Kajian Ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf

Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 22 Desember 2024

FITNAH USTADZ ABU UTSMAN KHARISMAN TERHADAP IMAM AL MUZANI

 الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (4)


Di dalam berargumentasi untuk mendukung aqidahnya yang meyakini Allah tinggi di atas Arsy dengan makna menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy, Ustadz Abu Utsman Kharisman mengutip perkataan Imam al Muzani di dalam Kitab Syarhussunnah.

Ustadz Abu Utsman Kharisman berkata :

Al-Muzani rahimahullah menyatakan:

عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ فِي مَجْدِهِ بِذَاتِهِ وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ أَحَاطَ عِلْمُهُ بِاْلأُمُوْرِ وَأَنْفَذَ فِي خَلْقِهِ سَابِقَ الْمَقْدُوْرِ وَهُوَ الْجَوَّادُ الْغَفُوْرُ { يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ }

Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dalam KemulyaanNya dengan DzatNya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari hambaNya. IlmuNya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaanNya (sesuai) yang telah ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. { Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada <<Q.S Ghafir/ al-Mu’min:19>>}

 

Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy pada puncak ketinggian. ‘Arsy adalah makhluk Allah tertinggi dan terbesar yang berada di atas langit. Secara tegas dalam kalimat ini al-Muzani menyatakan bahwa Dzat Allah di atas ketinggian.

Al-Muzani juga pernah menyatakan:

لاَ يَصِحُّ لِأَحَدٍ تَوْحِيْدٌ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ بِصِفَاتِهِ

Tidak sah tauhid seseorang hingga ia mengetahui bahwa Allah di atas ‘Arsy dengan Sifat-SifatNya (al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar karya adz-Dzahaby (1/186)).

 

Akidah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit, ber-istiwa’ di atas ‘Arsy adalah akidah para Nabi dan para Sahabatnya. Tidak hanya Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam, namun juga Nabi-Nabi sebelumnya.

Sumber : https://salafy.or.id/penjelasan-syarhus-sunnah-lil-muzani-bag-ke-3-a/

 

Jawaban :

Semua da'i wahabi dalam berdakwah terkait aqidah itu modusnya sama. Mereka hanya akan mengutip perkataan salaf yang berkata dengan ayat sifat tapi tidak mengutip kaidah yang dijadikan landasan pokok aqidah ulama salaf yang mereka kutip perkataannya. Yang demikian dikarenakan ayat sifat itu mutasyabihat sehingga mereka bisa memalingkan maksudnya sesuai dengan maksud sesat yang mereka kehendaki karena ihtimal lafadznya (memiliki beberapa kemungkinan makna). Sedangkan kaidah yang dibangun ulama salaf tegak di atas dalil yang muhkam sehingga mereka tidak bisa memalingkannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir di dalam tafsir surat ali Imron ayat 7 :

إِنَّمَا يَأْخُذُونَ مِنْهُ بِالْمُتَشَابِهِ الَّذِي يُمْكِنُهُمْ أَنْ يُحَرِّفُوهُ إِلَى مَقَاصِدِهِمُ الْفَاسِدَةِ، وَيُنْزِلُوهُ عَلَيْهَا، لِاحْتِمَالِ لَفْظِهِ لِمَا يَصْرِفُونَهُ  فَأَمَّا الْمُحْكَمُ فَلَا نَصِيبَ لَهُمْ فِيهِ

Pasti orang-orang sesat itu hanya akan mengutip yang mutasyabih dari al Qur'an yang memungkinkan mereka memalingkannya kepada maksud-maksud mereka yang rusak (sesat), dan mereka meletakkan di atasnya karena ihtimal lafadznya, adapun yang muhkam mereka tidak bisa memalingkannya.

[Tafsir Ibnu Katsir. 2/8]


Sehingga tatkala Ustadz Abu Utsman Kharisman berargumentasi dengan perkataan Imam al Muznai, cukup kita jawab dengan kaidah yang dibangun oleh Imam al Muzani. Seketika itu runtuh hujjahnya dan akan ditemukan ketanaqudan di mana-mana.

Maka kita jawab maksudnya bukan lah meyakini dzat Allah menetap pada satu arah dari arah-arah Arsy, melainkan dengan mentafwidh maknanya kepada Allah, karena al Muzani membangun kaidah sifat-sifat dzat Allah kekal azaliyyah dengan perkataannya :

وكلمات الله وقدرة الله ونعته وَصِفَاته كاملات غير مخلوقات دائمات أزليات وَلَيْسَت بمحدثات فتبيد

Kalimat-kalimat Allah, kuasa-Nya, na'at-Nya dan sifat-sifat-Nya adalah yang sempurna, bukan yang diciptakan, yang kekal, azaliyyah dan bukan yang baru lalu binasa (punah).

[Kitab Syarhussunnah 1/79]

 

Dari kaidah itu kan jelas (muhkam) bahwa sebelum mahluk diciptakan dzat Allah memiliki sifat tidak menetap pada satu arah manapun, maka sekarang pun sifat tersebut tetap ada. Jika sekarang ditetapkan menetap pada satu arah, yaitu arah atas, itu artinya sifat dzat yang tidak menetap pada satu arah manapun sudah punah, tidak kekal.

Jika dengan ilmu tentu sangat mudah sekali membantah Wahabi dan menunjukkan bahwa Wahabi itu adalah sekte sesat yang membuat fitnah terhadap ulama salaf, karena di dalam setiap dakwahnya selalu menyebut nyebut nama ulama salaf, padahal faktanya apa yang diajarkan ulama salaf tidak sesuai dengan yang mereka katakan.

Kemudian terkait penambahan bi dzatihi (dengan dzat Nya), tentu menjadi kontradiksi dengan pemahaman Ustadz Abu Utsman Kharisman yang menetapkan semua bid'ah sesat dan mewajibkan menetapkan sifat itu harus tauqifiyyah (sesuai redaksi al Qur'an dan Sunnah), sehingga mereka menolak sifat Qadim yang ditetapkan asy'ariah dengan alasan bid'ah dan tidak dikenal di zaman sahabat Nabi radhiallahu'anhum. Faktanya penambahan kata bi dzatihi itu pun tidak dikenal di zaman para sahabat Nabi radhiallahu'anhum, alias bid'ah. Sebagaimana yang dikatakan al Bani di dalam tahqiqnya :

قلت: ومن هذا العرض يتبين أن هاتين اللفظتين: "بذاته" و"بائن" لم تكونا معروفين في عهد الصحابة رضي الله عنهم

Aku (al Bani) berkata : dan dari pemaparan ini menjadi jelas bahwa dua lafadz ini, yaitu bi dzatihi (dengan dzat Nya) dan baa'inun (yang terpisah) tidak dikenal di zaman sahabat radhiallahu'anhum.

[Mukhtashor al Uluw 1/17]

Apakah wahabi sekarang menetapkan adakalanya bid'ah itu ada manfaatnya (hasanah) ? Atau bagaimana ? Itulah salah satu inkonsistensi Wahabi.

Sedangkan bagi kami yang mengakui adanya bid'ah hasanah penambahan bi dzatihi itu tidak menjadi masalah jika maksudnya dibawa kepada maksud yang tepat, yaitu untuk menegaskan bahwa sifat al Uluw itu adalah sifat dzat yang azaliyah bukan dengan makna menetap pada satu arah, yaitu arah atas. Meskipun sebagian ulama seperti adz Dzahabi mengingkarinya.

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah
Fiqih bermadzhab Syafi'iy, aqidah bermadzhab Asy'ari, Tasawuf bermadzhab Imam Ghazali