kemenangan dengan adanya dugaan kelemahan." Ia melanjutkan: "Dan salah satu yang menguatkan apa yang kami katakan adalah firman Allah Ta’ala: {ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ} (Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih berupa asap) [Fushshilat: 11]. Istiwa' kepada langit adalah kehendak menuju penciptaan langit. Maka, ketika kehendak menuju langit dapat disebut istawa', demikian pula kemampuan atas Arsy dapat disebut istawa'." (11)




Share:

Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah
Fiqih bermadzhab Syafi'iy, aqidah bermadzhab Asy'ari, Tasawuf bermadzhab Imam Ghazali