Kajian Ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf

Wikipedia

Hasil penelusuran

  • Allah ta'ala berfirman :

    Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS Al Mujadalah : 11).

  • Allah ta'ala berfirman :

    Tanyalah ahli ilmu jika kamu tidak tahu (QS Al Anbiya : 7).

  • Sa'id bin Jubair berkata :

    Seseorang senantiasa dikatakan berilmu selama dia terus menuntut ilmu, jika dia berhenti menuntut ilmu karena merasa tidak butuh lagi dan merasa cukup dengan ilmu yang dia miliki maka dia termasuk orang yang paling bodoh.

  • Nabi saw bersabda :

    Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka dia akan difahamkan di dalam ilmu agama.

Minggu, 22 Desember 2024

FITNAH USTADZ ABU UTSMAN KHARISMAN TERHADAP IMAM AL MUZANI

 الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (4)


Di dalam berargumentasi untuk mendukung aqidahnya yang meyakini Allah tinggi di atas Arsy dengan makna menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy, Ustadz Abu Utsman Kharisman mengutip perkataan Imam al Muzani di dalam Kitab Syarhussunnah.

Ustadz Abu Utsman Kharisman berkata :

Al-Muzani rahimahullah menyatakan:

عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ فِي مَجْدِهِ بِذَاتِهِ وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ أَحَاطَ عِلْمُهُ بِاْلأُمُوْرِ وَأَنْفَذَ فِي خَلْقِهِ سَابِقَ الْمَقْدُوْرِ وَهُوَ الْجَوَّادُ الْغَفُوْرُ { يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ }

Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dalam KemulyaanNya dengan DzatNya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari hambaNya. IlmuNya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaanNya (sesuai) yang telah ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. { Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada <<Q.S Ghafir/ al-Mu’min:19>>}

 

Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy pada puncak ketinggian. ‘Arsy adalah makhluk Allah tertinggi dan terbesar yang berada di atas langit. Secara tegas dalam kalimat ini al-Muzani menyatakan bahwa Dzat Allah di atas ketinggian.

Al-Muzani juga pernah menyatakan:

لاَ يَصِحُّ لِأَحَدٍ تَوْحِيْدٌ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ بِصِفَاتِهِ

Tidak sah tauhid seseorang hingga ia mengetahui bahwa Allah di atas ‘Arsy dengan Sifat-SifatNya (al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar karya adz-Dzahaby (1/186)).

 

Akidah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit, ber-istiwa’ di atas ‘Arsy adalah akidah para Nabi dan para Sahabatnya. Tidak hanya Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam, namun juga Nabi-Nabi sebelumnya.

Sumber : https://salafy.or.id/penjelasan-syarhus-sunnah-lil-muzani-bag-ke-3-a/

 

Jawaban :

Semua da'i wahabi dalam berdakwah terkait aqidah itu modusnya sama. Mereka hanya akan mengutip perkataan salaf yang berkata dengan ayat sifat tapi tidak mengutip kaidah yang dijadikan landasan pokok aqidah ulama salaf yang mereka kutip perkataannya. Yang demikian dikarenakan ayat sifat itu mutasyabihat sehingga mereka bisa memalingkan maksudnya sesuai dengan maksud sesat yang mereka kehendaki karena ihtimal lafadznya (memiliki beberapa kemungkinan makna). Sedangkan kaidah yang dibangun ulama salaf tegak di atas dalil yang muhkam sehingga mereka tidak bisa memalingkannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir di dalam tafsir surat ali Imron ayat 7 :

إِنَّمَا يَأْخُذُونَ مِنْهُ بِالْمُتَشَابِهِ الَّذِي يُمْكِنُهُمْ أَنْ يُحَرِّفُوهُ إِلَى مَقَاصِدِهِمُ الْفَاسِدَةِ، وَيُنْزِلُوهُ عَلَيْهَا، لِاحْتِمَالِ لَفْظِهِ لِمَا يَصْرِفُونَهُ  فَأَمَّا الْمُحْكَمُ فَلَا نَصِيبَ لَهُمْ فِيهِ

Pasti orang-orang sesat itu hanya akan mengutip yang mutasyabih dari al Qur'an yang memungkinkan mereka memalingkannya kepada maksud-maksud mereka yang rusak (sesat), dan mereka meletakkan di atasnya karena ihtimal lafadznya, adapun yang muhkam mereka tidak bisa memalingkannya.

