Kajian Ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf

Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 01 Desember 2024

KITAB AL MAJMU' SYARAH AL MUHADZAB [IMAM NAWAWI]

 

ﻛِﺘَﺎﺏُ اﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓِ

Kitab Bersuci

(ﺑَﺎﺏُ ﻣَﺎ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺑِﻪِ اﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻣِﻦَ اﻟْﻤِﻴَﺎﻩِ ﻭَﻣَﺎ لَا ﻳَﺠُﻮْﺯُ)

(Bab apa-apa yang boleh bersuci dengannya dari  sejumlah air dan apa-apa yang tidak boleh)

)اﻟﺸَّﺮْﺡُ)

(Penjelasan)

 ﺃَﻣَّﺎ اﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ ﻓَﺴَﺒَﻖَ ﺑَﻴَﺎﻧُﻪُ ﻭَاﻟْﺒَﺎﺏُ ﻫُﻮَ اﻟﻄَّﺮِﻳْﻖُ ﺇِﻟَﻰ الشَّيْءِ ﻭَاﻟﻤَﻮْﺻِﻞَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺑَﺎﺏُ اﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻭَاﻟﺪَّاﺭِ ﻣَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﻣِﻨْﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺑَﺎﺏُ اﻟْﻤِﻴَﺎﻩِ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻮَﺻَّﻞُ ﺑِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺣْﻜَﺎﻣِﻬَﺎ

Adapun lafadz "Kitab" (di dalam kalimat ِكِتَابُ الطَّهَارَة) sudah mendahului penjelasannya di awal. Sedangkan lafadz "bab" (بَابٌ), maknanya adalah jalan menuju sesuatu dan tempat penghubung kepada sesuatu tersebut. Kata bab di dalam kalimat babul masjid [بَابُ الْمَسْجِدِ]  dan babud daari [بَاب الدَّارِ] maksudnya adalah apa-apa yang masuk darinya sesuatu menuju kepadanya (pintu mesjid dan pintu rumah).

ﻭَﻗَﺪْ ﻳَﺬْﻛُﺮُﻭْﻥَ ﻓِﻲ اﻟْﺒَﺎﺏِ ﺃَﺷْﻴَﺎءَ ﻟَﻬَﺎ ﺗَﻌَﻠَّﻖَ ﺑِﻤَﻘْﺼُﻮْﺩِ اﻟْﺒَﺎﺏِ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻣِﻤَّﺎ ﺗَﺮَﺟَّﻢَ ﻟَﻪُ ﻛَﺈِﺩْﺧَﺎﻟِﻪِ اﻟْﺨِﺘَﺎﻥَ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴْﻢَ الْأَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺَّ اﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ ﻭَﻧَﺤْﻮَﻫَﺎ ﻓِﻲْ ﺑَﺎﺏِ اﻟﺴِّﻮَاﻙِ ﻟِﻜَﻮْﻧِﻬَﺎ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻣِﻦْ ﺧِﺼَﺎﻝِ اﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﻓَﻴَﻜُﻮْﻥُ اﻟﺘَّﻘْﺪِﻳْﺮُ ﺑَﺎﺏُ اﻟﺴِّﻮَاﻙِ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻖُ ﺑِﻪِ ﻭَﻳُﻘَﺎﺭِﺑُﻪُ

Dan terkadang mereka menuturkan di dalam suatu bab hal-hal yang terkait dengan tujuan dari bab itu sekalipun bukan bagian dari yang menjelaskan judul bab seperti memasukkan masalah khitan, memotong kuku-kuku, memotong kumis dan semisalnya di dalam bab siwak karena semua itu bagian dari sifat-sifat fitrah, maka perkiraan judul babnya menjadi : "bab siwak dan hal-hal yang terkait dengan siwak serta mendekati tujuan bersiwak".

ﻭَﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻳَﺠُﻮْﺯُ اﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻟَﻔْﻈَﺔُ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻳَﺴْﺘَﻌْﻤِﻠُﻮْﻧَﻬَﺎ ﺗَﺎﺭَﺓً ﺑِﻤَﻌْﻨَﻰ ﻳَﺤِﻞُّ ﻭَﺗَﺎﺭَﺓً ﺑِﻤَﻌْﻨَﻰ ﻳَﺼِﺢُّ ﻭَﺗَﺎﺭَﺓً ﺗَﺼْﻠُﺢُ لِلْأَﻣْﺮَﻳْﻦِ: ﻭَﻫَﺬَا اﻟْﻤَﻮْﺿِﻊُ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼْﻠُﺢُ ﻓِﻴْﻪِ لِلْأَﻣْﺮَﻳْﻦِ.

Dan perkataannya (maksudnya perkataan Imam Syairoji di dalam kitab al Muhadzab) "yajuuzu ath thohaarotu" [يَجُوْزُ الطَّهَارَةُ]  adakalanya mereka menggunakan lafadz yajuzu [يَجُوْزُ] dengan makna halal, adakalanya dengan makna sah dan adakalanya  sesuai bagi dua hal tersebut. Dan bagian ini sebagian dari apa-apa yang sesuai bagi dua hal tersebut.

ﻭَﺃَﻣَّﺎ اﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻓَﻬِﻲَ ﻓِﻲ اﻟﻠُّﻐَﺔِ اﻟﻨَّﻈَﺎﻓَﺔُ ﻭَاﻟﻨَّﺰَاﻫَﺔُ ﻋَﻦِ الْأَﺩْﻧَﺎﺱِ

Dan adapun kata ath Thoharoh [الطَّهَارَةُ] di dalam bahasa maknanya adalah an nadzofah dan an nazahah [النَّظَافَةُ dan النَّزَاهَةُ = bersih dan suci] dari kotoran-kotoran

ﻭَﻳُﻘَﺎﻝُ ﻃَﻬَﺮُ الشَّيْءُ ﺑِﻔَﺘْﺢِ اﻟْﻬَﺎءِ ﻭَطَهُرَ ﺑِﻀَﻤِّﻬَﺎ ﻭَاﻟْﻔَﺘْﺢُ ﺃَﻓْﺼَﺢُ ﻳَﻄْﻬُﺮُ ﺑِﺎﻟﻀَّﻢِّ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﻃَﻬَﺎﺭَﺓً ﻭَالْاِﺳْﻢُ اﻟﻄُّﻬْﺮُ:

Dan dikatakan (di dalam bahasa arab) طَهَرَ الشَّيْءُ [sesuatu bersih/suci] dengan fatah huruf ha [ه] dan boleh juga طَهُرَ dengan dhommah huruf ha [ه], namun dengan fatah lebih fasih. fi'il mudhari طَهَارَةً adalah يَطْهُرُ dengan dhammah di dalam keduanya sedangkan isimnya الطُّهْرُ.

ﻭَاﻟﻄَّﻬُﻮْﺭُ ﺑِﻔَﺘْﺢِ اﻟﻄَّﺎءِ اِﺳْﻢٌ ﻟِﻤَﺎ ﻳَﺘَﻄَﻬَّﺮُ ﺑِﻪِ ﻭَﺑِﺎﻟﻀَّﻢِّ اِﺳْﻢٌ ﻟِﻠْﻔِﻌْﻞِ ﻫَﺬِﻩِ اﻟﻠُّﻐَﺔُ اﻟْﻤَﺸْﻬُﻮْﺭَﺓُ الَّتِيْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ الكُثْرُوْنَ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ اﻟﻠُّﻐَﺔِ

dan الطَهُوْرُ dengan fatah huruf tho [ط] adalah isim bagi sesuatu yang dibuat untuk bersuci dan dengan dhammah adalah isim bagi fi'il. Bahasa ini adalah yang masyhur di kalangan mayoritas ahli bahasa.

ﻭَاﻟﻠُّﻐَﺔُ اﻟﺜَّﺎﻧِﻴَّﺔُ ﺑِﺎﻟْﻔَﺘْﺢِ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﻭَاﻗْﺘَﺼَﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺟَﻤَﺎﻋَﺎﺕٌ ﻣِﻦْ ﻛِﺒَﺎﺭِ ﺃَﻫْﻞِ اﻟﻠُّﻐَﺔِ ﻭَﺣَﻜَﻰ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﻣَﻄَﺎﻟِﻊِ الْأَﻧْﻮَاﺭِ اﻟﻀَّﻢُّ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻏَﺮِﻳْﺐٌ ﺷَﺎﺫٌ ﺿَﻌِﻴْﻒٌ ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﻭْﺿَﺤْﺖُ ﻫَﺬَا ﻛُﻠَّﻪُ ﻣُﻀَﺎﻓًﺎ ﻓِﻲْ ﺗَﻬْﺬِﻳْﺐِ الْأَﺳْﻤَﺎءِ ﻭَاﻟﻠُّﻐَﺎﺕِ.

Dan bahasa yang ke dua dengan fatah di dalam keduanya, beberapa jama'ah dari ahli bahasa terkenal telah menulis ringkasannya dan pemilik kitab Matholi'ul anwar menceritakan pendapat dengan dhammah di dalam keduanya. Pendapat demikian adalah pendapat asing, nyeleneh lagi lemah. Aku sudah menjelaskan ini semua di dalam kitab Tahdzibul asma wal lughot.

ﻭَﺃَﻣَّﺎ اﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻓِﻲْ ﺇِصْطِلَاﺡِ اﻟْﻔُﻘَﻬَﺎءِ ﻓَﻬِﻲَ ﺭَﻓْﻊُ ﺣَﺪَﺙٍ ﺃَﻭْ اِﺯَاﻟَﺔُ ﻧَﺠﺲٍ ﺃَﻭْ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﻣَﻌْﻨَﺎﻫُﻤَﺎ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺻَﻮْﺭَﺗِﻬِﻤَﺎ

Dan adapun kata thoharoh di dalam istilah para ahli fiqih maknanya adalah menghilang hadats atau menghilangkan najis, atau apa-apa yang berada di dalam makna keduanya dan sesuai gambaran keduanya.

ﻭَﻗَﻮْﻟُﻨَﺎ ﻓِﻲْ ﻣَﻌْﻨَﺎﻫُﻤَﺎ ﺃَﺭْﺩَﻧَﺎ ﺑِﻪِ اﻟﺘَّﻴَﻤُّﻢَ وَالْاِغْتِسَالَ اﻟْﻤَﺴْﻨُﻮْﻧَﺔُ ﻛَﺎﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻭَﺗَﺠْﺪِﻳْﺪَ اﻟْﻮُﺿُﻮْءِ ﻭَاﻟْﻐَﺴْﻠَﺔَ اﻟﺜَّﺎﻧِﻴَّﺔَ ﻭَاﻟﺜَّﺎﻟِﺜَﺔَ ﻓِﻲْ اﻟْﺤَﺪَﺙِ ﻭَاﻟﻨَّﺠِﺲِ ﺃَﻭْ ﻣَﺴْﺢَ الْأُﺫُﻥِ ﻭَاﻟْﻤَﻀْﻤُﻀَﺔَ ﻭَﻧَﺤْﻮَﻫَﺎ ﻣِﻦْ ﻧَﻮَاﻓِﻞِ اﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓِ ﻭَﻃَﻬَﺎﺭَﺓَ اﻟْﻤُﺴْﺘَﺤَﺎﺿَﺔِ ﻭَﺳَﻠَﺲَ اﻟْﺒَﻮْﻝِ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﻛُﻠُّﻬَﺎ ﻃَﻬَﺎﺭَاﺕٌ ﻭَلَا ﺗَﺮْﻓَﻊُ ﺣَﺪَﺛًﺎ ﻭَلَا ﻧَﺠِﺴًﺎ

Dan perkataan kami "berada di dalam maknanya" maksudnya tayamum, mandi yang disunnahkan seperti mandi di hari jum'at, memperbaharui wudhu, basuhan ke dua dan ke tiga di dalam menghilangkan hadats dan najis atau mengusap telinga, berkumur dan semisalnya dari sunnah-sunnah bersuci dan bersucinya perempuan istihadhoh serta orang yang tidak bisa menahan kencing, maka semua ini adalah keadaan-keadaan bersuci yang sebenarnya tidak menghilangkan hadats dan najis.

ﻭَﻓِﻲ اﻟْﻤُﺴْﺘَﺤَﺎﺿَﺔِ ﻭَاﻟﺴَّﻠَﺲِ ﻭَاﻟْﻤُﺘَﻴَﻤُّﻢِ ﻭَﺟْﻪٌ ﺿَﻌِﻴْﻒٌ أَنَّهَا تَرْفَعُ

dan di dalam bersucinya perempuan istihadhoh, orang yang tidak bisa menahan kencing serta orang yang bertayamum ada pendapat lemah yang menyatakan semua itu menghilangkan hadats.

