الرد على الوهابية
Ar Rad 'alal Wahabiyyah
[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (7)
Ibnu
Taimiyah adalah ulama yang diagung-agungkan oleh Wahabi dan sejarah mencatat
pada masa hidupnya Ibnu Taimiyah adalah sosok kontroversial. Pendapat
nyelenehnya terkait larangan melakukan perjalanan khusus untuk ziarah ke kubur
Nabi saw memancing banyak perdebatan dan penolakan. Jadi tidak heran jika
Wahabi pun di zaman sekarang menimbulkan banyak perdebatan dan penolakan,
karena mereka mengikuti panutannya.
Imam
Ibnu Hajar al Asqalani mencatat kisah Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya :
قَالَ الْكِرْمَانِيُّ: وَقَعَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي عَصْرِنَا
فِي الْبِلَادِ الشَّامِيَّةِ مُنَاظَرَاتٌ كَثِيْرَةٌ، وَصُنِّفَ فِيهَا
رَسَائِلُ مِنَ الطَّرَفَيْنِ.
Al-Kirmani
berkata: "Terjadi banyak perdebatan mengenai masalah ini di era kami di
negeri Syam, dan dari kedua belah pihak ditulis berbagai risalah
tentangnya."
قُلْتُ: يُشِيرُ إِلَى مَا رَدَّ بِهِ الشَّيْخُ
تَقِيُّ الدِّينِ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّيْنِ
ابْنِ تَيْمِيَّةَ، وَمَا انْتَصَرَ بِهِ الْحَافِظُ شَمْسُ الدِّيْنِ ابْنُ
عَبْدِ الْهَادِي وَغَيْرُهُ لِابْنِ تَيْمِيَّةَ. وَهِيَ مَشْهُوْرَةٌ فِي
بِلَادِنَا. وَالْحَاصِلُ: إِنَّهُمْ أَلْزَمُوْا ابْنَ تَيْمِيَّةَ بِتَحْرِيْمِ
شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةِ قَبْرِ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْكَرْنَا صُورَةَ ذَلِكَ. وَفِي شَرْحِ ذَلِكَ مِنَ الطَّرَفَيْنِ طُوْلٌ، وَهِيَ مِنْ أَبْشَعِ
الْمَسَائِلِ الْمَنْقُوْلَةِ عَنْ ابْنِ تَيْمِيَّةَ،
Aku
(Ibnu Hajar) berkata : Yang dimaksud adalah tanggapan yang diberikan oleh
Syaikh Taqiyuddin As-Subki dan lainnya terhadap Syaikh Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah, serta pembelaan yang dilakukan oleh Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Abdul
Hadi dan lainnya terhadap Ibnu Taimiyah. Masalah ini sudah dikenal luas di
negeri kami. Adapun kesimpulannya: mereka menisbatkan kepada Ibnu Taimiyah bahwa
ia mengharamkan perjalanan khusus (syadd ar-rihal) untuk menziarahi makam Nabi
kita, Rasulullah ﷺ, dan kami mengingkari
hal tersebut. Penjelasan dari kedua belah pihak tentang hal ini sangat panjang,
dan ini termasuk salah satu masalah yang paling buruk yang dinukil dari Ibnu
Taimiyah
وَمِنْ جُمْلَةِ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى
دَفْعِ مَا ادَّعَاهُ غَيْرُهُ مِنَ الْإِجْمَاعِ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ زِيَارَةِ
قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا نُقِلَ عَنْ مَالِكٍ
أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَقُولَ: زُرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَدْ أَجَابَ عَنْهُ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَصْحَابِهِ بِأَنَّهُ
كَرِهَ اللَّفْظَ أَدَبًا، لَا أَصْلَ الزِّيَارَةِ. فَإِنَّهَا مِنْ أَفْضَلِ
الْأَعْمَالِ وَأَجَلِّ الْقُرُبَاتِ الْمُوَصِّلَةِ إِلَى ذِي الْجَلَالِ،
وَأَنَّ مَشْرُوعِيَّتَهَا مَحَلُّ إِجْمَاعٍ بِلَا نِزَاعٍ، وَاللَّهُ الْهَادِي
إِلَى الصَّوَابِ.
Di
antara dalil yang digunakan untuk menolak klaim adanya ijma' (kesepakatan
ulama) tentang disyariatkannya ziarah ke makam Nabi ﷺ
adalah riwayat dari Imam Malik bahwa beliau tidak menyukai seseorang berkata:
'Aku telah menziarahi makam Nabi ﷺ.'
Para ahli tahqiq dari kalangan pengikutnya menjelaskan bahwa ketidaksukaan
tersebut terkait dengan lafaznya, sebagai bentuk kesopanan, bukan terhadap
esensi ziarah itu sendiri. Sebab, ziarah ke makam Nabi ﷺ termasuk amalan yang paling utama dan ibadah yang paling agung
untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia. Bahkan, kesyariatannya
menjadi kesepakatan tanpa ada perselisihan. Allah adalah pemberi petunjuk
kepada kebenaran.
قَالَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ : قَوْلُهُ : إِلَّا إِلَى
ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ مَحْذُوْفٌ، فَإِمَّا
أَنْ يُقَدِّرَ عَامًّا، فَيَصِيْرَ: لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ
أَمْرٍ كَانَ إِلَّا إِلَى الثَّلَاثَةِ، أَوْ أَخَصَّ مِنْ ذَلِكَ. لَا سَبِيلَ
إِلَى الْأَوَّلِ لِإِفْضَائِهِ إِلَى سَدِّ بَابِ السَّفَرِ لِلتِّجَارَةِ
وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَطَلَبِ الْعِلْمِ وَغَيْرِهَا، فَتَعَيَّنَ الثَّانِي. وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَدَّرَ مَا هُوَ أَكْثَرُ مُنَاسَبَةً، وَهُوَ:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ إِلَّا إِلَى
الثَّلَاثَةِ، فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْلُ مَنْ مَنَعَ شَدَّ الرِّحَالِ إِلَى
زِيَارَةِ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ وَغَيْرِهِ مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ، وَاللَّهُ
أَعْلَمُ.
Sebagian
ahli tahqiq berkata : Terkait sabda Nabi ﷺ:
'Kecuali
ke tiga masjid,' frasa yang dikecualikan darinya tidak disebutkan
secara eksplisit. Frasa itu bisa ditafsirkan secara umum, sehingga menjadi:
'Tidak boleh melakukan perjalanan ke tempat manapun untuk tujuan apapun kecuali
ke tiga masjid.' Atau lebih khusus dari itu. Penafsiran pertama tidak
memungkinkan, karena akan menghalangi perjalanan untuk tujuan perdagangan,
silaturahmi, menuntut ilmu, dan lainnya. Maka yang harus dipilih adalah
penafsiran kedua. Penafsiran yang lebih tepat adalah: 'Tidak boleh melakukan
perjalanan ke masjid untuk shalat di dalamnya kecuali ke tiga masjid.' Dengan
demikian, klaim bahwa perjalanan khusus untuk menziarahi makam Nabi yang mulia
dan makam orang-orang saleh lainnya dilarang menjadi batal. Allah lebih
mengetahui
وَقَالَ السُّبْكِيُّ الْكَبِيرُ: لَيْسَ فِي
الْأَرْضِ بُقْعَةٌ لَهَا فَضْلٌ لِذَاتِهَا حَتَّى تُشَدَّ الرِّحَالُ إِلَيْهَا
غَيْرَ الْبِلَادِ الثَّلَاثَةِ. وَمُرَادِي بِالْفَضْلِ: مَا شَهِدَ الشَّرْعُ
بِاعْتِبَارِهِ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ حُكْمًا شَرْعِيًّا. وَأَمَّا غَيْرُهَا مِنَ الْبِلَادِ فَلَا تُشَدُّ إِلَيْهَا
لِذَاتِهَا، بَلْ لِزِيَارَةٍ أَوْ جِهَادٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِنَ
الْمَنْدُوبَاتِ أَوِ الْمُبَاحَاتِ. قَالَ: وَقَدِ الْتَبَسَ ذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِمْ، فَزَعَمَ أَنَّ شَدَّ
الرِّحَالِ إِلَى الزِّيَارَةِ لِمَنْ فِي غَيْرِ الثَّلَاثَةِ دَاخِلٌ فِي
الْمَنْعِ، وَهُوَ خَطَأٌ، لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ إِنَّمَا يَكُونُ مِنْ جِنْسِ
الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ. فَمَعْنَى الْحَدِيثِ: لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ
إِلَى مَسْجِدٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ، أَوْ إِلَى مَكَانٍ مِنَ الْأَمْكِنَةِ لِأَجْلِ
ذَلِكَ الْمَكَانِ إِلَّا إِلَى الثَّلَاثَةِ الْمَذْكُورَةِ. وَشَدُّ
الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةٍ أَوْ طَلَبِ عِلْمٍ لَيْسَ إِلَى الْمَكَانِ بَلْ
إِلَى مَنْ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
As Subki
al Kabir berkata : Tidak ada tempat di bumi ini yang memiliki keutamaan
karena zatnya sehingga seseorang diperintahkan untuk melakukan perjalanan
kepadanya, kecuali tiga tempat suci. Yang aku maksud dengan keutamaan adalah
keutamaan yang diakui oleh syariat dan dijadikan dasar penetapan hukum syar'i.