[Tafsir Ibnu Katsir. 2/8]


Sehingga tatkala Ustadz Abu Utsman Kharisman berargumentasi dengan perkataan Imam al Muznai, cukup kita jawab dengan kaidah yang dibangun oleh Imam al Muzani. Seketika itu runtuh hujjahnya dan akan ditemukan ketanaqudan di mana-mana.

Maka kita jawab maksudnya bukan lah meyakini dzat Allah menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy, melainkan dengan mentafwidh maknanya kepada Allah, karena al Muzani membangun kaidah sifat-sifat dzat Allah kekal azaliyyah dengan perkataannya :

وكلمات الله وقدرة الله ونعته وَصِفَاته كاملات غير مخلوقات دائمات أزليات وَلَيْسَت بمحدثات فتبيد

Kalimat-kalimat Allah, kuasa-Nya, na'at-Nya dan sifat-sifat-Nya adalah yang sempurna, bukan yang diciptakan, yang kekal, azaliyyah dan bukan yang baru lalu binasa (punah).

[Kitab Syarhussunnah 1/79]

 

Dari kaidah itu kan jelas (muhkam) bahwa sebelum mahluk diciptakan dzat Allah memiliki sifat tidak menetap pada satu arah manapun, maka sekarang pun sifat tersebut tetap ada. Jika sekarang ditetapkan menetap pada satu arah, yaitu arah atas, itu artinya sifat dzat yang tidak menetap pada satu arah manapun sudah punah, tidak kekal.

Jika dengan ilmu tentu sangat mudah sekali membantah Wahabi dan menunjukkan bahwa Wahabi itu adalah sekte sesat yang membuat fitnah terhadap ulama salaf, karena di dalam setiap dakwahnya selalu menyebut nyebut nama ulama salaf, padahal faktanya apa yang diajarkan ulama salaf tidak sesuai dengan yang mereka katakan.

Kemudian terkait penambahan bi dzatihi (dengan dzat Nya), tentu menjadi kontradiksi dengan pemahaman Ustadz Abu Utsman Kharisman yang menetapkan semua bid'ah sesat dan mewajibkan menetapkan sifat itu harus tauqifiyyah (sesuai redaksi al Qur'an dan Sunnah), sehingga mereka menolak sifat Qadim yang ditetapkan asy'ariah dengan alasan bid'ah dan tidak dikenal di zaman sahabat Nabi radhiallahu'anhum. Faktanya penambahan kata bi dzatihi itu pun tidak dikenal di zaman para sahabat Nabi radhiallahu'anhum, alias bid'ah. Sebagaimana yang dikatakan al Bani di dalam tahqiqnya :

قلت: ومن هذا العرض يتبين أن هاتين اللفظتين: "بذاته" و"بائن" لم تكونا معروفين في عهد الصحابة رضي الله عنهم

Aku (al Bani) berkata : dan dari pemaparan ini menjadi jelas bahwa dua lafadz ini, yaitu bi dzatihi (dengan dzat Nya) dan baa'inun (yang terpisah) tidak dikenal di zaman sahabat radhiallahu'anhum.

[Mukhtashor al Uluw 1/17]

Apakah wahabi sekarang menetapkan adakalanya bid'ah itu ada manfaatnya (hasanah) ? Atau bagaimana ? Itulah salah satu inkonsistensi Wahabi.

