Kajian Ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf

Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 20 Desember 2024

FITNAH USTAD FIRANDA TERHADAP IMAM IBNU BATHOH

 

الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (3)

Ustad Firanda berargumentasi dengan mengutip kalam Imam Ibnu Bathoh al Uqbari lalu dibawa maksudnya sesuai kehendaknya yang meyakini dzat Allah menetap di atas Arsy dengan makna berada pada satu arah dari arah-arah Arsy. Ini dikarenakan buruknya kefahaman Ustad Firanda di dalam memahami kalam ulama.

Ustad Firanda berkata :

Ibnu Batthoh juga menyatakan: Tuhan kita Allah Ta’ala mencela keadaan rendah dan memuji yang tinggi. Sebagaimana dalam firmanNya:

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin”.(Q.S al-Muthoffifiin: 18).’Illiyyin adalah langit ke tujuh… Dan Allah Ta’ala juga menyatakan:

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ

“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin”(Q.S al-Muthoffifiin:7) Sijjin yaitu lapisan bumi yang terbawah. (Lihat Ucapan Ibnu Batthoh tersebut dalam kitab al-Ibaanah juz 3 halaman 142-143).

Demikianlah, beberapa sisi pendalilan yang bisa kami sebutkan dalam tulisan ini. Pada tiap sisi pendalilan, terkandung banyak dalil dari Al Qur’an maupun hadits yang shahih.

Sumber : https://firanda.com/ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit/

 

Jawaban :

Metode yang benar di dalam memahami keyakinan para ulama harus di awali dari mempelajari ushul aqidahnya terlebih dahulu. Karena setiap ulama pasti membuat kaidah-kaidah sebagai landasan ushul aqidahnya agar orang lain yang membaca perkataannya di dalam sifat Allah tidak gagal faham.

Seharusnya Ustad Firanda mengkaji terlebih dahulu kaidah yang sudah dibuat Imam Ibnu Bathoh :

وَكُلُّ مَنْ حَدَثَتْ صِفَاتُهُ، فَمُحْدَثٌ ذَاتُهُ، وَمَنْ حَدَثَ ذَاتُهُ وَصِفَتُهُ، فَإِلَى فَنَاءٍ حَيَاتُهُ، وَتَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا

Semua yang baru sifat-sifat (dzat) nya, maka dzatnya adalah yang baru diadakan (diciptakan), dan sesuatu yang baru dzatnya dan sifat-sifatnya, maka menuju kebinasaan hidupnya, maha suci Allah dari sifat demikian itu.

[Kitab al Ibanah al Kubro 6/149]

Kaidah tersebut sangat jelas sekali dan mudah difahami. Kesimpulannya tidak boleh meyakini ada sifat dzat yang baru bagi dzat Allah. Maka kita harus melihat sifat dzat Allah sebelum mahluk diciptakan. Jika sebelum mahluk diciptakan dzat Allah tanpa batas dan tanpa ujung serta tidak diliputi arah-arah yang enam maka sekarang pun sama, dzat Allah tidak ada batasnya dan tidak ada ujungnya serta tidak diliputi arah-arah yang enam. Sehingga mustahil Imam Ibnu Bathoh meyakini makna dzat Allah menetap di atas sesuatu yang melazimkan meyakini ada sesuatu di bawah dzat Nya, atau hanya berada pada satu arah dan tidak ada di arah selainnya karena itu semua melazimkan dzat Allah ada ujungnya dan ada batasnya. Maha suci Allah dari sifat demikian.

Semua dalil yang dikutip oleh Imam Ibnu Bathoh untuk menunjukkan asal dari sifat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan maksudnya dzat Allah menetap di atas sesuatu yang melazimkan adanya batas dan ujung sebagai sifat dzat yang baru. Tentu tatkala kita menetapkan suatu sifat bagi Allah, kita harus menunjukkan asalnya, kemudian semua sifat terkait arah atas atau tempat tinggi difahami sebagai isyarat kepada suatu makna yang layak bagi Allah dan menyerahkan ilmunya kepada Allah ta'ala. Demikianlah keyakinan Ibnu Bathoh sesuai dengan kaidah yang sudah ditetapkannya.

Hal ini menunjukkan betapa buruknya kefahaman Ustad Firanda di dalam memahami perkataan ulama. Maha suci Allah dari sifat yang disifatkan orang-orang yang buruk kefahamannya.

Abdurrachman asy Syafi'iy

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah
Fiqih bermadzhab Syafi'iy, aqidah bermadzhab Asy'ari, Tasawuf bermadzhab Imam Ghazali