وَأَمَّا الْمِيَاهُ فَجَمْعُ مَاءٍ وَهُوَ جَمْعُ كَثْرَةٍ وَجَمْعُهُ فِي الْقِلَّةِ أَمْوَاهٌ وَجَمْعُ الْقِلَّةِ عَشَرَةٌ فَمَا دُونَهَا وَالْكَثْرَةُ فَوْقَهَا

Dan adapun kata al Miyahu (الْمِيَاهُ) adalah bentuk jamak dari kata Ma'un (مَاءٌ / air), dan yang demikian adalah bentuk jamak untuk jumlah banyak, sedangkan bentuk jamaknya di dalam jumlah yang sedikit adalah am waa hun [أَمْوَاهٌ] dan yang dimaksud jumlah sedikit adalah 10 ke bawah sedangkan jumlah banyak di atasnya.

وَأَصْلُ مَاءٍ مَوَهَ وَهُوَ أَصْلٌ مَرْفُوْضٌ وَالْهَمْزَةُ فِي مَاءٍ بَدَلٌ مِنَ الْهَاءِ إبْدَالٌ لَازِمٌ عَند بَعْضِ النَّحْوِيِّينَ

Dan asal kata maa'un [مَاءٌ  / air ] adalah mawahun [مَوَاهٌ], yang demikian adalah asal yang ditinggalkan. Hamzah di dalam kata maa un [مَاءٌ] adalah pengganti huruf ha [ه] yang lazim menurut sebagian para ahli nahwu.

وَقَدْ ذَكَرَ صَاحِبُ الْمُحْكَمِ لُغَةً أُخْرَى فِيهِ أَنْ يُقَالَ مَاهٍ عَلَى الْأَصْلِ وهذا يُبْطِلُ دَعْوَى لُزُوْمِ الْاِبْدَالِ

Dan pemilik kitab al Muhkam menuturkan bahasa yang lain di dalamnya, dikatakan asalnya adalah maahun [مَاهٌ], dan pendapat ini membatalkan dakwa kelaziman penggantian huruf.

وإِنَّ مَا قَالَ الْمُصَنِّفُ مِيَاه وأتي يجمع الْكَثْرَةِ لِأَنَّ أَنْوَاعَ الْمَاءِ زَائِدَةٌ عَلَى الْعَشَرَةِ فَإِنَّهُ طَاهِرٌ وَطَهُوْرٌ وَنَجَسٌ:

Apa yang dikatakan oleh penulis kitab al Muhadzab (yaitu Imam as Sayroji) dari kata miyahun [مِيَاهٌ], dikatakan dengan bentuk jamak untuk jumlah banyak karena macam-macam air itu lebih dari 10 macam yang dikelompokkan menjadi air yang suci, air yang mensucikan dan air najis.

وَالطَّهُوْرُ يَنْقَسِمُ إلَى مَاءِ السَّمَاءِ وَمَاءِ الْأَرْضِ:

Air yang mensucikan (bisa digunakan untuk bersuci) terbagi menjadi air langit dan air bumi.

وَمَاءُ السَّمَاءِ يَنْقَسِمُ إلَى مَطَرٍ وَذَوْبِ ثَلْجٍ وَبَرَدٍ:

Air langit terbagi menjadi air hujan, air salju yang mencair dan air es yang mencair.

وَمَاءُ الْأَرْضِ إلَى مَاءِ أَنْهَارٍ وَبِحَارٍ وَآبَارٍ وَمُشَمَّسٍ وَمُسَخَّنٍ وَمُتَغَيِّرٍ بَالْمَكْثِ وَبِمَا لَا يُمْكِنُ صَوْنَهُ مِنْهُ وَبِالتُّرَابِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِهِ

Air bumi terbagi menjadi air sungai-sungai, air laut, air sumur-sumur, air yang tersengat sinar matahari, air yang dipanaskan dan air yang berubah karena lama menggenang dan karena apa-apa yang tidak mungkin menjaganya darinya serta karena tanah dan selain yang demikian dari macam-macamnya.

وَيَنْقَسِمُ الطَّاهِرُ وَالنَّجِسُ أَقْسَامًا مَعْرُوْفَةً

Dan air suci serta air najis terbagi menjadi beberapa bagian yang sudah umum dikenal.

وَبَدَأَ الْمُصَنِّفُ بِكِتَابِ الطَّهَارَةِ ثُمَّ بَابِ الْمِيَاهِ وَكَذَا فَعَلَهُ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَكَثِيرُونَ مِنْ الْعُلَمَاءِ لِمُنَاسَبَةِ حَسَنَةٍ

Penulis kitab al Muhadzab memulai dengan kitab Thoharoh (kitab bersuci) kemudian bab air dan sama halnya yang dilakukan oleh Imam Syafi'iy, para ashab Syafi'iy dan mayoritas para ulama agar sesuai dengan kebaikan (yang dicontohkan Nabi )

ذَكَرَهَا صَاحِبُ التَّتِمَّةِ وَهُوَ أَبُوْ سَعِيْدٍ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْمَأْمُونِ الْمُتَوَلِّي قَالَ بَدَأْنَا بِذَلِكَ لِحَدِيْثِ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَفِي رِوَايَةٍ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ:

Penulis kitab at Tatimmah telah mengatakan demikian, ia adalah Abu Sa'id Abdirrahman bin al Ma'mun al Mutawalli. Beliau berkata : Kami memulai dengan yang demikian itu karena hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Islam dibangun di atas 5 rukun, yaitu membaca syahadat tidak ada tuhan selain Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan, dan di dalam satu riwayat : Berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji, riwayat Bukhari dan Muslim.

فَبَدَأَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْإِيمَانِ بِالصَّلَاةِ وَالْعَرَبُ تَبْدَأُ بِالْأَهَمِّ فَكَانَ تَقْدِيمُ الصَّلَاةِ أَهَمَّ

Nabi memulai sesudah masalah keimanan (syahadat) dengan sholat, dan kebiasaan orang arab memulai pembahasan dari yang paling penting, maka mendahulukan pembahasan shalat adalah yang paling penting.

وَأَمَّا التَّوْحِيدُ فَلَهُ كُتُبٌ مُسْتَقِلَّةٌ وَهُوَ عِلْمُ الْكَلَامِ

Adapun masalah tauhid (keimanan) ada kitab-kitab tersendiri, yaitu kitab ilmu kalam.

وَقَدَّمُوا الصَّوْمَ عَلَى الْحَجِّ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ وَلِأَنَّهُ أَعَمُّ وُجُوبًا مِنْ الْحَجِّ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى كَثِيرِيْنَ مِمَّنْ لَا حَجَّ عَلَيْهِ وَيَجِبُ أَيْضًا عَلَى الْفَوْرِ وَيَتَكَرَّرُ

Dan mereka mendahulukan pembahasan puasa karena dituturkan di dalam salah satu dari dua riwayat dan dikarenakan puasa itu ibadah yamg lebih umum daripada haji. Puasa wajib bagi kebanyakan orang yang tidak ada kewajiban haji terhadapnya dan wajib juga juga ditunaikan segera dan berulang setiap tahun.

وَإِذَا ثُبَتَ تَقْدِيمُ الصَّلَاةِ فَيَنْبَغِي تَقْدِيمُ مُقَدِّمَاتِهَا وَمِنْهَا الطَّهَارَةُ ثُمَّ مِنَ الطَّهَارَةِ أَعَمُّهَا وَالْأَصْلُ فِيْهَا وَهُوَ الْمَاءُ وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ

Apabila sudah pasti mendahulukan pembahasan shalat, maka seyogyanya mendahulukan pendahuluannya dan sebagian darinya adalah bersuci kemudian membahas pembasahan yang paling umum dari bersuci dan asalnya, yaitu pembahasan tentang air, semoga Allah memberikan taufiq.

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَجُوزُ رَفْعُ الْحَدَثِ وَإِزَالَةُ النَّجَسِ بِالْمَاءِ الْمُطْلَقِ وَهُوَ مَا نَزَلَ مِنْ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَمَا نَزَلَ مِنْ السَّمَاءِ مَاءُ الْمَطَرِ وَذَوْبُ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

Penulis kitab al Majmu rahimahullah berkata : Boleh mengangkat hadats dan menghilangkan najis dengan air mutlak, yaitu air yang turun dari langit atau mata air dari bumi. Air-air yang turun dari langit itu yaitu air hujan, air salju yang mencair dan air es yang mencair. Asal di dalamnya adalah firman Allah 'azza wa jalla : "Dan kami menurunkan kepada mu air dari langit untuk mensucikan mu dengannya." [surat al Anfal : 11].

الشَّرْحُ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنَزِّلُ قُرِئَ بِالتَّشْدِيْدِ وَالتَّخْفِيْفِ قِرَاءَتَانِ فِي السَّبْعِ

[Penjelasan] Firman Allah 'azza wa jalla wa yunazzilu, dibaca dengan tasydid dan bisa juga dibaca tanpa tasydid, 2 qiro'ah di dalam 7 qiro'ah yang disepakati.

وَالنَّجَسُ بِفَتْحِ الْجِيْمِ هُوَ عَيْنُ النَّجَاسَةِ كَالْبَوْلِ وَنَحْوِهِ

Dan kata an najasu dengan fatah huruf jim maknanya adalah 'ain najis seperti air kencing dan semisalnya.

وَأَمَّا الْمَاءُ الْمُطْلَقُ فَالصَّحِيْحُ فِي حَدِّهِ أَنَّهُ الْعَارِي عَنِ الْإِضَافَةِ اللَّازِمَةِ وَإِنْ شِئْتَ قُلْتَ هُوَ مَا كَفَى فِيْ تَعْرِيْفِهِ اسْمُ مَاءٍ وَهَذَا الْحَدُّ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْبُوَيْطِيِّ

Dan adapun istilah ''air mutlak" yang shahih di dalam batasannya adalah air yang tidak ada idhofat lazimah (penyandaran kata lain yang lazim). Jika kamu menghendaki, kamu boleh mengatakan batasannya adalah apa-apa yang cukup di dalam definisi kata air. Dan batasan ini adalah batasan yang dinashkan Imam Syafi'iy rahimahullah di dalam kitab al Buwaithi.

وَقِيْلَ هُوَ الْبَاقِي عَلَى وَصْفِ خِلْقَتِهِ وَغَلَّطُوا قَائِلَهُ لِأَنَّهُ يَخْرُجُ عَنْهُ الْمُتَغَيِّرُ بِمَا يَتَعَذَّرُ صَوْنُهُ عَنْهُ أَوْ بِمُكْثٍ أَوْ تُرَابٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ

Dan dikatakan sebagian orang batasannya adalah yang tetap di atas sifat penciptaannya. Orang yang mengatakannya telah melakukan kesalahan karena keluar dari batasan tersebut air yang berubah karena sesuatu yang sulit menjaga darinya atau karena menggenang atau karena tanah dan semisal yang demikian.

 وَاخْتَلَفُوْا فِي الْمُسْتَعْمَلِ هَلْ هُوَ مُطْلَقٌ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ فِي بَابِ مَا يُفْسِدُ الْمَاءَ مِنْ الِاسْتِعْمَالِ وَآخَرُوْنَ مِنْ مُحَقِّقِي أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَيْسَ بِمُطْلَقٍ وَالثَّانِيْ أَنَّهُ مُطْلَقٌ وَبِهِ قَطَعَ ابْنُ الْقَاصِّ فِي التَّلْخِيْصِ وَالْقَفَّالُ فِي شَرْحِهِ

Mereka berbeda pendapat di dalam air musta'mal, apakah termasuk air mutlak atau bukan, ada dua pendapat. Yang paling shahih dari keduanya dan diputuskan oleh penulis kitab al Muhadzab di dalam bab hal-hal yang bisa merusak air yaitu isti'mal dan ulama lainnya dari para ahli tahqiq ashab kami mengatakan bukan air mutlak, sedangkan pendapat yang kedua mengatakan air musta'mal termasuk air mutlak. Pendapat ini diputuskan oleh Ibnu al Qash di dalam kitab at Talkhis dan al Khoffal di dalam kitab syarahnya.

وَقَالَ صَاحِبُ التَّقْرِيْبِ ابْنُ الْقَفَّالِ الشَّاشِيِّ الصَّحِيحُ أَنَّهُ مُطْلَقٌ مُنِعَ اسْتِعْمَالُهُ تَعَبُّدًا قَالَ الْقَفَّالُ وَكَوْنُهُ مُسْتَعْمَلًا لَا يُخْرِجُهُ عَنْ الْإِطْلَاقِ لِأَنَّ الِاسْتِعْمَالَ نَعْتٌ كَالْحَرَارَةِ وَالْبُرُوْدَةِ وَإِنَّمَا يُخْرِجُهُ عَنْ الْإِطْلَاقِ مَا يُضَافُ إلَيْهِ كَمَاءِ الزَّعْفَرَانِ وَسُمِّيَ الْمُطْلَقُ مُطْلَقًا لِأَنَّهُ إذَا أُطْلِقَ الْمَاءُ انْصَرَفَ إلَيْهِ

Sedangkan pemilik kitab at Taqrib Ibnu al Qoffal asy Syaasyi mengatakan yang shahih air musta'mal adalah air mutlak yang dilarang penggunaannya untuk ibadah. Al Qoffal berkata statusnya yang musta'mal tidak mengeluarkannya dari istilah air mutlak karena isti'mal itu sendiri adalah sifat sama seperti panas dan dingin. Dan tentunya yang mengeluarkannya dari batasan air mutlak adalah kata-kata lain yang disandarkan kepadanya seperti "air safron". Dinamakan mutlak secara mutlak karena yang demikian apabila air dimutlakkan kata lain bisa disandarkan kepadanya.