Sedangkan bagi kami yang mengakui adanya bid'ah hasanah penambahan bi dzatihi itu tidak menjadi masalah jika maksudnya dibawa kepada maksud yang tepat, yaitu untuk menegaskan bahwa sifat al Uluw itu adalah sifat dzat yang azaliyah bukan dengan makna menetap pada satu arah, yaitu arah atas. Meskipun sebagian ulama seperti adz Dzahabi mengingkarinya.

Share:

Jumat, 20 Desember 2024

FITNAH USTAD FIRANDA TERHADAP IMAM IBNU BATHOH

 

الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (3)

Ustad Firanda berargumentasi dengan mengutip kalam Imam Ibnu Bathoh al Uqbari lalu dibawa maksudnya sesuai kehendaknya yang meyakini dzat Allah menetap di atas Arsy dengan makna berada pada satu arah dari arah-arah Arsy. Ini dikarenakan buruknya kefahaman Ustad Firanda di dalam memahami kalam ulama.

Ustad Firanda berkata :

Ibnu Batthoh juga menyatakan: Tuhan kita Allah Ta’ala mencela keadaan rendah dan memuji yang tinggi. Sebagaimana dalam firmanNya:

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin”.(Q.S al-Muthoffifiin: 18).’Illiyyin adalah langit ke tujuh… Dan Allah Ta’ala juga menyatakan:

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ

“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin”(Q.S al-Muthoffifiin:7) Sijjin yaitu lapisan bumi yang terbawah. (Lihat Ucapan Ibnu Batthoh tersebut dalam kitab al-Ibaanah juz 3 halaman 142-143).

Demikianlah, beberapa sisi pendalilan yang bisa kami sebutkan dalam tulisan ini. Pada tiap sisi pendalilan, terkandung banyak dalil dari Al Qur’an maupun hadits yang shahih.

Sumber : https://firanda.com/ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit/

 

Jawaban :

Metode yang benar di dalam memahami keyakinan para ulama harus di awali dari mempelajari ushul aqidahnya terlebih dahulu. Karena setiap ulama pasti membuat kaidah-kaidah sebagai landasan ushul aqidahnya agar orang lain yang membaca perkataannya di dalam sifat Allah tidak gagal faham.

Seharusnya Ustad Firanda mengkaji terlebih dahulu kaidah yang sudah dibuat Imam Ibnu Bathoh :

وَكُلُّ مَنْ حَدَثَتْ صِفَاتُهُ، فَمُحْدَثٌ ذَاتُهُ، وَمَنْ حَدَثَ ذَاتُهُ وَصِفَتُهُ، فَإِلَى فَنَاءٍ حَيَاتُهُ، وَتَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا

Semua yang baru sifat-sifat (dzat) nya, maka dzatnya adalah yang baru diadakan (diciptakan), dan sesuatu yang baru dzatnya dan sifat-sifatnya, maka menuju kebinasaan hidupnya, maha suci Allah dari sifat demikian itu.

[Kitab al Ibanah al Kubro 6/149]

Kaidah tersebut sangat jelas sekali dan mudah difahami. Kesimpulannya tidak boleh meyakini ada sifat dzat yang baru bagi dzat Allah. Maka kita harus melihat sifat dzat Allah sebelum mahluk diciptakan. Jika sebelum mahluk diciptakan dzat Allah tanpa batas dan tanpa ujung serta tidak diliputi arah-arah yang enam maka sekarang pun sama, dzat Allah tidak ada batasnya dan tidak ada ujungnya serta tidak diliputi arah-arah yang enam. Sehingga mustahil Imam Ibnu Bathoh meyakini makna dzat Allah menetap di atas sesuatu yang melazimkan meyakini ada sesuatu di bawah dzat Nya, atau hanya berada pada satu arah dan tidak ada di arah selainnya karena itu semua melazimkan dzat Allah ada ujungnya dan ada batasnya. Maha suci Allah dari sifat demikian.

