الرد على الوهابية
Ar Rad 'alal Wahabiyyah
[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (5)
Ustadz Firanda berkata :
Sifat nuzul (turunnya) Allah mirip dengan sifat
datangNya Allah yang menunjukkan bahwa Allah mendekat kepada hambaNya. Allah
berfirman :
هَل
يَنظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِنْ الغَمَامِ
وَالمَلائِكَةُ وَقُضِيَ الأَمْرُ
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari
kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada
Allah dikembalikan segala urusan (QS Al-Baqoroh : 210)
هَل
يَنظُرُونَ إلا أَنْ تَأْتِيَهُمُ المَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ
يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada
mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan
Tuhanmu atau kedatangan
beberapa ayat Tuhanmu. (QS Al-An’aam : 158)
وَجَاءَ
رَبُّكَ وَالمَلَكُ صَفَّاً صَفَّاً
Dan datanglah
Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris (QS Al-Fajr : 22)
Dalam ayat-ayat di atas Allah membedakan antara
kedatangan Allah dengan kedatangan malaikat atau kedatangan sebagian ayat-ayat
Allah. Ini semua menunjukkan bahwa Allah datang menemui hambaNya, dan tidak
boleh ditafsirkan “datangnya Allah” dengan “datangnya malaikat” atau “datangnya
ayat-ayat Allah”, karena semuanya telah dirinci dalam ayat-ayat di atas.
Sumber :
https://firanda.com/masukan-ke-4-untuk-al-ustadz-ah-menolak-allah-turun-di-sepertiga-malam-yang-terakhir/
Jawaban :
Apabila
Ustadz Firanda menisbatkan aqidahnya tersebut kepada para ulama ahlusunnah wal
jama'ah dari zaman salaf hingga zaman kholaf, tentu itu merupakan kedustaan dan
fitnah yang keji.
Di
sana Ustadz Firanda membawa makna sifat an Nuzul kepada makna sifat al Maji
atau al Ityan (datang). Padahal tidak ada satupun ulama ahlussunnah wal jama'ah
yang melakukan demikian. Terlebih di sana Ustadz Firanda memahaminya dengan
makna mendekat yang melazimkan meyakini makna berpindah tempat dari jarak yang
jauh menjadi jarak yang pendek dengan mahluk. Maha suci Allah dari sifat
demikian. Terkait masalah jarak yang disandarkan kepada Allah, Imam Abu Hanifah
mewakili keyakinan para ulama salaf sudah menjelaskan :
مَعْنَى الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ
Makna dekat
dan jauh
وَلَيْسَ
قُرْبُ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا بُعْدُهُ مِنْ طَرِيقِ طُولِ الْمَسَافَةِ
وَقَصْرِهَا، وَلَكِنْ عَلَى مَعْنَى الْكَرَامَةِ وَالْهَوَانِ، وَالْمُطِيعُ
قَرِيبٌ مِنْهُ بِلا كَيْفَ، وَالْعَاصِي بَعِيدٌ مِنْهُ بِلا كَيْفَ. وَالْقُرْبُ
وَالْبُعْدُ وَالْإِقْبَالُ يَقَعُ عَلَى الْمُنَاجِي، وَكَذَلِكَ جِوَارُهُ فِي
الْجَنَّةِ، وَالْوُقُوْفُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِلا كَيْفِيَّةٍ.
Dekatnya
Allah dan jauhnya bukanlah berdasarkan jarak panjang dan pendek, tetapi
berdasarkan makna kemuliaan dan kehinaan. Orang yang taat dekat darinya tanpa
kaif dan orang yang maksiat jauh darinya tanpa kaif. Dekat, jauh dan kedatangan
berlaku bagi orang yang munajat, demikian pula kedekatannya dengan-Nya di
surga, serta berdiri di hadapan-Nya tanpa kaif.
[Kitab
al Fiqhul akbr. Hal. 67].
Imam Abu
Hanifah juga mengatakan di dalam bab melihat Allah di akhirat :
وَاللَّهُ
تَعَالَى يُرَى فِي الْآخِرَةِ وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنَّةِ
بِأَعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بِلا تَشْبِيهٍ وَلا كَيْفِيَّةٍ وَلا يَكُونُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَةٌ
Dan
Allah ta'ala akan dilihat di akhirat. Orang-orang yang beriman akan melihatnya,
dan mereka berada di dalam surga dengan mata kepala mereka, tanpa tasybih,
tanpa kaifiyyah dan tidak ada jarak antara Allah dengan ciptaan Nya.
[Kitab
al Fiqhul akbr. Hal. 53].
Kemudian
Imam Nawawi yang mewakili aqidah para ulama kholaf juga menjelaskan hal yang
sama dengan Imam Abu Hanifah tatkala menjelaskan kata dekat yang disandarkan
kepada Allah ta'ala :
وَالْمُرَادُ
بِالدُّنُوِّ هُنَا دُنُوُّ كَرَامَةٍ وَإِحْسَانٍ لَا دُنُوُّ مَسَافَةٍ
وَاللَّهُ تَعَالَى مُنَزَّهٌ عَنِ الْمَسَافَةِ وَقُرْبِهَا.