وَأَمَّا قَوْلُهُ نَزَلَ مِنْ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَكَذَا قَالَهُ غَيْرُهُ وَاعْتُرِضَ عَلَيْهِ بِأَنَّ الْكُلَّ مِنْ السَّمَاءِ

Dan adapun perkataan penulis "turun dari langit" atau "keluar dari bumi" sama halnya telah mengatakan demikian selainnya dan menjadi kontradiksi karena dikatakan di dalam al Quran semua air dari langit

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيْعَ فِي الْأَرْضِ

Allah ta'ala berfirman : Allah telah menurunkan air dari langit lalu Dia mengalirkannya menjadi sumber-sumber air di bumi.

 وَالْجَوَابُ مِنْ وَجْهَيْنِ (أَحَدُهُمَا) الْمُرَادُ بِنَبَعَ مَا نُشَاهِدُهُ يَنْبُعُ وَلِهَذَا فَسَّرَهُ بِهِ فَقَالَ وَمَا نَبَعَ مَاءُ الْبِحَارُ إلَى آخِرِهِ

Supaya tidak kontradiksi jawabannya dari dua sisi, salah satunya yang dimaksud dengan keluar adalah apa-apa yang kita saksikan keluar dari bumi, dan dikarenakan hal ini dijelaskan dengan pemahaman demikian, dikatakan "sedangkan air laut tidak keluar dari bumi sampai akhirnya"

وَالثَّانِيْ لَيْسَ فِي الْآيَةِ أَنَّ كُلَّ الْمَاءِ نَزَلَ مِنْ السَّمَاءِ لِأَنَّهُ نَكِرَةٌ فِي الْإِثْبَاتِ وَمَعْلُومٌ أَنَّهَا لَا تَعُمُّ

Dan yang kedua, maksud di dalam ayat bukanlah semua air turun dari langit, karena difirmankan dalam bentuk nakiroh (umum) di dalam menetapkan dan sudah ma'lum bahwa maknanya tidak berdasarkan keumumannya.

وَيُقَالُ نَبَعَ يَنْبَعُ بِفَتْحِ الْبَاءِ فِي الْمُضَارِعِ وَضَمِّهَا وَكَسْرِهَا وَالْمَصْدَرُ نُبُوْعٌ أَيْ خَرَجَ وَذَوْبُ الثَّلْجِ ذَائِبُهُ وَهُوَ مَصْدَرٌ يُقَالُ ذَابَ ذَوْبًا وَذَوَبَانًا وَأَذَبْتُهُ وَذَوَّبْتُهُ وَإِنَّمَا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ ذَوْبَ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ لِأَنَّ فِي اسْتِعْمَالِهِمَا عَلَى حَالِهِمَا تَفْصِيْلًا سَنَذْكُرُهُ فِي فَرْعٍ قَرِيْبًا إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Dan dikatakan naba'a [نَبَعَ] yanba'u [يَنْبَعُ] bisa dengan fatah huruf ba di dalam bentuk fi'il mudhari, boleh dengan dhammah dan boleh dengan kasrah, sedangkan bentuk mashdarnya nubu'un [نُبُعٌ] maksudnya keluar. Dan kalimat dzaubuts tsalji [ذَوْبُ الثَّلْجِ] salju yang mencair yang demikian adalah bentuk mashdar, dikatakan ذَابَ ذَوْبًا وَذَوَبَانًا وَأَذَبْتُهُ وَذَوَّب dan tentunya penulis menuturkan kalimat mencairnya salju dan mencairnya es karena di dalam penggunaan keduanya berdasarkan kondisi masing-masing secara terperinci, kami segera akan menuturkan di dalam penuturan cabang fiqih dalam waktu dekat in sya Allah ta'ala. 

وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنَ الْآيَةِ لِمَا اسْتَدَلَّ بِهِ الْمُصَنِّفُ هُنَا وَهُوَ جَوَازُ الطَّهَارَةِ بِمَاءِ السَّمَاءِ ظَاهِرٌ وَهَذَا الْحُكْمُ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ

Esensi ayat yang dijadikan dalil oleh penulis di sana adalah kebolehan bersuci dengan air (dari) langit yang dzahir dan ini adalah hukum yang disepakati.

وَاعْتَرَضَ بَعْضُ الْغَالِطِيْنَ عَلَى الْفُقَهَاءِ بِاسْتِدْلَالِهِمْ بِهَا وَقَالَ مَاءٌ نَكِرَةٌ وَلَا عُمُومَ لَهَا فِي الْإِثْبَاتِ وَالْجَوَابُ أَنَّ هَذَا خَيَالٌ فَاسِدٌ وإنما ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا امْتِنَانًا عَلَيْنَا فَلَوْ لَمْ نَحْمِلْهُ عَلَى الْعُمُومِ لَفَاتَ الْمَطْلُوبُ وَإِذَا دَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى إرَادَةِ الْعُمُومِ بِالنَّكِرَةِ فِي الْإِثْبَاتِ أَفَادَتْهُ وَوَجَبَ حَمْلُهَا عَلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Sebagian orang-orang keliru membantah para ahli fiqih dengan pendalilan mereka dengannya dan mengatakan air dalam bentuk nakiroh tidak ada keumuman baginya di dalam penetapan. Jawabannya : Ini adalah pikiran yang salah, tentunya Allah ta'ala menuturkan ini sebagai karunia bagi kita, seandainya kita tidak membawanya di atas keumuman niscaya tertinggal apa yang dikehendaki, dan apabila ada petunjuk yang menunjukkan kepada maksud secara umum dengan bentuk nakiroh di dalam penetapan, maka petunjuk itu harus diikuti dan wajib diartikan demikian. Wallahu a'lam.

فَرْعٌ

Cabang fiqih

قَالَ أَصْحَابُنَا إذَا اُسْتُعْمِلَ الثَّلْجُ وَالْبَرَدُ قَبْلَ إذَابَتِهِمَا فَإِنْ كَانَ يَسِيْلُ عَلَى الْعُضْوِ لِشِدَّةِ حَرٍّ وَحَرَارَةِ الْجِسْمِ وَرَخَاوَةِ الثَّلْجِ صَحَّ الْوُضُوءُ عَلَى الصَّحِيْحِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ لِحُصُولِ جَرَيَانِ الْمَاءِ عَلَى الْعُضْوِ

Para sahabat kami berkata apabila salju dan es digunakan sebelum mencair maka diperinci, jika air mengalir di atas anggota wudhu karena cuaca sangat panas dan panasnya tubuh dan mencairnya salju maka wudhu sah menurut pendapat yang shahih. Jumhur ulama memutuskan dengan pendapat demikian karena tercapai mengalirnya air di atas anggota wudhu.

وَقِيْلَ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى غُسْلًا حَكَاهُ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبِيبٍ الْمَاوَرْدِيُّ الْبَصْرِيُّ صَاحِبُ الْحَاوِي وَأَبُو الْفَرَجِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ الدَّارِمِيُّ صَاحِبُ الِاسْتِذْكَارِ وَهُمَا مِنْ كِبَارِ أَئِمَّتِنَا الْعِرَاقِيِّينَ وَعَزَاهُ الدَّارِمِيُّ إلَى أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَإِنْ كَانَ لَا يَسِيلُ لَمْ يَصِحَّ الْغُسْلُ بِلَا خِلَافٍ وَيَصِحُّ مَسْحُ الْمَمْسُوحِ وَهُوَ الرَّأْسُ وَالْخُفُّ وَالْجَبِيرَةُ هَذَا مَذْهَبُنَا

Dan dikatakan sebagian ulama tidak sah, karena tidak dinamakan membasuh. Telah mengatakan pendapat demikian satu jama'ah ulama, sebagian dari mereka adalah hakim terbaik Abu al Hasan 'Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi al Bashriy penulis kitab al Hawi dan Abu al Faraj Muhammad bin 'Abdulwahid bin Muhammad ad Darimi penulis kitab al Istidzkar dan keduanya adalah sebagian dari ulama besar para imam kita dari Iraq. Ad Darimi menyandarkan pendapat demikian kepada Abu Sa'id al Ishthakhri : Jika tidak mengalir maka basuhan tidak sah tanpa perbedaan pendapat, dan sah mengusap apa yang bisa diusap, yaitu kepala, khuf dan perban, ini adalah madzhab kita.

وَحَكَى أَصْحَابُنَا عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ جَوَازَ الْوُضُوءِ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَسِلْ وَيُجْزِيْهِ فِي الْمَغْسُوْلِ وَالْمَمْسُوْحِ  وَهَذَا ضَعِيْفٌ أَوْ بَاطِلٌ إنْ صَحَّ عَنْهُ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى غُسْلًا وَلَا فِي مَعْنَاهُ

Para sahabat kami telah menceritakan dari al 'Auza'iy kebolehan berwudhu dengannya sekalipun tidak ada air yang mengalir dan mencukupinya di dalam bagian yang dibasuh dan diusap. Ini adalah pendapat lemah atau bathil jika shahih darinya karena tidak dinamakan basuhan dan tidak juga ada di dalam maknanya.

قَالَ الدَّارِمِيُّ وَلَوْ كَانَ مَعَهُ ثَلْجٌ أَوْ بَرَدٌ لَا يَذُوْبُ وَلَا يَجِدُ مَا يُسَخِّنُهُ بِهِ صَلَّى بِالتَّيَمُّمِ وَفِي الْإِعَادَةِ أَوْجُهٌ ثَالِثُهَا يُعِيْدُ الْحَاضِرُ دُوْنَ الْمُسَافِرِ بِنَاءً عَلَى التَّيَمُّمِ لِشِدَّةِ الْبَرْدِ وَوَجْهُ الِاعَادَةِ نَدُوْرُ هَذَا الْحَالِ قُلْتُ أَصَحُّهَا الثَّالِثُ

Ad Darimi berkata seandainya ada bersamanya salju atau es tidak mencair dan dia tidak menemukan sesuatu yang bisa memanaskannya maka dia boleh shalat dengan tayamum, sedangkan di dalam masalah mengulang tayamum ada beberapa pendapat. Pendapat yang ke tiga mengatakan orang yang hadir harus mengulang, musafir tidak perlu mengulang karena menyesuaikan dengan tayamum karena cuaca yang sangat dingin dan pendapat seputar mengulang hanya boleh pada kondisi ini. Aku katakan yang paling shahih adalah pendapat yang ke tiga. 

فَرْعٌ

Cabang Fiqih

اسْتَدَلُّوْا لِجَوَازِ الطَّهَارَةِ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ بِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْكُتُ بَيْنَ تَكْبِيْرَةِ الْإِحْرَامِ وَالْقِرَاءَةِ سَكْتَةً يَقُولُ فِيهَا أَشْيَاءَ مِنْهَا

Mereka berdalil untuk pendapat boleh bersuci dengan air salju dan es dengan hadits yang ada di dalam shahihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah pernah berhenti diantara takbiratul ikhram dan membaca al Fatihah seraya membaca sesuatu di dalamnya, diantaranya :

اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَفِيْ رِوَايَةٍ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Ya Allah cucilah dosa-dosa ku dengan air, salju dan es, dan di dalam satu riwayat dengan air salju dan es.

 قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ

Penulis rahimahullah berkata :

وَمَا نَبَعَ مِنَ الْأَرْضِ : مَاءُ الْبِحَارِ، وَمَاءُ الْأَنْهَارِ، وَمَاءُ الْآبَارِ وَالْأَصْلُ فِيْهِ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ

…..dan air-air yang keluar dari bumi seperti air laut-laut, air sungai-sungai dan air sumur-sumur. Asal di dalamnya adalah sabda Rasulullah : di dalam laut itu suci, yaitu airnya lagi halal bangkainya. Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi pernah berwudhu dengan air dari sumur budha'ah.