Semua dalil yang dikutip oleh Imam Ibnu Bathoh untuk menunjukkan asal dari sifat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan maksudnya dzat Allah menetap di atas sesuatu yang melazimkan adanya batas dan ujung sebagai sifat dzat yang baru. Tentu tatkala kita menetapkan suatu sifat bagi Allah, kita harus menunjukkan asalnya, kemudian semua sifat terkait arah atas atau tempat tinggi difahami sebagai isyarat kepada suatu makna yang layak bagi Allah dan menyerahkan ilmunya kepada Allah ta'ala. Demikianlah keyakinan Ibnu Bathoh sesuai dengan kaidah yang sudah ditetapkannya.

Hal ini menunjukkan betapa buruknya kefahaman Ustad Firanda di dalam memahami perkataan ulama. Maha suci Allah dari sifat yang disifatkan orang-orang yang buruk kefahamannya.

Abdurrachman asy Syafi'iy

Share:

FITNAH USTAD FIRANDA ANDIRJA YANG MENGUTIP KALAM IMAM BUKHARI, IBNU BATHAL DAN IBNU HAJAR AL ASQALANI

 

الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (2)


Ustad Firanda berargumentasi dengan mengutip kalam Imam Bukhari, Imam Ibnu Bathal dan Imam Ibnu Hajar al Asqalani untuk menguatkan pendapatnya yang menyatakan dzat Allah berada di atas Arsy dengan makna menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy.

 

Ustad Firanda berkata :

Bahkan para ulama hadits yang mengumpulkan hadits-hadits Nabi juga membantah pemahaman Jahmiyah ini. Seperti Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya berkata كتاب الرد على الجهمية “Kitab bantahan terhadap Jahmiyah” (dan judul seperti ini terdapat dalam shahih Al-Bukhari dalam riwayat Al-Mustamli, dan juga terdapa pada nuskhoh Ibnu Battol dan Ibnu At-Tiin, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/344)

Dan dalam kitab tersebut Imam Al-Bukhari membawakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit sebagai bantahan kepada aqidah Jahmiyah yang mengingkari adanya Allah di atas langit. Imam Al-Bukhari berkata :

باب قول الله تعالى {تعرج الملائكة والروح إليه} وقوله جل ذكره {إليه يصعد الكلم الطيب} وقال أبو جمرة عن ابن عباس بلغ أبا ذر مبعث النبي صلى الله عليه وسلم فقال لأخيه أَعْلِمْ لِي عِلْمَ هذا الرجلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ يَأْتِيْهِ الْخَبَرُ مِنَ السَّمَاءِ

“Bab firman Allah Ta’aala “Para malaikat dan Jibril naik ke Allah” (QS Al-Ma’aarij :4), dan firman Allah “Kepada Allah lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amalan sholeh dinaikkanNya” (QS Faathir : 10). Dan Abu Hamzah berkata, “Dari Ibnu Abbaas : Bahwasanya tatkala kabar tentang diutusnya Nabi Muhammad sampai kepada Abu Dzar maka Abu Dzar –radhiallahu ‘anhu- berkata kepada saudaranya : Kabarkanlah kepadaku tentang ilmu orang ini (yaitu Nabi Muhammad) yang menyangka bahwasanya telah datang kepadanya khabar dari langit !” (Shahih Al-Bukhari 9/126).

 

Pendalilan Imam Al-Bukhari ini telah diisyaratkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam perkataannya:

حديث أخرجه البخاري في كتاب الرد على الجهمية من صحيحه في باب قوله إليه يصعد الكلم الطيب عن ابن عباس قال بلغ أبا ذر مبعث النبي فقال لأخيه أعلم لي علم هذا الرجل الذي يزعم أنه يأتيه الخبر من السماء

“Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Kitab Bantahan terhadap Jahmiyah dari kitab shahihnya, yaitu pada Bab firman Allah Ta’aala “Kepada Allah lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amalan sholeh dinaikkanNya” (Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-Goffaar).

