Kajian Ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf

Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 01 Januari 2025

JAWABAN TERHADAP USTADZ FIRANDA TENTANG MAKNA SIFAT NUZUL

 الرد على الوهابية

Ar Rad 'alal Wahabiyyah

[BANTAHAN TERHADAP WAHABI] (5)


Ustadz Firanda berkata :

Sifat nuzul (turunnya) Allah mirip dengan sifat datangNya Allah yang menunjukkan bahwa Allah mendekat kepada hambaNya. Allah berfirman :

هَل يَنظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِنْ الغَمَامِ وَالمَلائِكَةُ وَقُضِيَ الأَمْرُ

Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan (QS Al-Baqoroh : 210)

هَل يَنظُرُونَ إلا أَنْ تَأْتِيَهُمُ المَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ

Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. (QS Al-An’aam : 158)

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالمَلَكُ صَفَّاً صَفَّاً

Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris (QS Al-Fajr : 22)

Dalam ayat-ayat di atas Allah membedakan antara kedatangan Allah dengan kedatangan malaikat atau kedatangan sebagian ayat-ayat Allah. Ini semua menunjukkan bahwa Allah datang menemui hambaNya, dan tidak boleh ditafsirkan “datangnya Allah” dengan “datangnya malaikat” atau “datangnya ayat-ayat Allah”, karena semuanya telah dirinci dalam ayat-ayat di atas.

Sumber :

https://firanda.com/masukan-ke-4-untuk-al-ustadz-ah-menolak-allah-turun-di-sepertiga-malam-yang-terakhir/

 

Jawaban :

Apabila Ustadz Firanda menisbatkan aqidahnya tersebut kepada para ulama ahlusunnah wal jama'ah dari zaman salaf hingga zaman kholaf, tentu itu merupakan kedustaan dan fitnah yang keji.

Di sana Ustadz Firanda membawa makna sifat an Nuzul kepada makna sifat al Maji atau al Ityan (datang). Padahal tidak ada satupun ulama ahlussunnah wal jama'ah yang melakukan demikian. Terlebih di sana Ustadz Firanda memahaminya dengan makna mendekat yang melazimkan meyakini makna berpindah tempat dari jarak yang jauh menjadi jarak yang pendek dengan mahluk. Maha suci Allah dari sifat demikian. Terkait masalah jarak yang disandarkan kepada Allah, Imam Abu Hanifah mewakili keyakinan para ulama salaf sudah menjelaskan :

مَعْنَى الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ

Makna dekat dan jauh

 

وَلَيْسَ قُرْبُ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا بُعْدُهُ مِنْ طَرِيقِ طُولِ الْمَسَافَةِ وَقَصْرِهَا، وَلَكِنْ عَلَى مَعْنَى الْكَرَامَةِ وَالْهَوَانِ، وَالْمُطِيعُ قَرِيبٌ مِنْهُ بِلا كَيْفَ، وَالْعَاصِي بَعِيدٌ مِنْهُ بِلا كَيْفَ. وَالْقُرْبُ وَالْبُعْدُ وَالْإِقْبَالُ يَقَعُ عَلَى الْمُنَاجِي، وَكَذَلِكَ جِوَارُهُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْوُقُوْفُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِلا كَيْفِيَّةٍ.

Dekatnya Allah dan jauhnya bukanlah berdasarkan jarak panjang dan pendek, tetapi berdasarkan makna kemuliaan dan kehinaan. Orang yang taat dekat darinya tanpa kaif dan orang yang maksiat jauh darinya tanpa kaif. Dekat, jauh dan kedatangan berlaku bagi orang yang munajat, demikian pula kedekatannya dengan-Nya di surga, serta berdiri di hadapan-Nya tanpa kaif.

[Kitab al Fiqhul akbr. Hal. 67].

 

Imam Abu Hanifah juga mengatakan di dalam bab melihat Allah di akhirat :

وَاللَّهُ تَعَالَى يُرَى فِي الْآخِرَةِ وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنَّةِ بِأَعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بِلا تَشْبِيهٍ وَلا كَيْفِيَّةٍ وَلا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَةٌ

Dan Allah ta'ala akan dilihat di akhirat. Orang-orang yang beriman akan melihatnya, dan mereka berada di dalam surga dengan mata kepala mereka, tanpa tasybih, tanpa kaifiyyah dan tidak ada jarak antara Allah dengan ciptaan Nya.

[Kitab al Fiqhul akbr. Hal. 53].

 

Kemudian Imam Nawawi yang mewakili aqidah para ulama kholaf juga menjelaskan hal yang sama dengan Imam Abu Hanifah tatkala menjelaskan kata dekat yang disandarkan kepada Allah ta'ala :

وَالْمُرَادُ بِالدُّنُوِّ هُنَا دُنُوُّ كَرَامَةٍ وَإِحْسَانٍ لَا دُنُوُّ مَسَافَةٍ وَاللَّهُ تَعَالَى مُنَزَّهٌ عَنِ الْمَسَافَةِ وَقُرْبِهَا.