Yang
dimaksud dengan kedekatan di sini adalah kedekatan yang penuh dengan kemuliaan
dan kebaikan, bukan kedekatan dalam arti jarak fisik. Dan Allah Ta'ala Maha
Suci dari jarak dan kedekatannya dengan jarak.
[Kitab
Syarah Shahih Muslim. Hal. 87. Juz 17].
Dari
sini kita bisa mengetahui bahwa ulama salaf dan ulama kholaf sepakat bahwa
Allah ta'ala suci dari sifat memiliki jarak dengan mahluknya, yang demikian dikarenakan
jarak adalah sifat jisim yang melazimkan meyakini batas dan ujung bagi dzat
Allah. Bukanlah maksudnya meyakini Allah menempel atau menyatu dengan mahluk,
karena itu semua sifat-sifat jisim juga dan Allah ta'ala adalah yang disucikan
dari sifat-sifat tersebut seluruhnya.
Apabila
kita sudah meyakini dzat Allah adalah yang disucikan dari jarak, tentu kita
tidak akan meyakini dzat Allah menetap pada suatu tempat atau arah tertentu
yang semula dengan jarak yang panjang dari mahluk lalu lalu berpindah tempat
karena mendekat untuk memperpendek jarak dengan mahluk. Maha suci Allah dari
sifat demikian.
Termasuk
di dalam sifat al Maji atau al Ityan (datang), di dalamnya juga disucikan dari
makna berpindah atau berubah jarak, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu
Abdil Barr berikut ini :
وَلَيْسَ مَجِيئُهُ حَرَكَةً وَلَا زَوَالًا وَلَا
انْتِقَالًا لِأَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ إِذَا كَانَ الْجَائِي جِسْمًا أَوْ
جَوْهَرًا فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلَا جَوْهَرٍ لَمْ يَجِبْ
أَنْ يَكُونَ مَجِيئُهُ حَرَكَةً وَلَا نَقْلَةً
Dan
kedatangannya bukanlah suatu pergerakan, menghilang, atau perpindahan, karena
hal itu hanya terjadi jika yang datang adalah jisim atau jauhar (substansi). Tatkala
telah dipastikan bahwa Dia bukanlah jisim dan bukan jauhar, maka tidak wajib
ada pergerakan atau perpindahan dalam kedatangannya.
[Kitab at Tamhid. Hal. 137. Juz 7]
Tatkala sudah dipastikan Allah adalah yang disucikan
dari sifat berpindah, bergerak, atau menghilang dari satu tempat menuju tempat
lain, maka tidak diyakini di dalam sifat an Nuzul, al Maji dan al Ityan makna
mendekat dari jarak yang panjang menjadi jarak yang pendek dengan mahluk,
sehingga wajib mentafwdih makna nya kepada Allah atau mentakwilnya dan apa yang
dikatakan oleh Ustadz Firanda bukanlah keyakinan para ulama Ahlussunnah wal
jama'ah dari zaman salaf hingga zaman kholaf.
Mayoritas ulama salaf mentafwidh maknanya, namun ada
sebagian kecil yang mentakwil, salah satunya Imam Ibnu Qutaibah yang
menjelaskan dengan perkataannya sebagai berikut :
وَالنُّزُولُ مِنَّا يَكُوْنُ
بِمَعْنَيَيْنِ:"أَحَدُهُمَا":الانْتِقَالُ عَنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ؛
كَنُزُوْلِكَ مِنَ الْجَبَلِ إِلَى الْحَضِيْضِ، وَمِنَ السَّطْحِ إِلَى الدَّارِ.
"وَالْمَعْنَى الْآخَرُ":إِقْبَالُكَ عَلَى الشَّيْءِ بِالْإِرَادَةِ
وَالنِّيَّةِ......
Dan turun (nuzul) dari kami memiliki
dua makna:
Pertama:
Perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain; seperti turunnya Anda dari gunung
ke dataran rendah, dan dari atap ke rumah.
Makna
yang kedua: Mendekat kepada sesuatu dengan kehendak dan niat…….
وَلَيْسَ يُرَادُ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا،
انْتِقَالُ الْجِسْمِ. وَإِنَّمَا يُرَادُ بِهِ الْقَصْدُ إِلَى الشَّيْءِ
بِالْإِرَادَةِ وَالْعَزْمِ وَالنِّيَّةِ
Yang dikehendaki
di dalan hadits ini bukanlah berpindah dzat (berupa jisim). Dan tentunya makna yang
dikehendaki adalah bermaksud kepada sesuatu dengan kehendak, tekad dan niat.
[Kitab
Ta'wil Mukhtalifilhadits. Hal. 397]
Demikian
jawaban dari kami, mudah-mudahan dengan jawaban ini syubhat menjadi hilang.
0 comments:
Posting Komentar