Sumber : https://firanda.com/ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit/

 

Jawaban :

Perlu diketahui bahwa letak persoalan bukanlah terkait apakah para ulama ahlussunnah wal jama'ah menetapkan sifat istawa dan fauqiyah (sifat di atas Arsy) tanpa takwil. Karena hal itu disepakati kebolehannya.

Persoalannya terletak pada pertanyaan : apakah di dalam menetapkan sifat tanpa takwil tersebut meyakini makna hakikat secara tekstualis atau dengan mentafwidh maknanya ?

Yad berdasarkan sudut pandang orang arab yang berbahasa arab makna hakikat tekstualisnya adalah jarihah (anggota badan) sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata tangan. Namun, tatkala disifatkan kepada Allah makna jarihah tidak diyakini, bahkan Wahabi pun sepakat dengan keyakinan tersebut. Itu artinya menetapkan sifat sesuai redaksi al Qur'an dan sunnah tidak wajib meyakini makna hakikat secara tekstualis.

Makna jarihah di dalam sifat yad tidak diyakini karena alasan jarihah adalah sifat jisim, maka seharusnya di dalam sifat istawa dan fauqiyah juga tidak meyakini makna tekstualisnya, yaitu menetap pada satu arah atau bertempat, karena sama-sama sifat jisim.

Ustad Firanda menyebut nama-nama ulama seperti Imam Ibnu Bathal dan Imam Ibnu Hajar al Asqalani dengan kitabnya yaitu kitab Fathul Baari kemudian mengutip perkataan Imam Bukhari yang berdalil dengan firman Allah dan berkata :

باب قول الله تعالى {تعرج الملائكة والروح إليه} وقوله جل ذكره {إليه يصعد الكلم الطيب}

“Bab firman Allah Ta’aala “Para malaikat dan Jibril naik ke Allah” (QS Al-Ma’aarij :4), dan firman Allah “Kepada Allah lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amalan sholeh dinaikkanNya” (QS Faathir : 10).

Lalu dibawa maksudnya sesuai dengan yang dikehendakinya untuk mendukung keyakinannya yang meyakini dzat Allah menetap pada satu arah atau bertempat.

Seandainya Ustad Firanda orang yang jujur dan adil di dalam menukil perkataan ulama, seharusnya ia menukil penjelasan Imam Ibnu Bathal di dalam kitab Fathul Baari milik Imam Ibnu Hajar al Asqalani yang menjelaskan tentang perkataan Imam Bukhari di dalam mengutip Surat Faathir ayat 10. Berikut nukilannya :

وَقَالَ بنْ بَطَّالٍ غَرَضُ الْبُخَارِيِّ فِيْ هَذَا الْبَابِ الرَّدُّ عَلَى الْجَهْمِيَّةِ الْمُجَسِّمَةِ فِي تَعَلُّقِهَا بِهَذِهِ الظَّوَاهِرِ وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِجِسْمٍ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى مَكَانٍ يَسْتَقِرُّ فِيْهِ فَقَدْ كَانَ وَلَا مَكَانَ وَإِنَّمَا أَضَافَ الْمَعَارِجَ إِلَيْهِ إِضَافَةَ تَشْرِيفٍ وَمَعْنَى الِارْتِفَاعِ إِلَيْهِ اعْتِلَاؤُهُ مَعَ تَنْزِيهِهِ عَنِ الْمَكَانِ انْتَهَى

Imam Ibnu Bathal berkata : Tujuan Imam Bukhari di dalam bab ini adalah membantah Jahmiyah Mujassimah di dalam argumentasinya dengan teks-teks ayat ini secara tekstualis. Sudah pasti sesungguhnya Allah bukan jisim maka tidak butuh tempat untuk menetap di atasnya, sesungguhnya Allah ada dan tidak ada tempat. Dan pastinya menyandarkan tempat-tempat tinggi kepada Allah merupakan kiasan idhafat tasyrif (penyandaran untuk memuliakan Allah), makna (malaikat) naik kepada Nya adalah isyarat kemuliaan Nya disertai mensucikan Nya dari tempat. Selesai.

