الرد على الوهابية
Ar Rad 'alal Wahabiyyah
[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (4)
Di
dalam berargumentasi untuk mendukung aqidahnya yang meyakini Allah tinggi di
atas Arsy dengan makna menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy, Ustadz Abu
Utsman Kharisman mengutip perkataan Imam al Muzani di dalam Kitab
Syarhussunnah.
Ustadz Abu Utsman Kharisman berkata :
Al-Muzani rahimahullah menyatakan:
عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ فِي مَجْدِهِ بِذَاتِهِ
وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ أَحَاطَ عِلْمُهُ بِاْلأُمُوْرِ وَأَنْفَذَ
فِي خَلْقِهِ سَابِقَ الْمَقْدُوْرِ وَهُوَ الْجَوَّادُ الْغَفُوْرُ { يَعْلَمُ
خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ }
Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dalam KemulyaanNya
dengan DzatNya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari hambaNya. IlmuNya meliputi
segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaanNya (sesuai) yang telah
ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. { Dia
Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang
disembunyikan (dalam) dada <<Q.S Ghafir/ al-Mu’min:19>>}
Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy pada puncak
ketinggian. ‘Arsy adalah makhluk Allah tertinggi dan terbesar yang berada di
atas langit. Secara tegas dalam kalimat ini al-Muzani menyatakan bahwa Dzat
Allah di atas ketinggian.
Al-Muzani juga pernah menyatakan:
لاَ يَصِحُّ لِأَحَدٍ تَوْحِيْدٌ حَتَّى يَعْلَمَ
أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ بِصِفَاتِهِ
Tidak sah tauhid seseorang hingga ia
mengetahui bahwa Allah di atas ‘Arsy dengan Sifat-SifatNya (al-‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar karya adz-Dzahaby (1/186)).
Akidah yang menyatakan bahwa Allah berada di
atas langit, ber-istiwa’ di atas ‘Arsy adalah
akidah para Nabi dan para Sahabatnya. Tidak hanya Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam, namun juga Nabi-Nabi
sebelumnya.
Sumber
: https://salafy.or.id/penjelasan-syarhus-sunnah-lil-muzani-bag-ke-3-a/
Jawaban :
Semua
da'i wahabi dalam berdakwah terkait aqidah itu modusnya sama. Mereka hanya akan
mengutip perkataan salaf yang berkata dengan ayat sifat tapi tidak mengutip
kaidah yang dijadikan landasan pokok aqidah ulama salaf yang mereka kutip
perkataannya. Yang demikian dikarenakan ayat sifat itu mutasyabihat sehingga
mereka bisa memalingkan maksudnya sesuai dengan maksud sesat yang mereka
kehendaki karena ihtimal lafadznya (memiliki beberapa kemungkinan makna).
Sedangkan kaidah yang dibangun ulama salaf tegak di atas dalil yang muhkam
sehingga mereka tidak bisa memalingkannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsir surat ali Imron ayat 7 :
إِنَّمَا يَأْخُذُونَ مِنْهُ بِالْمُتَشَابِهِ الَّذِي يُمْكِنُهُمْ أَنْ
يُحَرِّفُوهُ إِلَى مَقَاصِدِهِمُ الْفَاسِدَةِ، وَيُنْزِلُوهُ عَلَيْهَا،
لِاحْتِمَالِ لَفْظِهِ لِمَا يَصْرِفُونَهُ
فَأَمَّا الْمُحْكَمُ فَلَا نَصِيبَ لَهُمْ فِيهِ
Pasti
orang-orang sesat itu hanya akan mengutip yang mutasyabih dari al Qur'an yang
memungkinkan mereka memalingkannya kepada maksud-maksud mereka yang rusak
(sesat), dan mereka meletakkan di atasnya karena ihtimal lafadznya, adapun yang
muhkam mereka tidak bisa memalingkannya.
[Tafsir
Ibnu Katsir. 2/8]
Sehingga tatkala Ustadz Abu Utsman Kharisman berargumentasi dengan perkataan Imam
al Muznai, cukup kita jawab dengan kaidah yang dibangun oleh Imam al Muzani.
Seketika itu runtuh hujjahnya dan akan ditemukan ketanaqudan di mana-mana.
Maka
kita jawab maksudnya bukan lah meyakini dzat Allah menetap pada satu arah dari
arah-arah Arsy, melainkan dengan mentafwidh maknanya kepada Allah, karena al
Muzani membangun kaidah sifat-sifat dzat Allah kekal azaliyyah dengan
perkataannya :
وكلمات الله وقدرة الله ونعته وَصِفَاته كاملات غير مخلوقات دائمات أزليات
وَلَيْسَت بمحدثات فتبيد
Kalimat-kalimat Allah, kuasa-Nya, na'at-Nya dan
sifat-sifat-Nya adalah yang sempurna, bukan yang diciptakan, yang kekal,
azaliyyah dan bukan yang baru lalu binasa (punah).
[Kitab Syarhussunnah 1/79]
Dari kaidah itu kan jelas (muhkam) bahwa sebelum mahluk diciptakan dzat Allah memiliki sifat tidak menetap pada satu arah manapun, maka sekarang pun sifat tersebut tetap ada. Jika sekarang ditetapkan menetap pada satu arah, yaitu arah atas, itu artinya sifat dzat yang tidak menetap pada satu arah manapun sudah punah, tidak kekal.
Jika dengan ilmu tentu sangat mudah sekali membantah Wahabi dan menunjukkan bahwa Wahabi itu adalah sekte sesat yang membuat fitnah terhadap ulama salaf, karena di dalam setiap dakwahnya selalu menyebut nyebut nama ulama salaf, padahal faktanya apa yang diajarkan ulama salaf tidak sesuai dengan yang mereka katakan.
Kemudian
terkait penambahan bi dzatihi (dengan dzat Nya), tentu menjadi kontradiksi
dengan pemahaman Ustadz Abu Utsman Kharisman yang menetapkan semua bid'ah sesat
dan mewajibkan menetapkan sifat itu harus tauqifiyyah (sesuai redaksi al Qur'an
dan Sunnah), sehingga mereka menolak sifat Qadim yang ditetapkan asy'ariah
dengan alasan bid'ah dan tidak dikenal di zaman sahabat Nabi radhiallahu'anhum.
Faktanya penambahan kata bi dzatihi itu pun tidak dikenal di zaman para sahabat
Nabi radhiallahu'anhum, alias bid'ah. Sebagaimana yang dikatakan al Bani di
dalam tahqiqnya :
قلت: ومن هذا العرض يتبين أن هاتين اللفظتين: "بذاته"
و"بائن" لم تكونا معروفين في عهد الصحابة رضي الله عنهم
Aku (al Bani) berkata : dan dari pemaparan ini menjadi
jelas bahwa dua lafadz ini, yaitu bi dzatihi (dengan dzat Nya) dan baa'inun
(yang terpisah) tidak dikenal di zaman sahabat radhiallahu'anhum.
[Mukhtashor al Uluw 1/17]
Apakah wahabi sekarang menetapkan adakalanya bid'ah
itu ada manfaatnya (hasanah) ? Atau bagaimana ? Itulah salah satu inkonsistensi
Wahabi.
Sedangkan bagi kami yang mengakui adanya bid'ah
hasanah penambahan bi dzatihi itu tidak menjadi masalah jika maksudnya dibawa
kepada maksud yang tepat, yaitu untuk menegaskan bahwa sifat al Uluw itu adalah
sifat dzat yang azaliyah bukan dengan makna menetap pada satu arah, yaitu arah
atas. Meskipun sebagian ulama seperti adz Dzahabi mengingkarinya.