Yang dimaksud dengan kedekatan di sini adalah kedekatan yang penuh dengan kemuliaan dan kebaikan, bukan kedekatan dalam arti jarak fisik. Dan Allah Ta'ala Maha Suci dari jarak dan kedekatannya dengan jarak.

[Kitab Syarah Shahih Muslim. Hal. 87. Juz 17].

 

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa ulama salaf dan ulama kholaf sepakat bahwa Allah ta'ala suci dari sifat memiliki jarak dengan mahluknya, yang demikian dikarenakan jarak adalah sifat jisim yang melazimkan meyakini batas dan ujung bagi dzat Allah. Bukanlah maksudnya meyakini Allah menempel atau menyatu dengan mahluk, karena itu semua sifat-sifat jisim juga dan Allah ta'ala adalah yang disucikan dari sifat-sifat tersebut seluruhnya.

Apabila kita sudah meyakini dzat Allah adalah yang disucikan dari jarak, tentu kita tidak akan meyakini dzat Allah menetap pada suatu tempat atau arah tertentu yang semula dengan jarak yang panjang dari mahluk lalu lalu berpindah tempat karena mendekat untuk memperpendek jarak dengan mahluk. Maha suci Allah dari sifat demikian.

Termasuk di dalam sifat al Maji atau al Ityan (datang), di dalamnya juga disucikan dari makna berpindah atau berubah jarak, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr berikut ini :

وَلَيْسَ مَجِيئُهُ حَرَكَةً وَلَا زَوَالًا وَلَا انْتِقَالًا لِأَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ إِذَا كَانَ الْجَائِي جِسْمًا أَوْ جَوْهَرًا فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلَا جَوْهَرٍ لَمْ يَجِبْ أَنْ يَكُونَ مَجِيئُهُ حَرَكَةً وَلَا نَقْلَةً

Dan kedatangannya bukanlah suatu pergerakan, menghilang, atau perpindahan, karena hal itu hanya terjadi jika yang datang adalah jisim atau jauhar (substansi). Tatkala telah dipastikan bahwa Dia bukanlah jisim dan bukan jauhar, maka tidak wajib ada pergerakan atau perpindahan dalam kedatangannya.

[Kitab at Tamhid. Hal. 137. Juz 7]

 

Tatkala sudah dipastikan Allah adalah yang disucikan dari sifat berpindah, bergerak, atau menghilang dari satu tempat menuju tempat lain, maka tidak diyakini di dalam sifat an Nuzul, al Maji dan al Ityan makna mendekat dari jarak yang panjang menjadi jarak yang pendek dengan mahluk, sehingga wajib mentafwdih makna nya kepada Allah atau mentakwilnya dan apa yang dikatakan oleh Ustadz Firanda bukanlah keyakinan para ulama Ahlussunnah wal jama'ah dari zaman salaf hingga zaman kholaf.

Mayoritas ulama salaf mentafwidh maknanya, namun ada sebagian kecil yang mentakwil, salah satunya Imam Ibnu Qutaibah yang menjelaskan dengan perkataannya sebagai berikut :

وَالنُّزُولُ مِنَّا يَكُوْنُ بِمَعْنَيَيْنِ:"أَحَدُهُمَا":الانْتِقَالُ عَنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ؛ كَنُزُوْلِكَ مِنَ الْجَبَلِ إِلَى الْحَضِيْضِ، وَمِنَ السَّطْحِ إِلَى الدَّارِ. "وَالْمَعْنَى الْآخَرُ":إِقْبَالُكَ عَلَى الشَّيْءِ بِالْإِرَادَةِ وَالنِّيَّةِ......

Dan turun (nuzul) dari kami memiliki dua makna:
Pertama: Perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain; seperti turunnya Anda dari gunung ke dataran rendah, dan dari atap ke rumah.
Makna yang kedua: Mendekat kepada sesuatu dengan kehendak dan niat…….

وَلَيْسَ يُرَادُ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا، انْتِقَالُ الْجِسْمِ. وَإِنَّمَا يُرَادُ بِهِ الْقَصْدُ إِلَى الشَّيْءِ بِالْإِرَادَةِ وَالْعَزْمِ وَالنِّيَّةِ

Yang dikehendaki di dalan hadits ini bukanlah berpindah dzat (berupa jisim). Dan tentunya makna yang dikehendaki adalah bermaksud kepada sesuatu dengan kehendak, tekad dan niat.

[Kitab Ta'wil Mukhtalifilhadits. Hal. 397]

 

Demikian jawaban dari kami, mudah-mudahan dengan jawaban ini syubhat menjadi hilang.

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah
Fiqih bermadzhab Syafi'iy, aqidah bermadzhab Asy'ari, Tasawuf bermadzhab Imam Ghazali