[Kitab Fathul baari 13/417].

 

Imam Ibnu Hajar al Asqalani juga menjelaskan dengan perkataannya :

وَلَيْسَ قَوْلُنَا إِنَّ اللَّهَ عَلَى الْعَرْشِ أَيْ مُمَاسٌّ لَهُ أَوْ مُتَمَكِّنٌ فِيهِ أَوْ مُتَحَيِّزٌ فِي جِهَةٍ مِنْ جِهَاتِهِ بَلْ هُوَ خَبَرٌ جَاءَ بِهِ التَّوْقِيْفُ فَقُلْنَا لَهُ بِهِ وَنَفَيْنَا عَنْهُ التَّكْيِيفَ إِذْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ

Perkataan kami sesungguhnya Allah di atas Arsy maksudnya bukan Allah yang menyentuh Arsy atau yang berada di atasnya atau yang menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy, tetapi yang demikian adalah kabar dari al Quran dan Sunnah, maka kami berkata dengannya dan kami meniadakan darinya kaifiyah, karena tidak ada yang menyerupai Nya segala sesuatu apapun. Semoga Allah memberikan taufiq.

[Kitab Fathul Baari 13/413]

 

Faktanya apa yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Bathal dan Imam Ibnu Hajar al Asqalani membantah keyakinan Ustad Firanda. Seandainya kami tidak menjawab Ustad Firanda niscaya orang-orang awam akan menyangka bahwa Imam Ibnu Bathal, Imam Ibnu Hajar al Asqalani dan Imam Bukhari memiliki keyakinan yang sama dengan Ustad Firanda. Jelas itu adalah fitnah yang keji terhadap para ulama ahlussunnah wal jama'ah. Semoga Allah menjaga umat muslim dari fitnah Wahabi.

Ustad Firanda juga menyebut nama Imam adz Dzahabi dengan perkataannya " Pendalilan Imam Al-Bukhari ini telah diisyaratkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam perkataannya (di dalam kitab al Uluw lil 'Aliyyil Goffar)". Namun lagi-lagi Ustad Firanda tidak jujur dan tidak adil di dalam menukil kitab ulama. Karena seandainya jujur dan adil seharunya menukilkan juga penjelasan Imam adz Dzahabi di dalam kitab al Uluw lil 'Aliyyil Goffar yang menjelaskan para ulama salaf mentafwidh makna dengan mengutip perkataan Imam Haramain seorang ulama besar Asy'ariyyah :

وَذَهَبَ أَئِمَّةُ السَّلَفِ إِلَى الْاِنْكِفَافَ عَنِ التَّأْوِيْل وإجراء الظَّوَاهِر على مواردها وتفويض مَعَانِيهَا إِلَى الرب عزوجل

Para Imam Salaf menempuh jalan tidak mentakwil dan menetapkan redaksi-redaksi sifat sesuai pada tempat-tempatnya dan mentafwidh makna-maknanya kepada ar Rabb (Allah) 'azza wa jalla.

[Kitab al Uluw lil 'Aliyyil Goffar 1/257]

 

Penjelasan Imam adz Dzahabi jelas membantah keyakinan Ustad Firanda, karena orang-orang seperti Ustad Firanda sudah tentu tidak mentafwidh makna, melainkan meyakini makna istawa dan fauqiyah secara tekstualis. Demikianlah fitnah-fitnah yang diciptakan kaum tekstualis, di mana mereka mengutip ayat-ayat mutasyabihat untuk membuat fitnah dan menentukan maknanya sesuai dengan makna sesat yang mereka kehendaki.

 

Abdurrachman asy Syafi'iy

 

Share:

JAWABAN TERHADAP ARGUMENTASI USTAD FIRANDA ANDIRJA TERKAIT SIFAT ISTAWA

 

 

الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (1)


Ustad Firanda berkata :

Diantara aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –yang juga merupakan aqidah para as-Salaf as-Sholeh- bahwasanya Allah berada di atas langit.

Aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i tentang Allah di atas telah diakui oleh para ulama Asy-Syafi’iyah diantaranya Imam Al-Baihaqi, Al-Imam Adz-Dzahabi, dan Al-Barzanji rahimahumullah.

Al-Baihaqi (wafat 458 H) –salah seorang ulama besar madzhab Asy-Syafi’iyah-  berkata :

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: هَذِهِ نُسْخَةُ الْكِتَابِ الَّذِي أَمْلَاهُ الشَّيْخُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ فِي مَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِيمَا جَرَى بَيْنَ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ وَبَيْنَ أَصْحَابِهِ، فَذَكَرَهَا وَذَكَرَ فِيهَا: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5] بِلَا كَيْفٍ، وَالْآثَارُ عَنِ السَّلَفِ فِي مِثْلِ هَذَا كَثِيرَةٌ" وَعَلَى هَذِهِ الطَّرِيقِ يَدُلُّ مُذْهِبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَإِلَيْهَا ذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالْحُسَيْنُ بْنُ الْفَضْلِ الْبَجَلِيُّ. وَمِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ

“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdillah Al-Haafiz, ia berkata : Inilah naskah kitab yang didiktekan oleh Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ayyuub tentang madzhab Ahlus Sunnah, tentang apa yang terjadi antara Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah dengan para sahabatnya… dan ia menyebutkan diantaranya :

الرحمن على العرش استوى بلا كيف

Ar-Rahman berada di atas ‘Arsy tanpa ditanya bagaimananya. Dan atsar dari para salaf tentang yang seperti ini banyak. Dan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu menunjukkan berada di atas jalan ini, dan ini juga merupakan madzhab Ahmad bin Hanbal, dan Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bajali dan dari kalangan para ulama mutaakhirin adalah Abu Sulaiman Al-Khotthoobi” (Al-Asmaa’ wa as-Shifaat 2/308)

Sumber : https://firanda.com/ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit/

 

*Jawaban :*

Yang dilakukan ustad Firanda adalah mengutip sebagian kitab lalu meninggalkan bagian lainnya untuk menggiring opini orang-orang awam kepada maksud yang dikehendakinya dengan menyandarkan pemahamannya kepada para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah. Ustad Firanda mengutip riwayat Imam Baihaqi di dalam kitab al Asma wa Shifat, di mana kitab tersebut ditulis sendiri oleh Imam Baihaqi yang meriwayatkan perkataan salaf yang menetapkan sifat sesuai redaksi yang ada di dalam al Quran dan sunnah lalu diam tanpa menjelaskan maksudnya.

Namun oleh ustad Firanda dibawa maksudnya kepada maksud yang dia kehendaki yaitu menetapkan dzat Allah berada di atas Arsy dengan makna menetap atau berada pada satu arah dari arah-arah Arsy.

Seandainya Ustad Firanda berlaku jujur dan adil di dalam mengutip perkataan ulama, seharusnya dia mengutip juga penjelasan Imam Baihaqi di dalam kitab yang sama dengan yang dikutipnya, hanya berbeda halaman. Di mana Imam Baihaqi menjelaskan maksud dari perkataan salaf yang diriwayatkannya dengan perkataannya :

وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِ الْمُسْلِمِينَ: إِنَّ اللَّهَ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، هُوَ أَنَّهُ مُمَاسٌّ لَهُ، أَوْ مُتَمَكِّنٌ فِيهِ، أَوْ مُتَحَيِّزٌ فِي جِهَةٍ مِنْ جِهَاتِهِ

Makna perkataan kaum muslimin "sesungguhnya Allah beristawa di atas Arsy" bukan dialah Allah yang menyentuh Arsy, atau yang bertempat di dalamnya, atau yang berada pada satu arah dari arah-arah Arsy.