الشَّرْحُ

Penjelasan :

هَذَانِ الْحَدِيْثَانِ صَحِيحَانِ وَهُمَا بَعْضَانِ مِنْ حَدِيْثَيْنِ أَمَّا الْأَوَّلُ فَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ سَأَلَ سَائِلٌ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّأِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ والنَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُمْ

Kedua hadits ini shahih, dan keduanya merupakan bagian dari dua hadits. Yang pertama, Abu Hurairah telah meriwayatkan, ia berkata : Seseorang bertanya kepada Rasulullah lalu berkata : Wahai Rasulullah kami mangarungi lautan dan kami membawa sedikit air bersama kami, seandainya kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut ? Rasulullah bersabda : Laut itu suci, airnya lagi halal bangkainya. Ini hadits shahih. Telah meriwayatkannya Imam Malik di dalam kitab al Muwatho', Imam Syafi'iy, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasa'I dan selain dari mereka.

قَالَ البُخَارِيُّ فِيْ غَيْرِ صَحِيْحِهِ هُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَرُوِيَ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ وَرُوِيَ الْحَلَالُ وَهُمَا بِمَعْنًى وَالطَّهُورُ بِفَتْحِ الطَّاء وَمَيْتَتُهُ بِفَتْحِ الْمِيْمِ

Imam Bukhari berkata di dalam kitab selain kitab shahihnya, yang demikian adalah hadits shahih dan at Tirmidzi berkata itu hadits hasan shahih, dan diriwayatkan dengan kalimat al hill maitatuhu [الْحِلُّ مَيْتَتُهُ] ada juga diriwayatkan dengan kata al halaalu [لْحَلَالُ] dan keduanya maknanya sama. Sedangkan kata الطَّهُورُ dengan harakat fathah huruf tho' dan kata مَيْتَةٌ dengan harakat fatah huruf mim.

وَاسْمُ السَّائِلِ عَنْ مَاءِ الْبَحْرِ عُبَيْدٌ وَقِيلَ عَبْدٌ وَأَمَّا قَوْلُ السَّمْعَانِيِّ فِي الْأَنْسَابِ اسْمُهُ الْعَرَكِيُّ فَفِيْهِ إيْهَامُ أَنَّ الْعَرَكِيَّ اسْمُ عَلَمٍ لَهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ الْعَرَكِيُّ وَصْفٌ لَهُ وَهُوَ مَلَّاحُ السَّفِيْنَةِ

Nama orang yang bertanya tentang air laut adalah ‘Ubaid, dan ada yang mengatakan ‘Abd. Adapun perkataan As-Sam‘ani dalam kitab Al-Ansab bahwa namanya adalah Al-‘Araki, itu mengandung kesan bahwa Al-‘Araki adalah nama diri baginya, padahal tidak demikian. Al-‘Araki adalah sifat baginya, yaitu pelaut kapal.

وَأَمَّا الثَّانِي فَرَوَى أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيْهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ الْأَئِمَّةُ الَّذِيْنَ نَقَلْنَا عَنْهُمْ رِوَايَةَ الْأَوَّلِ قَالَ التِّرْمِذِيُّ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Dan adapun yang kedua, Abu Sa'id al Khudri telah meriwayatkan, ia berkata : Telah dikatakan wahai Rasulullah apakah engkau berwudhu dengan air dari sumur Budho'ah yaitu sumur yang dilemparkan ke dalamnya kain haidh, daging anjing dan benda-benda busuk lalu Rasulullah berbsabda : Sesungguhnya airnya suci dan tidak ada yang menajiskannya sesuatu apapun. Hadits Shahih. Telah meriwayatkannya para Imam yang sudah kami nukil dari mereka riwayat yang pertama. At Tirmidzi berkata hadits hasan shahih.

وَقَوْلُهُ أَتَتَوَضَّأُ بِتَائَيْنِ مُثَنَّاتَيْنِ مِنْ فَوْقُ خِطَابٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعْنَاهُ تَتَوَضَّأُ أَنْتَ يَا رَسُولَ الله مِنْ هَذِهِ الْبِئْرِ وَتَسْتَعْمِلُ مَائَهَا فِيْ وُضُوْءِكَ مَعَ أَنَّ حَالَهَا مَا ذَكَرْنَاهُ

Perkataan, أَتَتَوَضَّأُ dengan dua huruf ta' mu'annats [Apakah engkau berwudhu] dengan air dari sumur itu?’ ditujukan kepada Nabi . Maknanya adalah: ‘Engkau, wahai Rasulullah, berwudhu dari sumur ini dan menggunakan airnya untuk wudhumu, meskipun keadaannya seperti yang telah kami sebutkan.’"

وَإِنَّمَا ضَبَطْتُ كَوْنَهُ بِالتَّاءِ لِئَلَّا يُصَحَّفَ فَيُقَالَ أَنَتَوَضَّأُ بِالنُّونِ وَقَدْ رَأَيْتُ مَنْ صَحَّفَهُ وَاسْتَبْعَدَ كَوْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مِنْهَا وَهَذَا غَلَطٌ فَاحِشٌ

Aku memastikan bentuk katanya dengan huruf ta (ت) agar tidak terjadi kesalahan bacaan sehingga dikatakan أَنَتَوَضَّأُ  dengan huruf nun (ن). Aku telah melihat ada yang melakukan kesalahan ini dan menganggap mustahil Nabi berwudhu dengan air dari sumur itu. Pendapat ini adalah kesalahan yang fatal.

وَقَدْ جَاءَ التَّصْرِيْحُ بِوُضُوْءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا فِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ مِنْ طُرُقٍ كَثِيرَةٍ ذَكَرَهَا الْبَيْهَقِيُّ فِي السُّنَنِ الْكَبِيْرِ وَرَوَاهَا آخَرُونَ غَيْرُهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَالُ لَهُ إنَّهُ يُسْتَقَى لَكَ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيْهَا لُحُوْمُ الْكِلَابِ وَهَذَا فِيْ مَعْنَى رِوَايَاتِ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرِهِ الْمُصَرِّحَةِ بِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مِنْهَا وَلِهَذَا قَالَ الْمُصَنِّفُ وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ

Telah disebutkan secara jelas bahwa Nabi berwudhu dari sumur tersebut dalam hadis ini melalui banyak jalur periwayatan, yang telah disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra dan diriwayatkan juga oleh yang lainnya selain dia. Dalam salah satu riwayat Abu Dawud, disebutkan: ‘Aku mendengar Rasulullah dikatakan kepadanya: Sesungguhnya air diambilkan untukmu dari Sumur Budha‘ah, yaitu sumur yang dilemparkan ke dalamnya daging-daging anjing.’ Hal ini sesuai dengan makna riwayat-riwayat Al-Baihaqi dan lainnya yang menegaskan bahwa Nabi berwudhu darinya. Oleh karena itu, penulis mengatakan: ‘Telah diriwayatkan bahwa Nabi berwudhu dari Sumur Budha‘ah.

وَفِي رِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ فِيْ مُخْتَصَرِ الْمُزَنِيِّ قِيْلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ وَرَوَى النَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ مَرَرْتُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ فَقُلْتُ أَتَتَوَضَّأُ مِنْهَا وَهِيَ يُطْرَحُ فِيْهَا مَا يُكْرَهُ مِنَ النَّتَنِ فَقَالَ الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ فَهَذِهِ الرِّوَايَةُ تَقْطَعُ كُلَّ شَكٍّ وَنِزَاعٍ

Dan di dalam riwayat Imam Syafi'iy di dalam kitab Mukhtashor al Muzani dikatakan wahai Rasulullah engkau telah berwudhu dengan air dari sumur Budho'ah dan menuturkan hadits sampai selesai. An Nasa'i telah meriwayatkana dari Abu Sa'id al Khudri, ia berkata : Aku berpapasan dengan Nabi dan beliau berwudhu dengan air dari sumur Budho'ah, lalu aku bertanya : Apa engkau berwudhu dengan air darinya, sedangkan sumur itu adalah sumur yang dilemparkan ke dalamnya sesuatu yang tidak disukai seperti sesuatu yang busuk, lalu Rasulullah bersabda : Tidak ada yang menajiskan airnya sesuatu apapun. Riwayat ini menghilangkan semua keraguan dan perdebatan.

 وَبُضَاعَةُ بِضَمِّ الْبَاءِ الْمُوَحَّدَةِ وَيُقَالُ بِكَسْرِهَا لُغَتَانِ مَشْهُوْرَتَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ فَارِسٍ وَالْجَوْهَرِيُّ وَآخَرُونَ وَالضَّمُّ أَشْهُرُ وَلَمْ يَذْكُرْ جَمَاعَةٌ غَيْرَهُ ثُمَّ قِيْلَ هُوَ اسْمٌ لِصَاحِبِ الْبِئْرِ وَقِيْلَ اسْمٌ لِمَوْضِعِهَا

Kata Budho'ah dengan harkat dhammah huruf ba [ب] yang bertitik, dan dikatakan sebagian ulama dengan harakat kasrah adalah dua dialek yang masyhur, telah menyebutkan keduanya Ibnu Faris, al Jauhari dan yang lainnya. Namun dengan harakat dhammah lebih masyhur dan sekelompok ulama tidak menyebutkan selainnya.

وَقَوْلُهُ يُلْقَى فِيْهَا الْحِيَضُ بِكَسْرِ الْحَاءِ وَفَتْحِ الْيَاءِ وَفِي رِوَايَةٍ الْمَحَايِضُ وَمَعْنَاهُ الْخِرَقُ الَّتِي يُمْسَحُ بِهَا دَمُ الْحَيْضِ قَالَهُ الْأَزْهَرِيُّ وَغَيْرُهُ

Dan perkataannya : "dilemparkan ke dalamnya " dengan harakat kasrah huruf ha (ح) dan harakat fatah huruf ba (ب). Dan di dalam satu riwayat dengan lafadz الْمَحَايِضُ . Maknanya adalah kain yang digunakan untuk menyeka darah haidh. Al Azhari dan selainnya telah mengatakan demikian.

قَالَ الْإِمَامُ أَبُو سُلَيْمَانَ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إبْرَاهِيمَ بْنِ الْخَطَّابِ الْخَطَّابِيُّ لَمْ يَكُنْ إلْقَاءُ الحِيَضِ فِيْهَا تَعَمُّدًا مِنْ آدَمِيٍّ بَلْ كَانَتْ الْبِئْرُ فِيْ حَدُوْرٍ وَالسُّيُوْلُ تَكْسَحُ الْأَقْذَارَ مِنْ الْأَفْنِيَةِ وَتُلْقِيْهَا فِيْهَا وَلَا يُؤَثِّرُ فِي الْمَاءِ لِكَثْرَتِهِ وَكَذَا ذَكَرَ نَحْوَ هَذَا الْمَعْنَى آخَرُونَ وَقِيلَ كَانَتْ الرِّيْحُ تُلْقِي الْحِيَضَ فِيهَا حَكَاهُ صَاحِبُ الْحَاوِي وَغَيْرُهُ وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ السَّيْلُ وَالرِّيحُ يُلْقِيَانِ قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ وَيَجُوْزُ أَنَّ الْمُنَافِقِيْنَ كَانُوا يُلْقُوْنَ ذَلِكَ

Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Al-Khattab Al-Khattabi berkata: 'Pembuangan kain haid ke dalamnya tidak dilakukan dengan sengaja oleh manusia, tetapi sumur itu berada di daerah rendah, dan aliran air hujan membawa kotoran dari halaman-halaman rumah dan membuangnya ke dalam sumur tersebut. Hal itu tidak memengaruhi airnya karena jumlah airnya yang banyak.' Demikian pula makna yang serupa disebutkan oleh ulama lainnya. Ada yang mengatakan bahwa anginlah yang membawa kain haid ke dalamnya, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Hawi dan lainnya. Mungkin juga bahwa baik aliran air maupun anginlah yang membawa kotoran itu. Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan: 'Ada kemungkinan bahwa orang-orang munafiklah yang sengaja membuangnya ke dalam sumur itu.' 

فَرْعٌ

Cabang fiqih

الْحُكْمُ الَّذِي ذَكَرَهُ وَهُوَ جَوَازُ الطَّهَارَةِ بِمَا نَبَعَ مِنْ الْأَرْضِ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ إلَّا مَا سَأَذْكُرُهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْبَحْرِ وَمَاءِ زَمْزَمَ

Hukum yang telah disebutkan penulis yaitu kebolehan bersuci dengan air-air yang muncul dari bumi adalah yang disepakati para ulama, kecuali air-air yang akan aku sebutkan in sya Allah ta'ala tentang air laut dan air zam-zam.