Adapun tempat-tempat lainnya, tidak boleh dilakukan perjalanan ke sana karena
zatnya, tetapi karena tujuan seperti ziarah, jihad, menuntut ilmu, atau
kegiatan lainnya yang bersifat dianjurkan atau dibolehkan." Ia berkata:
"Hal ini telah disalahpahami oleh sebagian orang. Mereka mengira bahwa
perjalanan untuk menziarahi makam orang yang tidak berada di tiga tempat suci
termasuk dalam larangan. Ini adalah kesalahan, karena pengecualian dalam hadis
hanya berlaku dalam satu jenis (yakni masjid). Maksud hadis adalah: 'Tidak
boleh melakukan perjalanan ke masjid tertentu atau tempat tertentu karena
keutamaan tempat tersebut, kecuali ke tiga masjid yang disebutkan.' Adapun
perjalanan untuk ziarah atau menuntut ilmu, itu bukanlah perjalanan ke
tempatnya, melainkan kepada orang yang berada di tempat tersebut. Allah lebih
mengetahui.
[Kitab
Fathul Baari. Hal. 66. Juz 3].
Imam
Taqiyudin as Subki juga berkata di dalam kitab fatwanya :
كُنْت رَدَدْت عَلَيْهِ فِي
حَيَاتِهِ فِي إنْكَارِهِ السَّفَرَ لِزِيَارَةِ الْمُصْطَفَى - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَفِي إنْكَارِهِ وُقُوعَ الطَّلَاقِ إذَا حُلِفَ بِهِ ثُمَّ
ظَهَرَ لِي مِنْ حَالِهِ مَا يَقْتَضِي أَنَّهُ لَيْسَ مِمَّنْ يُعْتَمَدُ
عَلَيْهِ فِي نَقْلٍ يَنْفَرِدُ بِهِ لِمُسَارَعَتِهِ إلَى النَّقْلِ لِفَهْمِهِ
كَمَا فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَلَا فِي بَحْثٍ يُنْشِئُهُ لِخَلْطِهِ
الْمَقْصُودَ بِغَيْرِهِ وَخُرُوجِهِ عَنْ الْحَدِّ جِدًّا، وَهُوَ كَانَ
مُكْثِرًا مِنْ الْحِفْظِ وَلَمْ يَتَهَذَّبْ بِشَيْخٍ وَلَمْ يُرْتَضْ فِي
الْعُلُومِ بَلْ يَأْخُذْهَا بِذِهْنِهِ مَعَ جَسَارَتِهِ وَاتِّسَاعِ خَيَالِ
وَشَغَبٍ كَثِيرٍ، ثُمَّ بَلَغَنِي مِنْ حَالِهِ مَا يَقْتَضِي الْإِعْرَاضَ عَنْ النَّظَرِ
فِي كَلَامِهِ جُمْلَةً. وَكَانَ النَّاسُ فِي
حَيَاتِهِ اُبْتُلُوا بِالْكَلَامِ مَعَهُ لِلرَّدِّ عَلَيْهِ وَحُبِسَ
بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَوُلَاةِ الْأُمُورِ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ مَاتَ.
Imam as-Subki berkata: "Aku
pernah membantahnya (Ibnu Taimiyah) ketika ia masih hidup, terkait penolakannya
terhadap anjuran melakukan perjalanan untuk menziarahi makam Rasulullah ﷺ, dan juga terkait penolakannya atas
terjadinya talak jika seseorang bersumpah dengannya (dalam bentuk sumpah
talak). Kemudian, menjadi jelas bagiku dari keadaannya sesuatu yang menunjukkan
bahwa ia bukanlah orang yang dapat diandalkan dalam periwayatan yang hanya
disampaikannya seorang diri. Hal ini karena ia terlalu tergesa-gesa dalam
menyampaikan sesuatu berdasarkan pemahamannya, seperti dalam masalah ini. Ia
juga tidak dapat diandalkan dalam pembahasan yang disusunnya sendiri, karena ia
sering mencampuradukkan tujuan dengan hal-hal lain dan melampaui batas secara
berlebihan. Ia adalah orang yang memiliki banyak hafalan, tetapi ia tidak
mendapatkan pendidikan yang terarah dari seorang guru, dan ia tidak mendalami
ilmu secara layak. Sebaliknya, ia mempelajarinya berdasarkan pemahaman
pribadinya, disertai dengan keberaniannya, keluasan imajinasinya, dan banyaknya
kekacauan dalam pandangannya. Kemudian, aku mendengar tentang keadaannya
sesuatu yang membuatku berpaling untuk tidak lagi memerhatikan perkataannya
secara keseluruhan. Pada masa hidupnya, orang-orang diuji dengan perdebatan
dengannya untuk membantah pandangannya, dan ia dipenjara dengan kesepakatan
seluruh umat Islam serta penguasa pada masa itu. Kemudian ia meninggal
dunia."
[Kitab Fatawa as Subkiy. Hal. 210.]
Tradisi para ulama itu selalu mengangkat
kembali pembahasan terkait pendapat-pendapat ulama yang memiliki pendapat
nyeleneh disetiap generasinya untuk menjaga agar pendapat nyeleneh itu tidak
diikuti orang-orang awam. Maka kita pun harus mengikuti tradisi para ulama
tersebut karena ulama adalah panutan kita.
0 comments:
Posting Komentar