(Al-Asmaa’ wa as-Shifaat 2/278)

 

Lebih jelas lagi penjelasan Imam Baihaqi di dalam kitab nya yang lain yang menjelaskan dengan perkataannya :

لَكِنَّهُ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيْفٍ بِلَا أَيْنَ

Akan tetapi Allah adalah yang beristawa di atas Arsy-Nya sebagaimana yang sudah dikabarkan tanpa kaif dan tanpa pertanyaan di mana.

(Al-I'tiqad 'alaa Madzhab as-Salaf 1/116)

 

Dari penjelasan Imam Baihaqi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa menetapkan Allah beristawa di atas Arsy maksudnya bukan sebagai jawaban dari pertanyaan di mana Allah dan bukan maksudnya meyakini posisi dzat Allah menetap atau berada pada satu arah.

 

Ustadz Firanda berkata :

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah –salah seorang ulama madzhab syafi’iyah- juga berkata :

روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله تعالى قال القول في السنة التي أنا عليها ورأيت عليها الذين رأيتهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأن الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء

“Syaikhul Islam Abul Hasan Al-Hikaari dan Al-Haafizh Abu Muhammad Al-Maqdisi meriwayatkan dengan sanad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, mereka berdua meriwayatkan dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i sang penolong hadits rahimahullah ia berkata :

“Perkataan tentang sunnah yang aku berada di atasnya dan aku melihat orang-orang yang aku lihat berada di atasnya seperti Sufyan, Malik, dan selain mereka berdua yaitu mengakui syahadah Laa ilaaha illaallah dan Muhammad Rasulullah, dan bahwasanya Allah berada di atas ‘ArsyNya di langit, ia dekat dengan makhukNya sebagaimana yang Ia kehendaki dan ia turun ke langit dunia sebagaimana yang Ia kehendaki” (Al-‘Uluw Li Al-‘Aliy al-Goffaar hal 165 no 443, atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi wafat 620 H dalam kitabnya Itsbaat Sifat al-‘Uluw hal 180 no 92)

 

Jawaban :

Sama seperti di dalam penukilan perkataan Imam Baihaqi, seandainya ustadz Firanda berlaku adil dan jujur di dalam menukil perkataan Imam adz Dzahabi, seharunya ia menukil juga penjelasan Imam adz Dzahabi, di mana Imam adz Dzahabi menjelaskan dengan perkataannya :

 فَقَولُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابِهِ: الإِقرَارُ، وَالإِمْرَارُ، وَتَفْويضُ مَعْنَاهُ إِلَى قَائِلِه الصَّادِقِ المَعْصُومِ

Pendapat kami di dalam masalah sifat yang demikian itu dan di dalam babnya adalah berikrar, membiarkan (tanpa takwil) dan mentafwidh maknanya kepada yang mengatakannya yang memiliki sifat shadiq lagi ma'shum.

(Siyar A'lam an Nubala 8/105)

 

Dari penjelasan Imam adz Dzahabi kita bisa memahami bahwa para ulama salaf yang berkata dengan sifat istawa dan fauqiyah (sifat di atas) tanpa takwil maksudnya disertai dengan mentafwidh maknanya, tidak seperti maksud yang dikehendaki oleh ustadz Firanda.

Perkataan dengan sifat-sifat tanpa takwil merupakan madzhab mayoritas para ulama salaf, tentu akan mudah bagi ustadz Firanda mengutip ratusan kalam ulama yang berkata dengan sifat istawa dan fauqiyah, namun semua itu maksudnya disertai dengan menyerahkan maknanya kepada Allah. Memang demikianlah madzhab orang-orang yang disesatkan oleh Allah, di mana mereka akan mengutip kalam-kalam ulama yang berkata dengan ayat mutasyabihat lalu mereka bawa maksudnya kepada makna sesat yang mereka kehendaki mengingat lafadznya yang mutasyabih (samar atau ambigu).

 

Abdurrachman asy Syafi'iy

Share:

Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah
Fiqih bermadzhab Syafi'iy, aqidah bermadzhab Asy'ari, Tasawuf bermadzhab Imam Ghazali