فَرْعٌ

Cabang fiqih

يُنْكَرُ عَلَى الْمُصَنِّفِ قَوْلُهُ فِي الْحَدِيْثِ الثَّانِيْ وَرُوِيَ بِصِيْغَةِ تَمْرِيْضٍ مَعَ أَنَّهُ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ كَمَا سَبَقَ وَقَدْ سَبَقَ فِي الْفُصُوْلِ فِي مُقَدِّمَةِ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَا يُقَالُ فِي حَدِيْثٍ صَحِيْحٍ وَرَوَى بَلْ يُقَالُ بِصِيَغِ الْجَزْمِ فَيُقَالُ هُنَا وَتَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ

Dikecam pernyataan penulis dalam hadis kedua dengan menggunakan shighat tamridh [صيغة تمريض] (ungkapan yang menunjukkan kelemahan sanad) meskipun hadis tersebut adalah hadis sahih, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Telah disebutkan dalam bab pengantar kitab ini bahwa tidak boleh dikatakan 'وَرُوِيَ' (diriwayatkan) pada hadis sahih, tetapi harus menggunakan shighat jazm [صِيْغَةِ الْجَزْمِ] (ungkapan yang menunjukkan kepastian). Maka, di sini seharusnya dikatakan [وَتَوَضَّأَ النَّبِيُّ] dan Nabi berwudhu dengan air dari sumur Budho'ah.

وَأَمَّا قَوْلُهُ فِي الْحَدِيْثِ الْأَوَّلِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعِبَارَةٌ صَحِيْحَةٌ لِأَنَّهَا جَزْمٌ فِي حَدِيْثٍ صَحِيْحٍ وَهَذَانِ الْحَدِيْثَانِ بَعْضَانِ وَقَدْ سَبَقَ فِي الْمُقَدِّمَةِ بَيَانُ جَوَازِ اخْتِصَارِ الْحَدِيْثِ

Adapun perkataan penulis dalam hadis pertama: 'لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ' (yaitu sabda Rasulullah ), adalah ungkapan yang benar karena merupakan pernyataan pasti dalam hadis sahih. Kedua hadis ini saling berhubungan, dan telah dijelaskan sebelumnya dalam pengantar bahwa diperbolehkan meringkas hadis. 

فَرْعٌ

Cabang fiqih

فِي فَوَائِدِ الْحَدِيْثِ الْأَوَّلِ

Tentang faedah-faedah hadits pertama

إحْدَاهَا أَنَّهُ أَصْلٌ عَظِيْمٌ مِنْ أُصُوْلِ الطَّهَارَةِ ذَكَرَ صَاحِبُ الْحَاوِيْ عَنْ الْحُمَيْدِيِّ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ وَصَاحِبِ الشَّافِعِيِّ قَالَ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَذَا الْحَدِيْثُ نِصْفُ عِلْمِ الطَّهَارَةِ

Faedah yang pertama : Bahwa hadits  ini merupakan salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip thaharah (bersuci). Pemilik kitab Al-Hawi menyebutkan dari Al-Humaidi, guru Al-Bukhari dan sahabat Imam Asy-Syafi’i, bahwa ia berkata: “Imam Asy-Syafi’i berkata, ‘Hadits  ini adalah setengah dari ilmu thaharah.’”

الثَّانِيَةُ أَنَّ الطَّهُوْرَ هُوَ الْمُطَهِّرُ وَسَأُفْرِدُ لَهُ فَرْعًا إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Faedah yang ke dua : Bahwa "thohur" [الطَّهُوْرَ] adalah sesuatu yang mensucikan [الْمُطَهِّرُ], dan aku akan membuat pembahasan tersendiri tentangnya, insya Allah Ta’ala.

الثَّالِثَةُ جَوَازُ الطَّهَارَةِ بِمَاءِ الْبَحْرِ

Faedah yang ke tiga : Menerangkan kebolehan bersuci dengan air laut.

الرَّابِعَةُ أَنَّ الْمَاءَ الْمُتَغَيِّرَ بِمَا يَتَعَذَّرُ صَوْنُهُ عَنْهُ طَهُورٌ

Faedah yang ke empat : Menerangkan bahwa air yang berubah (sifatnya) karena sesuatu yang sulit dihindari darinya tetap dianggap thohur (suci dan mensucikan)

الْخَامِسَةُ جَوَازُ رُكُوْبِ الْبَحْرِ مَا لَمْ يَهِجْ وَسَيَأْتِي بَسْطُ الْمَسْأَلَةِ فِي كِتَابِ الْحَجِّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى حَيْثُ ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ

Faedah yang ke lima : Diperbolehkannya mengarungi lautan selama tidak menimbulkan bahaya, dan akan datang penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini dalam kitab Haji, insya Allah Ta'ala, di mana pembahasannya telah disebutkan oleh penulis dan para sahabatnya.

السَّادِسَةُ أَنَّ مَيْتَاتِ الْبَحْرِ كُلَّهَا حَلَالٌ إلَّا مَا خُصَّ مِنْهَا وَهُوَ الضُّفْدَعُ وَالسَّرَطَانُ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيْحُ وَفِيْهِ خِلَافٌ فِي بَابِ الصَّيْدِ وَالذَّبَائِحِ

Faedah yang ke enam : Bahwa segala jenis binatang mati dari laut adalah halal, kecuali yang dikecualikan, yaitu kodok (الضَّفْدَعُ) dan kepiting (السَرَطَانُ), dan ini adalah pendapat yang sahih. Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini dalam bab perburuan (الصَّيْدُ) dan penyembelihan (الذباح)

السَّابِعَةُ أَنَّ الطَّافِيَ مِنْ حَيَوَانِ الْبَحْرِ حَلَالٌ وَهُوَ مَا مَاتَ حَتْفَ أَنْفِهِ وَهَذَا مَذْهَبُنَا

Faedah yang ke tujuh : Bahwa binatang laut yang terdampar (yang mati dengan sendirinya) adalah halal, yaitu yang mati secara alami. Ini adalah madzhab kami.

الثَّامِنَةُ فِيْهِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْعَالِمِ وَالْمُفْتِي إذَا سُئِلَ عَنْ شَيْءٍ وَعَلِمَ أَنَّ بِالسَّائِلِ حَاجَةً إلَى أَمْرٍ آخَرَ مُتَعَلِّقٍ بِالْمَسْئُوْلِ عَنْهُ لَمْ يَذْكُرْهُ السَّائِلُ أَنْ يَذْكُرَهُ لَهُ وَيُعْلِمَهُ إيَّاهُ لِأَنَّهُ سَأَلَ عَنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَأُجِيْبَ بِمَائِهِ وَحُكْمِ مَيْتَتِهِ لِأَنَّهُمْ يَحْتَاجُوْنَ إلَى الطَّعَامِ كَالْمَاءِ

Faedah yang ke delapan : Disunnahkan bagi seorang alim atau mufti, ketika ditanya tentang suatu hal dan ia mengetahui bahwa si penanya membutuhkan perkara lain yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut namun tidak ditanyakan oleh penanya, hendaklah menyebutkan hal tersebut dan memberitahunya. Karena dia bertanya tentang air laut, maka jawablah dengan menyebutkan hukum tentang air laut dan hukum tentang binatang mati dari laut, karena mereka juga membutuhkan penjelasan mengenai makanan seperti halnya tentang air.

قَالَ الْخَطَّابِيُّ وَسَبَبُ هَذَا أَنَّ عِلْمَ طَهَارَةِ الْمَاءِ مُسْتَفِيْضٌ عِنْدَ الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ وَعِلْمُ حِلِّ مَيْتَةِ الْبَحْرِ تَخْفَى فَلَمَّا رَآهُمْ جَهِلُوْا أَظْهَرَ الْأَمْرَيْنِ كَانَ أَخْفَاهُمَا أُوْلَى: وَنَظِيْرُهُ حَدِيْثُ الْمُسَئ صَلَاتَهُ فَإِنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَهُ الصَّلَاةَ فَابْتَدَأَ بِتَعْلِيْمِهِ الطَّهَارَةَ ثُمَّ الصَّلَاةَ لِأَنَّ الصَّلَاةَ تُفْعَلُ ظَاهِرًا وَالْوُضُوْءَ فِي خَفَاءٍ غَالِبًا فَلَمَّا جَهِلَ الْأَظْهَرَ كَانَ الْأَخْفَى أَوْلَى وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Al-Khattabi berkata, "Penyebabnya adalah bahwa ilmu tentang kesucian air telah tersebar luas di kalangan orang-orang khusus dan umum, sementara ilmu tentang hukum binatang mati dari laut masih tersembunyi. Maka, ketika dia melihat mereka tidak mengetahuinya, beliau menyampaikan kedua hal tersebut. Namun, yang lebih utama adalah menyembunyikan yang pertama. Sebagai perbandingan, hadits  tentang orang yang bertanya tentang shalat. Dia meminta kepada Nabi untuk mengajarkan shalat, dan Nabi mulai dengan mengajarkan wudhu, kemudian shalat, karena shalat dilakukan secara terang-terangan, sedangkan wudhu biasanya dilakukan secara tersembunyi. Oleh karena itu, ketika yang jelas belum diketahui, maka yang tersembunyi lebih utama untuk diajarkan, Allahu a'lam." 

فَرْعٌ

Cabang fiqih

اَلطَّهُوْرُ عِنْدَنَا هُوَ الْمُطَهِّرُ، وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَحَكَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْ مَالِكٍ، وَحَكَوْا عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَسُفْيَانَ، وَأَبِي بَكْرٍ الْأَصَمِّ، وَابْنِ دَاوُدَ، وَبَعْضِ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيْفَةَ، وَبَعْضِ أَهْلِ اللُّغَةِ، أَنَّ الطَّهُوْرَ هُوَ الطَّاهِرُ.

Kata "At-Ṭhohūr" menurut kami berarti sesuatu yang mensucikan (al-muṭhohhir). Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal dan sebagian sahabat kami menisbatkannya kepada Imam Malik. Ada juga yang menisbatkannya kepada Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan, Abu Bakr Al-Aṣṣhom, Ibn Dawud, dan sebagian sahabat Abu Hanifah serta beberapa ahli bahasa, yang berpendapat bahwa "at-Ṭhohūr" berarti suci (at-ṭhohir).

وَاحْتَجَّ لَهُمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَسَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا﴾، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ لَا يَحْتَاجُوْنَ إِلَى التَّطْهِيْرِ مِنْ حَدَثٍ وَلَا نَجَسٍ، فَعُلِمَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالطَّهُوْرِ الطَّاهِرُ. وَقَالَ جَرِيْرٌ فِي وَصْفِ النِّسَاءِ:
عِذَابُ الثَّنَايَا رِيْقُهُنَّ طَهُوْرُ وَالرِّيْقُ لَا يُتَطَهَّرُ بِهِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ طَاهِرًا.

Mereka mendasarkan argumennya pada firman Allah Ta’ala:
“Dan Tuhan mereka memberi mereka minuman yang suci (ṭhohūran).”
(QS. Al-Insan: 21). Diketahui bahwa penghuni surga tidak membutuhkan penyucian dari hadas atau najis. Maka dipahami bahwa yang dimaksud dengan "ṭhohūr" dalam ayat ini adalah "ṭhohir" (suci). Jarir berkata dalam menggambarkan wanita: "Air liur mereka lembut dan suci (ṭhohūr)." Air liur tidak digunakan untuk bersuci. Maka yang dimaksud adalah "ṭhohir" (suci).

وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِأَنَّ لَفْظَةَ طَهُوْرٍ حَيْثُ جَاءَتْ فِي الشَّرْعِ، الْمُرَادُ بِهَا التَّطْهِيرُ. مِنْ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوْرًا﴾، وَ﴿يُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ﴾، فَهَذِهِ مُفَسِّرَةٌ لِلْمُرَادِ بِالْأُوْلَى. وَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ الْمَذْكُوْرِ فِي الْفَصْلِ: "هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ"، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّهُمْ سَأَلُوْا عَنْ تَطْهِيْرِ مَاءِ الْبَحْرِ لَا عَنْ طَهَارَتِهِ، وَلَوْلَا أَنَّهُمْ يَفْهَمُوْنَ مِنَ الطَّهُوْرِ الْمُطَهِّرَ، لَمْ يَحْصُلِ الْجَوَابُ.

Adapun dalil sahabat kami adalah bahwa kata "ṭhohūr" dalam istilah syariat selalu bermakna mensucikan (at-taṭhīr). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala:“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci (ṭhohūran).” (QS. Al-Furqan: 48). Juga firman-Nya: '“Dan Dia menurunkan kepada kalian air dari langit untuk mensucikan kalian dengannya.” (QS. Al-Anfal: 11). Ayat kedua ini menjelaskan maksud dari yang pertama. Rasulullah juga bersabda dalam hadis shahih: "Air laut itu suci (ṭhohūr), airnya dapat digunakan untuk bersuci."

Diketahui bahwa mereka bertanya tentang kemampuan air laut untuk mensucikan, bukan tentang kesuciannya. Seandainya mereka tidak memahami bahwa "ṭhohūr" bermakna "muṭhohhir" (yang mensucikan), maka jawaban tersebut tidak relevan.

وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "طَهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعًا"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ رِوَايَةِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، أَيْ مُطَهِّرُهُ. وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ مِنْ رِوَايَةِ حُذَيْفَةَ، وَالْمُرَادُ مُطَهِّرَةٌ. وَبِكَوْنِهَا مُطَهِّرَةً اُخْتُصَّتْ هَذِهِ الْأُمَّةُ لَا بِكَوْنِهَا طَاهِرَةً.

Rasulullah juga bersabda: "cara mensucikan bejana salah seorang dari kalian jika dijilat anjing adalah dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali." (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Maknanya, "ṭhohūr" di sini adalah "muṭhohhir" (mensucikan). Beliau juga bersabda: "Dijadikan bumi sebagai masjid dan penyuci bagiku." (HR. Muslim dan lainnya dari Hudzaifah). Yang dimaksud adalah bahwa bumi berfungsi sebagai yang mensucikan (muṭhohhirah), bukan sekadar suci (ṭhohirah). Fungsi bumi sebagai yang mensucikan adalah dikhususkan bagi umat ini, bukan sekadar kesuciannya, karena sifat suci itu dimiliki oleh semua umat.

فَإِنْ قِيْلَ: يُرَدُّ عَلَيْكُمْ حَدِيْثُ: "الْمَاءُ طَهُوْرٌ"، قُلْنَا: لَا نُسَلِّمُ كَوْنَهُ مُخَالِفًا. وَأَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿شَرَابًا طَهُوْرًا﴾، بِأَنَّهُ تَعَالَى وَصَفَهُ بِأَعْلَى الصِّفَاتِ، وَهِيَ التَّطْهِيرُ. وَكَذَا قَوْلُ جَرِيْرٍ حُجَّةٌ لَنَا، لِأَنَّهُ قَصَدَ تَفْضِيْلَهُنَّ عَلَى سَائِرِ النِّسَاءِ، فَوَصَفَ رِيْقَهُنَّ بِأَنَّهُ مُطَهِّرٌ يُتَطَهَّرُ بِهِ، لِكَمَالِهِنَّ وَطِيْبِ رِيْقِهِنَّ وَامْتِيَازِهِ عَلَى غَيْرِهِ. وَلَا يَصِحُّ حَمْلُهُ عَلَى طَاهِرٍ، فَإِنَّهُ لَا مَزِيَّةَ لَهُنَّ فِي ذَلِكَ، فَإِنَّ كُلَّ النِّسَاءِ رِيْقُهُنَّ طَاهِرٌ، بَلِ الْبَقَرُ وَالْغَنَمُ وَكُلُّ حَيَوَانٍ غَيْرَ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ وَفَرْعِ أَحَدِهِمَا رِيْقُهُ طَاهِرٌ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika ada yang mengatakan bahwa hadis "Air itu suci (ṭhohūr)" bertentangan dengan pendapat ini, kami menjawab bahwa hal itu tidak benar. Sahabat kami menjelaskan firman Allah "minuman yang suci (ṭhohūran)" bahwa Allah menggambarkannya dengan sifat tertinggi, yaitu yang mensucikan. Demikian pula, perkataan Jarir menjadi dalil bagi kami karena ia memuji wanita tersebut dengan menyebut air liur mereka sebagai "yang mensucikan" (muṭhohhir), menunjukkan keistimewaan dan kesempurnaan mereka. Tidak benar jika dikatakan bahwa maksudnya hanya "ṭhohir" (suci), karena semua wanita memiliki air liur yang suci, bahkan sapi, kambing, dan semua hewan selain anjing, babi, serta keturunannya juga memiliki air liur yang suci.  Wallahu a'lam.

فَرْعٌ

Cabang Fiqih

قَالَ أَصْحَابُنَا: حَدِيْثُ بِئْرِ بُضَاعَةَ لَا يُخَالِفُ حَدِيْثَ الْقُلَّتَيْنِ، لِأَنَّ مَاءَهَا كَانَ كَثِيرًا، إِلَّا أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُهُ وُقُوعُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ فِيهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ السِّجِسْتَانِيُّ فِي سُنَنِهِ: سَمِعْتُ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيْدٍ يَقُوْلُ: سَأَلْتُ قَيِّمَ بِئْرِ بُضَاعَةَ عَنْ عُمْقِهَا، فَقَالَ: أَكْثَرُ مَا يَكُوْنُ الْمَاءُ فِيهَا إِلَى الْعَانَةِ. قُلْتُ: فَإِذَا نَقَصَ؟ قَالَ: دُونَ الْعَوْرَةِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَقَدَّرْتُ بِئْرَ بُضَاعَةَ بِرِدَائِي، مَدَدْتُهُ عَلَيْهَا، ثُمَّ ذَرَعْتُهُ، فَإِذَا عَرْضُهَا سِتُّ أَذْرُعٍ. وَقَالَ لِيَ الَّذِي فَتَحَ لِي الْبَابَ - يَعْنِي بَابَ الْبُسْتَانِ الَّذِي هِيَ فِيهِ -: لَمْ يُغَيَّرْ بِنَاؤُهَا عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ. قَالَ: وَرَأَيْتُ فِيهَا مَاءً مُتَغَيِّرَ اللَّوْنِ. قَوْلُهُ: مُتَغَيِّرَ اللَّوْنِ، يَعْنِي بِطُولِ الْمُكْثِ وَبِأَصْلِ الْمَنْبَعِ، لَا بِشَيْءٍ أَجْنَبِيٍّ. وَهَذِهِ صِفَتُهَا فِي زَمَنِ أَبِي دَاوُدَ، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ تَكُوْنَ كَانَتْ هَكَذَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Para ulama ashab kami berkata: Hadis tentang Bi'ru Budha'ah (Sumur Budha'ah) tidak bertentangan dengan hadis tentang dua qullah (batas air yang dianggap banyak), karena airnya banyak sehingga tidak terpengaruh oleh benda-benda yang jatuh ke dalamnya. Abu Dawud As-Sijistani dalam kitab Sunan-nya berkata: Aku mendengar Qutaibah bin Sa'id berkata: Aku bertanya kepada penjaga Sumur Budha'ah tentang kedalamannya. Dia menjawab, "Ketika airnya sedang penuh, tingginya mencapai sekitar paha." Aku bertanya, "Bagaimana jika airnya berkurang?" Dia menjawab, "Di bawah aurat." Abu Dawud berkata: Aku mengukur Sumur Budha'ah dengan selendangku. Aku bentangkan di atasnya, lalu aku ukur panjangnya, ternyata lebarnya enam hasta. Penjaga kebun yang membuka pintu bagiku, yaitu pintu kebun tempat sumur itu berada, berkata, "Bangunannya tidak diubah dari keadaan aslinya." Abu Dawud melanjutkan: Aku melihat airnya berubah warna. Perkataannya "berubah warna" maksudnya adalah karena lamanya air itu berada di sana atau karena sifat asli sumber airnya, bukan karena ada benda asing yang masuk. Itulah sifat sumur itu pada zaman Abu Dawud. Tidak wajib bahwa kondisinya sama seperti itu pada zaman Nabi Muhammad .

وَاعْلَمْ أَنَّ حَدِيْثَ بِئْرِ بُضَاعَةَ عَامٌّ مَخْصُوْصٌ، خُصَّ مِنْهُ الْمُتَغَيِّرُ بِنَجَاسَةٍ، فَإِنَّهُ نَجِسٌ لِلْإِجْمَاعِ، وَخُصَّ مِنْهُ أَيْضًا مَا دُوْنَ قُلَّتَيْنِ إِذَا لَاقَتْهُ نَجَاسَةٌ، كَمَا سَنُوَضِّحُهُ فِي مَوْضِعِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى. فَالْمُرَادُ: الْمَاءُ الْكَثِيْرُ الَّذِيْ لَمْ تُغَيِّرْهُ نَجَاسَةٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، وَهَذِهِ كَانَتْ صِفَةُ بِئْرِ بُضَاعَةَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ketahuilah bahwa hadis tentang Bi’ru Budha’ah bersifat umum namun ada pengecualian. Dikecualikan darinya air yang berubah karena najis, maka hukumnya najis berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Juga dikecualikan darinya air yang kurang dari dua qullah apabila terkena najis, sebagaimana akan kami jelaskan pada tempatnya, insya Allah Ta’ala. Maksudnya adalah: Air yang banyak dan tidak berubah karena najis tidak menjadi najis oleh sesuatu. Itulah sifat Bi’ru Budha’ah (Sumur Budha’ah). Dan Allah Maha Mengetahui. 

فرع

Cabang Fiqih

قَوْلُهُ: مَاءُ الْأَبَارِ، هُوَ بِإِسْكَانِ الْبَاءِ وَبَعْدَهَا هَمْزَةٌ، وَمِنَ الْعَرَبِ مَنْ يَقُولُ: آبَارٌ بِهَمْزَةٍ مَمْدُوْدَةٍ فِي أَوَّلِهِ وَفَتْحِ الْبَاءِ، وَلَا هَمْزَةَ بَعْدَهَا، وَهُوَ جَمْعُ بِئْرٍ جَمْعَ قِلَّةٍ، وَيُجْمَعُ أَيْضًا فِي الْقِلَّةِ: أَبْؤُرٌ، بِإِسْكَانِ الْبَاءِ وَبَعْدَهَا هَمْزَةٌ مَضْمُوْمَةٌ، وَفِي الْكَثْرَةِ: بِئَارٌ، بِكَسْرِ الْبَاءِ وَبَعْدَهَا هَمْزَةٌ. وَالْبِئْرُ مُؤَنَّثَةٌ مَهْمُوْزَةٌ، يَجُوْزُ تَخْفِيْفُهَا بِقَلْبِ الْهَمْزَةِ يَاءً.

Ucapannya: "Mā`ul-Abār" (air sumur), dengan bā’ yang disukunkan dan setelahnya terdapat hamzah. Sebagian orang Arab mengucapkannya "Ābār" dengan hamzah yang dipanjangkan di awal kata dan bā’ yang difathahkan, tanpa hamzah setelahnya. Kata tersebut adalah bentuk jamak dari "bi’r" yang merupakan jamak dalam bentuk sedikit (jamak qillah). Kata ini juga dapat dijamakkan dalam bentuk sedikit dengan "Ab’ūr", dengan bā’ yang disukunkan dan setelahnya terdapat hamzah yang didhammahkan. Sedangkan dalam bentuk banyak (jamak katsrah), disebut "Bi’ār", dengan bā’ yang dikasrahkan dan setelahnya terdapat hamzah. Adapun "bi’r" adalah kata benda muannats (berjenis perempuan) yang mengandung hamzah, tetapi boleh diringankan dengan mengubah hamzahnya menjadi ya’.

 

فَرْعٌ

Cabang Fiqih

قَالَ الْمُزَنِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ ثَلْجٍ أَوْ بَرَدٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ. وَاعْتُرِضَ عَلَيْهِ وَقَالُوا: مَالِحٌ خَطَأٌ وَصَوَابُهُ مِلْحٌ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ}. وَالْجَوَابُ: أَنَّ هَذَا الِاعْتِرَاضَ جَهَالَةٌ مِنْ قَائِلِهِ، بَلْ فِيهِ أَرْبَعُ لُغَاتٍ: مَاءٌ مِلْحٌ، وَمَالِحٌ، وَمَلِيحٌ، وَمُلَاحٌ (بِضَمِّ الْمِيمِ وَتَخْفِيفِ اللَّامِ)، حَكَاهُنَّ الْخَطَّابِيُّ وَآخَرُونَ مِنَ الْأَئِمَّةِ. وَقَدْ جَمَعْتُ ذَلِكَ بِدَلَائِلِهِ وَأَقْوَالِ الْأَئِمَّةِ فِيهِ وَإِنْشَادِ الْعَرَبِ فِيهِ فِي تَهْذِيبِ الْأَسْمَاءِ وَاللُّغَاتِ.

فَمِنَ الْأَبْيَاتِ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ: وَلَوْ تَفَلَتْ فِي الْبَحْرِ وَالْبَحْرُ مَالِحٌ * لَأَصْبَحَ مَاءُ الْبَحْرِ مِنْ رِيقِهَا عَذْبًا وَقَوْلُ مُحَمَّدِ بْنِ حَازِمٍ: تَلَوَّنْتَ أَلْوَانًا عَلَيَّ كَثِيرَةً * وَخَالَطَ عَذْبًا مِنْ إخَائِكِ مَالِحٌ فَهَذَا هُوَ الْجَوَابُ الَّذِي نَخْتَارُهُ وَنَعْتَقِدُهُ.

