الرد على الوهابية
Ar Rad 'alal Wahabiyyah
[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (3)
Ustad
Firanda berargumentasi dengan mengutip kalam Imam Ibnu Bathoh al Uqbari lalu
dibawa maksudnya sesuai kehendaknya yang meyakini dzat Allah menetap di atas
Arsy dengan makna berada pada satu arah dari arah-arah Arsy. Ini dikarenakan
buruknya kefahaman Ustad Firanda di dalam memahami kalam ulama.
Ustad Firanda berkata :
Ibnu Batthoh juga menyatakan:
Tuhan kita Allah Ta’ala mencela keadaan rendah dan memuji yang tinggi.
Sebagaimana dalam firmanNya:
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ
الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ
“Sekali-kali tidak,
sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin”.(Q.S al-Muthoffifiin: 18).’Illiyyin adalah langit ke tujuh… Dan
Allah Ta’ala juga menyatakan:
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ
الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ
“Sekali-kali jangan curang,
karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin”(Q.S al-Muthoffifiin:7) Sijjin yaitu lapisan bumi yang terbawah.
(Lihat Ucapan Ibnu Batthoh tersebut dalam kitab al-Ibaanah juz 3 halaman
142-143).
Demikianlah, beberapa sisi
pendalilan yang bisa kami sebutkan dalam tulisan ini. Pada tiap sisi
pendalilan, terkandung banyak dalil dari Al Qur’an maupun hadits yang shahih.
Sumber : https://firanda.com/ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit/
Jawaban :
Metode
yang benar di dalam memahami keyakinan para ulama harus di awali dari
mempelajari ushul aqidahnya terlebih dahulu. Karena setiap ulama pasti membuat
kaidah-kaidah sebagai landasan ushul aqidahnya agar orang lain yang membaca
perkataannya di dalam sifat Allah tidak gagal faham.
Seharusnya
Ustad Firanda mengkaji terlebih dahulu kaidah yang sudah dibuat Imam Ibnu
Bathoh :
وَكُلُّ مَنْ حَدَثَتْ صِفَاتُهُ، فَمُحْدَثٌ ذَاتُهُ، وَمَنْ حَدَثَ
ذَاتُهُ وَصِفَتُهُ، فَإِلَى فَنَاءٍ حَيَاتُهُ، وَتَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ
عُلُوًّا كَبِيرًا
Semua yang baru sifat-sifat (dzat) nya, maka dzatnya adalah
yang baru diadakan (diciptakan), dan sesuatu yang baru dzatnya dan
sifat-sifatnya, maka menuju kebinasaan hidupnya, maha suci Allah dari sifat
demikian itu.
[Kitab al Ibanah al Kubro 6/149]
Kaidah
tersebut sangat jelas sekali dan mudah difahami. Kesimpulannya tidak boleh
meyakini ada sifat dzat yang baru bagi dzat Allah. Maka kita harus melihat
sifat dzat Allah sebelum mahluk diciptakan. Jika sebelum mahluk diciptakan dzat
Allah tanpa batas dan tanpa ujung serta tidak diliputi arah-arah yang enam maka
sekarang pun sama, dzat Allah tidak ada batasnya dan tidak ada ujungnya serta
tidak diliputi arah-arah yang enam. Sehingga mustahil Imam Ibnu Bathoh meyakini
makna dzat Allah menetap di atas sesuatu yang melazimkan meyakini ada sesuatu
di bawah dzat Nya, atau hanya berada pada satu arah dan tidak ada di arah
selainnya karena itu semua melazimkan dzat Allah ada ujungnya dan ada batasnya.
Maha suci Allah dari sifat demikian.
Semua
dalil yang dikutip oleh Imam Ibnu Bathoh untuk menunjukkan asal dari sifat
tersebut, sama sekali tidak menjelaskan maksudnya dzat Allah menetap di atas
sesuatu yang melazimkan adanya batas dan ujung sebagai sifat dzat yang baru.
Tentu tatkala kita menetapkan suatu sifat bagi Allah, kita harus menunjukkan
asalnya, kemudian semua sifat terkait arah atas atau tempat tinggi difahami
sebagai isyarat kepada suatu makna yang layak bagi Allah dan menyerahkan
ilmunya kepada Allah ta'ala. Demikianlah keyakinan Ibnu Bathoh sesuai dengan
kaidah yang sudah ditetapkannya.
Hal
ini menunjukkan betapa buruknya kefahaman Ustad Firanda di dalam memahami
perkataan ulama. Maha suci Allah dari sifat yang disifatkan orang-orang yang
buruk kefahamannya.
Abdurrachman asy Syafi'iy
0 comments:
Posting Komentar