Al-Muzani berkata dalam Al-Mukhtashar: "Asy-Syafi’i berkata: Setiap air dari laut, baik yang tawar atau asin, dari sumur, dari langit (hujan), dari salju, atau dari es, baik dipanaskan atau tidak, semuanya sama. Bersuci dengannya diperbolehkan." Namun, hal ini mendapat keberatan, dan mereka berkata: "Penggunaan kata 'māliḥun (asin) adalah kesalahan. Yang benar adalah 'milḥun (asin). Allah Ta'ala berfirman: ‘Dan ini adalah air asin lagi pahit’ [QS. Al-Furqan: 53].” Jawabannya adalah: Keberatan ini menunjukkan ketidaktahuan dari orang yang mengajukannya. Sebab, terdapat empat bentuk bahasa (dialek) untuk menyebut air asin, yaitu: 'mā’un milḥun,' 'mā’un māliḥun,' 'mā’un malīḥun,' dan 'mā’un mulāḥun (dengan dhammah pada huruf mīm dan takhfīf pada huruf lām). Ini telah dinyatakan oleh Al-Khaththabi dan ulama lainnya. Aku telah mengumpulkan hal ini dengan dalil-dalilnya, pernyataan para ulama, dan syair-syair Arab yang mendukungnya dalam kitab Tahdzīb Al-Asmā’ wa Al-Lughāt. Di antara syairnya adalah ucapan Umar bin Abi Rabi’ah: "Seandainya ia meludah ke laut, dan laut itu asin, maka air laut akan menjadi tawar karena ludahnya." Dan syair dari Muhammad bin Hazim: "Engkau berubah warna dengan begitu banyak warna; dan bercampur antara yang tawar dari persaudaraanmu dengan yang asin." Inilah jawaban yang kami pilih dan kami yakini.

وَذَكَرَ أَصْحَابُنَا جَوَابَيْنِ: أَحَدُهُمَا هَذَا، وَالثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ الْعِبَارَةَ لَيْسَتْ لِلشَّافِعِيِّ، بَلْ لِلْمُزَنِيِّ، وَعِبَارَةُ الشَّافِعِيِّ فِي الْأُمِّ: "عَذْبٌ أَوْ أُجَاجٌ".

وَهَذَا الْجَوَابُ ضَعِيْفٌ جِدًّا لِوَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُزَنِيَّ ثِقَةٌ وَقَدْ نَقَلَهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِهِ ذَكَرَ فِي الْأُمِّ عِبَارَةً أَنْ لَا يَذْكُرَ غَيْرَهَا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَلَا أَنْ لَا يَسْمَعَهَا الْمُزَنِيُّ شِفَاهًا.

وَالثَّانِي: أَنَّ هَذَا الْجَوَابَ يَتَضَمَّنُ تَغْلِيْطَ الْمُزَنِيِّ فِي النَّقْلِ وَنِسْبَتَهُ إِلَى اللَّحْنِ، وَلَا ضَرُوْرَةَ بِنَا إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

ثُمَّ وَجَدْتُ فِي رِسَالَةِ الْبَيْهَقِيِّ إِلَى الشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيِّ أَنَّ أَكْثَرَ أَصْحَابِنَا يَنْسِبُونَ الْمُزَنِيَّ فِي هَذَا إِلَى الْغَلَطِ، وَيَزْعُمُونَ أَنَّ هَذِهِ اللَّفْظَةَ لَمْ تُوجَدْ لِلشَّافِعِيِّ. قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: وَقَدْ سَمَّى الشَّافِعِيُّ الْبَحْرَ مَالِحًا فِي كِتَابَيْنِ: أَحَدُهُمَا فِي أَمَالِي الْحَجِّ فِي مَسْأَلَةِ كَوْنِ صَيْدِ الْبَحْرِ حَلَالًا لِلْمُحْرِمِ، وَالثَّانِي: فِي الْمَنَاسِكِ الْكَبِيرِ. وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Para ulama ashab kami menyebutkan dua jawaban terkait masalah ini:

1.     Jawaban ini (bahwa istilah ‘māliḥ’ benar adanya).

2.     Bahwa ungkapan tersebut bukan dari Asy-Syafi’i, melainkan dari Al-Muzani. Sedangkan ungkapan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm adalah: "Tawar atau pahit ('adzbun atau ajaabun)."

Jawaban kedua ini sangat lemah karena dua alasan:

1.     Al-Muzani adalah orang terpercaya, dan ia telah menukil ungkapan ini dari Asy-Syafi’i. Tidaklah wajib bagi Asy-Syafi’i untuk hanya menyebutkan satu ungkapan di satu tempat tanpa mengulanginya di tempat lain atau menyampaikannya secara lisan kepada Al-Muzani.

2.     Jawaban ini mengandung tuduhan kesalahan terhadap Al-Muzani dalam menukil dan menisbatkannya pada kesalahan tata bahasa. Padahal, kita tidak membutuhkan salah satu dari kedua tuduhan tersebut.

Kemudian aku menemukan dalam surat Al-Baihaqi kepada Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini, bahwa mayoritas ulama kami menisbatkan kesalahan ini kepada Al-Muzani dan beranggapan bahwa kata ini tidak terdapat dalam ucapan Asy-Syafi’i. Al-Baihaqi berkata: "Asy-Syafi’i telah menyebut laut dengan istilah ‘māliḥ’ dalam dua kitabnya: salah satunya dalam Amali Al-Hajj pada pembahasan tentang bolehnya berburu di laut bagi orang yang sedang ihram, dan yang lainnya dalam Al-Manasik Al-Kabīr." Dan hanya kepada Allah-lah petunjuk itu berasal. 

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ وَلَا يُكْرَهُ مِنْ ذَلِكَ إلَّا مَا قُصِدَ إلَى تَشْمِيسِهِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ الْوُضُوْءُ بِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يُكْرَهُ كَمَا لَا يُكْرَهُ بِمَاءٍ تَشَمَّسَ فِي الْبِرَكِ وَالْأَنْهَارِ وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ وَالدَّلِيْلُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَائِشَةَ وَقَدْ سَخَّنَتْ مَاءً بِالشَّمْسِ يَا حُمَيْرَاءُ لَا تَفْعَلِي هَذَا فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الْبَرَصَ

Penulis رَحِمَهُ اللهُ berkata : Tidak dimakruhkan dari yang demikian itu, kecuali berniat sengaja untuk memanaskannya dengan sinar matahari maka dimakruhkan berwudhu menggunakannya. Dan sebagian dari para ulama ashab kami ada yang mengatakan tidak makruh sebagaimana tidak dimakruhkan menggunakan air yang terkena pasa matahari di dalama kolam-kolam dan sunga-sungai. Sedangkan pendapat madzhab adalah yang pertama. Dalilnya adalah hadits yang telah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi bersabda kepada Aisyah, yang saat itu telah memanaskan air dengan sinar matahari: "Wahai Humaira, jangan lakukan ini, karena hal itu dapat menyebabkan penyakit kusta." 

الشَّرْحُ

Penjelasan

هَذَا الْحَدِيْثُ الْمَذْكُوْرُ ضَعِيْفٌ بِاتِّفَاقِ الْمُحَدِّثِيْنَ وَقَدْ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طُرُقٍ وَبَيَّنَ ضَعْفَهَا كُلَّهَا وَمِنْهُمْ مَنْ يَجْعَلُهُ مَوْضُوْعًا وَقَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ فِي الْأمِ بِإِسْنَادِهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الِاغْتِسَالَ بِالْمَاءِ الْمُشَمَّسِ وَقَالَ إنَّهُ يُوْرِثُ الْبَرَصَ وَهَذَا ضَعِيْفٌ أَيْضًا بِاتِّفَاقِ الْمُحَدِّثِيْنَ فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ إبْرَاهِيْمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي يَحْيَى وَقَدْ اتَّفَقُوْا عَلَى تَضْعِيْفِهِ وَجَرَّحُوْهُ وَبَيَّنُوْا أَسْبَابَ الْجَرْحِ إلَّا الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ فَإِنَّهُ وَثَّقَهُ فَحَصَلَ مِنْ هَذَا أَنَّ الْمُشَمَّسَ لَا أَصْلَ لِكَرَاهَتِهِ وَلَمْ يَثْبُتْ عن الاطباء فيه شئ فَالصَّوَابُ الْجَزْمُ بِأَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ فِيْهِ وَهَذَا هُوَ الْوَجْهُ الَّذِيْ حَكَاهُ الْمُصَنِّفُ وَضَعَّفَهُ وَكَذَا ضَعَّفَهُ غَيْرُهُ وَلَيْسَ بِضَعِيْفٍ بَلْ هُوَ الصَّوَابُ الْمُوَافِقُ لِلدَّلِيْلِ وَلِنَصِّ الشَّافِعِيِّ فَإِنَّهُ قَالَ فِي الْأُمِّ لَا أَكْرَهُ الْمُشَمَّسَ إلَّا أَنْ يُكْرَهَ مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ كَذَا رَأَيْتُهُ فِي الْأُمِّ وَكَذَا نَقَلَهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادِهِ فِي كِتَابِهِ مَعْرِفَةُ السُّنَنِ وَالْآثَارِعَنْ الشَّافِعِيِّ

Hadits yang disebutkan ini adalah hadits dha'if dengan kesepakatan para ahli hadits. Imam Baihaqi telah meriwayatkannya dari beberapa jalur dan ia menjelaskan kedha'ifannya seluruh riwayatnya dan ada sebagian ulama yang menetapkannya sebagai hadits palsu. Imam Syafi'iy telah meriwayatkan di dalam kitab al Umm dengan sanadnya dari Umar bin Khathab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ bahwa Umar tidak menyukai mandi menggunakan air yang terkena panas matahari dan ia berkata bahwa hal itu bisa menyebabkan kusta dan ini hadits dha'if juga dengan kesepakatan para ahli hadits. Sesungguhnya riwayat ini berasal dari Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya, dan para ulama sepakat melemahkannya, mencelanya, dan menjelaskan sebab-sebab kecacatannya, kecuali Asy-Syafi'i, rahimahullah, yang menyatakannya sebagai perawi terpercaya. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasar syar'i untuk memakruhkan air yang terkena panas matahari (المشمس), dan tidak ada satu pun pernyataan yang shahih dari para dokter mengenai bahaya hal tersebut.

وَأَمَّا قَوْلُهُ فِيْ مُخْتَصَرِ الْمُزَنِيِّ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ لِكَرَاهَةِ عُمَرَ لِذَلِكَ وَقَوْلِهِ إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ فَلَيْسَ صَرِيحًا فِي مُخَالَفَةِ نَصِّهِ فِي الْأُمِّ بَلْ يُمْكِنُ حَمْلُهُ عَلَيْهِ فَيَكُونُ مَعْنَاهُ لَا أَكْرَهُهُ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ إنْ قَالَ أَهْلُ الطِّبِّ إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ. فَهَذَا مَا نَعْتَقِدُهُ فِي الْمَسْأَلَةِ وَمَا هُوَ كَلَامُ الشَّافِعِيِّ

Adapun pendapat Asy-Syafi'i dalam Mukhtashar al-Muzani: "Kecuali dari sudut pandang medis karena Umar membenci hal itu dan ucapannya bahwa air tersebut dapat menyebabkan kusta," itu tidak secara tegas bertentangan dengan teksnya dalam kitab al-Umm. Bahkan, pendapat tersebut dapat ditafsirkan bahwa maksudnya: "Aku tidak memakruhkannya kecuali dari sudut pandang medis, jika para ahli medis mengatakan bahwa air tersebut dapat menyebabkan kusta." Inilah keyakinan kami tentang masalah ini, dan ini pula yang menjadi pendapat Asy-Syafi'i.

وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدَ وَدَاوُد وَالْجُمْهُوْرِ أَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ كَمَا هُوَ الْمُخْتَارُ وَأَمَّا الْأَصْحَابُ فَمَجْمُوْعُ مَا ذَكَرُوْا فِيْهِ سَبْعَةَ أَوْجُهٍ أَحَدُهَا لَا يُكْرَهُ مُطْلَقًا كَمَا سَبَقَ وَالثَّانِي يُكْرَهُ فِي كُلِّ الْأَوَانِي وَالْبِلَادِ بِشَرْطِ الْقَصْدِ إلَى تَشْمِيْسِهِ وَهُوَ الْأَشْهَرُ عِنْدَ الْعِرَاقِيِّينَ وَزَعَمَ صَاحِبُ الْبَيَانِ أَنَّهُ الْمَنْصُوْصُ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ فِي التَّنْبِيْهِ وَالْقَاضِيْ أَبُو عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ عُمَرَ الْبَنْدَنِيْجِيُّ مِنْ كِبَارِ الْعِرَاقِيِّيْنَ فِي كِتَابِهِ الْجَامِعِ.

Pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad, Dawud, dan mayoritas ulama adalah bahwa air yang terkena panas matahari tidak dimakruhkan, sebagaimana yang merupakan pendapat yang lebih kuat. Adapun para ulama Mazhab Syafi'i, secara keseluruhan mereka menyebutkan tujuh pendapat tentang masalah ini:

Pendapat pertama: Tidak dimakruhkan secara mutlak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Pendapat kedua: Dimakruhkan pada semua wadah dan di semua daerah, dengan syarat sengaja memanaskan air tersebut di bawah sinar matahari. Ini adalah pendapat yang lebih masyhur di kalangan ulama Irak.

Pemilik kitab al-Bayan mengklaim bahwa pendapat ini adalah pendapat yang dinyatakan langsung oleh Imam Syafi'i (al-manshush). Pendapat ini juga ditegaskan oleh al-Mushannif dalam kitab at-Tanbih dan oleh al-Qadhi Abu Ali al-Hasan bin Umar al-Bandaniji, salah seorang ulama besar dari Irak, dalam kitabnya al-Jami'.

وَالثَّالِثُ يُكْرَهُ مُطْلَقًا وَلَا يُشْتَرَطُ الْقَصْدُ وَهُوَ الْمُخْتَارُ عِنْدَ صَاحِبِ الْحَاوِي قَالَ وَمَنْ اعْتَبَرَ الْقَصْدَ فَقَدْ غَلِطَ. وَالرَّابِعُ يُكْرَهُ فِي الْبِلَادِ الْحَارَّةِ فِي الْأَوَانِي الْمُنْطَبِعَةِ وَهِيَ الْمُطْرَقَةُ وَلَا يُشْتَرَطُ الْقَصْدُ وَلَا تَغْطِيَةُ رَأْسِ الْإِنَاءِ وَهَذَا هُوَ الْأَشْهَرُ عِنْدَ الْخُرَاسَانِيِّينَ وَغَلَّطَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ الْعِرَاقِيِّينَ فِي اشْتِرَاطِ الْقَصْدِ وَعَلَى هَذَا فَالْمُرَادُ بِالْمُنْطَبِعَةِ أَوْجُهٌ أَحَدُهَا جَمِيْعُ مَا يُطْرَقُ وَهُوَ قَوْلُ الشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيِّ وَالثَّانِي أَنَّهَا النُّحَاسُ خَاصَّةً وَهُوَ قَوْلُ الصيدلاني: والثلث كُلُّ مَا يُطْرَقُ إلَّا الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ لِصَفَائِهِمَا وَاخْتَارَهُ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ. وَالْخَامِسُ يُكْرَهُ فِي الْمُنْطَبِعَةِ بِشَرْطِ تَغْطِيَةِ رَأْسِ الْإِنَاءِ حَكَاهُ الْبَغَوِيّ وَجَزَمَ بِهِ شَيْخُهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَصَاحِبُ التَّتِمَّةِ: وَالسَّادِسُ إنْ قَالَ طَبِيبَانِ يُورِثُ الْبَرَصَ كُرِهَ وَإِلَّا فَلَا حَكَاهُ صَاحِبُ الْبَيَانِ وَغَيْرُهُ وَضَعَّفُوْهُ وَزَعَمُوْا أَنَّ الْحَدِيْثَ لَمْ يُفَرَّقْ فِيْهِ وَلَمْ يُقَيَّدْ بِسُؤَالِ الْأَطِبَّاءِ. وَهَذَا التَّضْعِيْفُ غَلَطٌ بَلْ هَذَا الْوَجْهُ هُوَ الصَّوَابُ إنْ لَمْ يُجْزَمْ بِعَدَمِ الْكَرَاهَةِ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِنَصِّهِ فِي الْأُمِّ لَكِنَّ اشترط طبيبين ضَعيْفٌ بَلْ يَكْفِىْ وَاحِدٌ فَإِنَّهُ مِنْ بَابِ الْإِخْبَارِ وَالسَّابِعُ يُكْرَهُ فِي الْبَدَنِ دُونَ الثَّوْبِ حَكَاهُ صَاحِبُ الْبَيَانِ وَهُوَ ضَعِيفٌ أَوْ غَلَطٌ

Pendapat ketiga: Dimakruhkan secara mutlak tanpa mensyaratkan adanya niat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh penulis al-Hawi. Ia mengatakan, "Barang siapa yang mensyaratkan adanya niat, maka ia telah keliru."

Pendapat keempat: Dimakruhkan di daerah yang panas ketika digunakan dalam wadah yang bisa ditempa (al-awani al-munthabi’ah), yaitu wadah yang terbuat dari logam seperti yang ditempa, tanpa mensyaratkan adanya niat atau penutup di atas wadah. Pendapat ini adalah yang paling masyhur di kalangan ulama Khurasan. Imam al-Haramain mengkritik ulama Irak yang mensyaratkan adanya niat. Berdasarkan pendapat ini, yang dimaksud dengan wadah yang bisa ditempa (munthabi’ah) memiliki beberapa pendapat:

  • Pendapat pertama: Semua wadah yang bisa ditempa, seperti yang dikatakan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juwaini.
  • Pendapat kedua: Hanya tembaga saja, seperti yang dikatakan oleh ash-Shaydalani.
  • Pendapat ketiga: Semua wadah yang bisa ditempa kecuali emas dan perak karena kejernihan keduanya. Pendapat ini dipilih oleh Imam al-Haramain.

Pendapat kelima: Dimakruhkan jika menggunakan wadah yang bisa ditempa, dengan syarat adanya penutup di atas wadah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Baghawi dan ditegaskan oleh gurunya, al-Qadhi Husayn, serta penulis at-Tatimmah.

Pendapat keenam: Jika dua orang dokter mengatakan bahwa air tersebut dapat menyebabkan kusta, maka dimakruhkan. Jika tidak, maka tidak dimakruhkan. Pendapat ini dikemukakan oleh penulis al-Bayan dan lainnya, tetapi pendapat ini dianggap lemah. Mereka beranggapan bahwa hadis tidak membedakan atau memberi batasan dengan meminta pendapat dokter. Namun, pendapat ini sebenarnya bukanlah keliru, melainkan merupakan pendapat yang benar jika tidak ada kepastian tentang tidak adanya kemakruhan. Pendapat ini juga sesuai dengan teks Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm. Akan tetapi, syarat adanya dua orang dokter dianggap lemah; cukup satu orang dokter saja, karena ini termasuk perkara pemberitaan (ikhabar).

Pendapat ketujuh: Dimakruhkan jika digunakan untuk badan, tetapi tidak untuk pakaian. Pendapat ini disebutkan oleh penulis al-Bayan, tetapi dianggap lemah atau keliru.Bottom of Form

فَإِنَّهُ يُوْهِمُ أَنَّ الْأَوْجُهَ السَّابِقَةَ عَامَّةٌ لِلْبَدَنِ وَالثَّوْبِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ الصَّوَابُ مَا قَالَهُ صَاحِبُ الْحَاوِي أَنَّ الْكَرَاهَةَ تَخْتَصُّ بِاسْتِعْمَالِهِ فِي الْبَدَنِ فِي طَهَارَةِ حَدَثٍ أَوْ نَجَسٍ أَوْ تَبَرُّدٍ أَوْ تَنَظُّفٍ أَوْ شُرْبٍ قَالَ وَسَوَاءٌ لَاقَى الْبَدَنَ فِي عِبَادَةٍ أَمْ غَيْرِهَا قَالَ وَلَا كَرَاهَةَ فِي اسْتِعْمَالِهِ فِيْمَا لَا يُلَاقِي الْبَدَنَ مِنْ غَسْلِ ثَوْبٍ وَإِنَاءٍ وَأَرْضٍ لِأَنَّ الْكَرَاهَةَ لِلْبَرَصِ وَهَذَا مُخْتَصٌّ بِالْجَسَدِ قَالَ فَإِنْ اسْتَعْمَلَهُ فِي طَعَامٍ وَأَرَادَ أَكْلَهُ فَإِنْ كَانَ مَائِعًا كَالْمَرَقِ كُرِهَ وَإِنْ لَمْ يَبْقَ مَائِعًا كَالْخُبْزِ وَالْأُرْزِ الْمَطْبُوْخِ بِهِ لَمْ يُكْرَهْ هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الْحَاوِي وَذَكَرَ مِثْلَهُ صَاحِبُ الْبَحْرِ وَهُوَ الْإِمَامُ أَبُو الْمَحَاسِنِ عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ إسْمَاعِيْلَ الرُّويَانِيُّ

Hal itu menunjukkan seolah-olah pendapat-pendapat sebelumnya bersifat umum, mencakup penggunaan untuk badan dan pakaian. Padahal tidak demikian. Yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh penulis al-Hawi, yaitu bahwa kemakruhan itu khusus berlaku untuk penggunaannya pada badan dalam rangka bersuci dari hadas atau najis, untuk mendinginkan diri, membersihkan diri, atau meminumnya. Ia mengatakan bahwa hukumnya sama, baik bersentuhan dengan badan dalam ibadah maupun selainnya. Ia juga berkata bahwa tidak ada kemakruhan dalam penggunaannya untuk sesuatu yang tidak bersentuhan dengan badan, seperti mencuci pakaian, wadah, atau tanah. Sebab, kemakruhan itu disebabkan oleh risiko kusta, yang secara khusus berkaitan dengan badan. Ia menambahkan, jika air tersebut digunakan untuk memasak makanan dan makanan itu hendak dimakan, maka:

  • Jika makanan tersebut masih berbentuk cair seperti kuah, hukumnya makruh.
  • Jika makanan tersebut tidak lagi berbentuk cair, seperti roti atau nasi yang dimasak dengan air itu, maka tidak dimakruhkan.

Inilah pendapat yang dikemukakan oleh penulis al-Hawi, dan hal serupa juga disebutkan oleh penulis al-Bahr, yaitu Imam Abu al-Mahasin 'Abd al-Wahid bin Isma'il al-Ruyani.

وَإِذَا قُلْنَا بِالْكَرَاهَةِ فَنَرُدُّ فَفِي زَوَالِهَا أَوْجُهٌ حَكَاهَا الرُّوْيَانِيُّ وَغَيْرُهُ ثَالِثُهَا إنْ قَالَ طَبِيْبَانِ يُورِثُ الْبَرَصَ كُرِهَ وَإِلَّا فَلَا  وَحَيْثُ أَثْبَتْنَا الْكَرَاهَةَ فَهِيَ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ وَهَلْ هِيَ شَرْعِيَّةٌ يَتَعَلَّقُ الثَّوَابُ بِتَرْكِهَا وَإِنْ لَمْ يُعَاقَبْ عَلَى فِعْلِهَا أَمْ إرْشَادِيَّةٌ لِمَصْلَحَةٍ دُنْيَوِيَّةٍ لَا ثَوَابَ وَلَا عِقَابَ فِي فِعْلِهَا وَلَا تَرْكِهَا فِيْهِ وَجْهَانِ ذَكَرَهُمَا الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بْنُ الصَّلَاحِ: قَالَ وَاخْتَارَ الْغَزَالِيُّ الْإِرْشَادِيَّةَ وَصَرَّحَ الْغَزَالِيُّ بِهِ فِي دَرْسِهِ قَالَ وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ قَالَ وَالْأَظْهَرُ وَاخْتِيَارُ صَاحِبَيْ الْحَاوِي وَالْمُهَذَّبِ وَغَيْرِهِمَا الشَّرْعِيَّةَ (قُلْتُ) هَذَا الثَّانِي هُوَ الْمَشْهُورُ عَنْ الْأَصْحَابِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Dan jika kita mengatakan adanya makruh, maka dalam hal hilangnya (makruh tersebut) terdapat beberapa pendapat. Pendapat ini disebutkan oleh Ar-Ruyani dan lainnya. Salah satu pendapatnya adalah jika dua dokter mengatakan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan penyakit kusta, maka itu dimakruhkan. Jika tidak ada pendapat seperti itu, maka tidak dimakruhkan. Adapun jika kita menetapkan adanya makruh, maka itu adalah makruh tanzih (makruh yang dianjurkan untuk ditinggalkan, namun tidak berdosa jika dilakukan). Apakah ini makruh yang bersifat syar‘i, yang seseorang mendapat pahala jika meninggalkannya meskipun tidak mendapat dosa jika melakukannya? Ataukah ini adalah makruh yang bersifat irsyadi (sekadar anjuran untuk kepentingan duniawi), yang tidak ada pahala atau dosa dalam melakukannya maupun meninggalkannya? Terdapat dua pendapat mengenai hal ini yang disebutkan oleh Syaikh Abu Amr Ibnu Ash-Shalah. Beliau berkata bahwa Al-Ghazali memilih pendapat bahwa ini bersifat irsyadi. Al-Ghazali juga menyatakannya secara eksplisit dalam pelajarannya, dan ini sesuai dengan teks zahir Imam Asy-Syafi‘i. Beliau berkata bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang dipilih oleh pemilik kitab Al-Hawi, Al-Muhadzdzab, dan lainnya, yaitu bahwa ini bersifat syar‘i. (Saya katakan:) Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan para ulama mazhab, dan Allah Maha Mengetahui. (18)

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah
Fiqih bermadzhab Syafi'iy, aqidah bermadzhab Asy'ari, Tasawuf bermadzhab Imam Ghazali