الْمُقَـدِّمَةُ
Muqoddimah
اِعْلَمْ وَفَّقَكَ اللهُ تَعَالَى أَنِّيْ لَمَّا تتبَعْتُ مَذْهَبَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى رَأَيْتُهُ رَجُلًا كَبيْرَ الْقَدْرِ فِي الْعُلُوْمِ، قَدْ بالغ رحمة الله عَلَيْهِ فِي النَّظْرِ فِيْ عُلُوْمِ الْفِقْهِ وَمَذْهَبِ الْقُّدَمَاءِ، حَتَّى لَا تَأْتِيْ مَسْأَلَةٌ إِلَّا وَلَهُ فِيْهَـا نَصٌّ أَوْ تَنْبِيْهٌ إِلَّا أَنَّهُ عَلَى طَرِيْقِ السَّلَفِ، فَلَمْ يُصَنِّفْ إِلَّا الْمَنْقُوْلُ
Ketahuilah !..
Semoga Allah ta'ala memberi mu taufiq.. Sesungguhnya tatkala aku mengikuti
madzhab Imam Ahmad rahimahullah ta'ala, aku melihat nya sebagai sosok yang
sangat menguasai macam-macam disiplin ilmu agama. Beliau rahmatullahi 'alaihi
telah mencapai puncak keilmuan di dalam ilmu-ilmu fiqih dan madzhab ulama
terdahulu sehingga tidak datang suatu masalah, kecuali baginya sudah ada di
dalamnya nash penjelasan atau peringatan, hanya saja beliau menempuh metode
salaf sehingga tidak menulis kitab kecuali hanya teks yang dikutip turun
temurun hingga sampai ke generasinya.
فَرَأَيْتُ مَذْهَبَهُ خَالِيًا مِنَ التَّصَانِيْفِ الَّتِيْ كَثُرَ جِنْسُهَا عِنْدَ الْخُصُوْمِ فَصَنَفْتُ تَفَاسِيْرَ مطولة مِنْهَا وَالْمُغْنِيْ مُجَلِّدَاتٍ وَزَادُ الْمَسِيْرِ ،وَ تَذْكِرَةُ الْاَ رِيْبِ وَغَيْرَ ذَلِكَ
.
Karena itu aku
melihat madzhab Hanbali ini tidak memiliki karya-karya yang padahal jenis karya-karya semacam itu sangat
banyak ditulis oleh musuh-musuh mereka.
Maka aku menulis beberapa kitab tafsir yang cukup besar, di antaranya; al-Mughni dalam
beberapa jilid, Zad al-Masir, Tadzkirah al- Arib, dan lainnya.
وَفِي الْحَدِيْثِ
: كِتَبًا مِنْهَا جَامِعُ الْمَسَانِيْدِ وَالْحَدَائِقُ وَنَفْيُ النَّقْلِ»، وَكِتَبًا كَثِيْرَةً فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ، وَمَا رَأَيْتُ لَهُمْ تَعْلِيْقَةً فِي الْخِلَافِ إِلَّا أَنَّ الْقَاضِيَ أَبَا يَعْلَى قَالَ
: كُنْتُ أَقُوْلُ مَا لِأَهْلِ الْمَذَاهِبِ يَذْكُرُوْنَ الْخِلَافَ مَعَ خُصُوْمِهِمْ وَلَا يَذْكُرُوْنَ أَحْمَدَ ثُمَّ عَذَرْتُهُمْ إِذْ لَيْسَ لَنَا تَعْلِيْقَةٌ فِي الْفِقْهِ قَالَ
: فَصَنَّفْتُ لَهُمْ تَعْلِيْقَةً
.
Dalam bidang hadits aku menuliskan beberapa kitab, di antaranya : Jami al-Masanid, al-Hada-iq, Naqiy an-Naql, dan kitab yang cukup banyak dalam al-Jarh Wa at-Ta’dil. Aku juga mendapati madzhab Hanbali ini tidak memiliki catatan-catatan tambahan (ta’liqat) terhadap karya-karya terdahulu dalam masalah-masalah khilafiyyah, kecuali ada satu orang saja, yaitu al-Qadli Abu Ya’la yang dalam hal ini ia berkata: “Aku selalu mengutip berbagai pendapat dari orang-orang luar madzhab Hanbali yang biasa menyebutkan perbedaan pendapat dalam madzhab mereka masing-masing ketika mereka berdebat dengan lawan-lawan mereka, namun sedikitpun mereka tidak pernah menyinggung pendapat dalam madzhab Hanbali. Aku akui di hadapan mereka, memang benar kami dalam madzhab Hanbali tidak memiliki ta’liq dalam masalah-masalah Fiqih. Oleh karena itu maka aku menuliskan beberapa ta’liq”.
قُلْتُ : وَتَعْلِيْقَتُهُ لَمْ يُحَقِّقْ فِيْهَا بَيَانَ الصِّحَّةِ وَالطَّعْنِ فِيْ الْمَرْدُوْدِ،
وَذَكَرَ فِيْهَا أَقْيِسَةً طَرْدِيَّةً
.
Aku (Ibnul
Jawzi) katakan: “Ironisnya tulisan-tulisan ta’liq Abu Ya’la ini sedikitpun
tidak didasarkan kepada penjelasan pendapat yang benar, juga tidak dengan
menjelaskan alasan mendasar dalam membantah faham-faham yang tidak sependapat,
di samping itu di dalamnya ia juga menyebutkan qiyas-qiyas yang rusak”.
وَرَأَيْتُ مَنْ يُلْقِي الدَّرْسَ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ يَفْزَعُ إِلَى تَعْلِيْقَةِ الْاِصْطِلَامِ أَوْ تَعْلِيْقَةِ أَسْعَد، أَوْ تَعْلِيْقَةُ الْعَامِلِي، أَوْ تَعْلِيْقَةِ الشَّرِيْفَةِ وَيَسْتَعِيْرُ مِنْهَا اسْتِعَارَات .
Aku melihat ada
beberapa orang dalam madzhab kita ini (madzhab Hanbali) yang kadang merujuk
kepada ta’liq-ta’liq; seperti ta’liq al-Ishthilam, ta’liq As’ad, ta’liq
al-‘Amili, dan ta’liq asy-Syarif, bahkan mereka sering mengutip dan meminjam
berbagai istilah yang dipergunakan dalam ta’liq -ta’liq tersebut.
فَصَنَّفْتُ لَهُمْ تَعَالِيْقَ مِنْهَا كِتَابُ الْإِنْصَافِ فِيْ مَسَائِلِ الْخِلَافِ وَمِنْهُ جَنَّةُ النَّظْرِ وَجَُنَّةُ الفِطْرِ، وَمِنْهَا عُمْدَةُ الدَّلَائِلِ فِيْ مَشْهُوْرِ الْمَسَائِلِ
Maka aku
menuliskan banyak ta’liq dalam berbagai kitab terkait berbagai masalah di dalam
madzhab ini, di antaranya kitab al-Inshaf Fi Masa-il al-Khilaf, kitab Jannah
al- Nazhar Wa Junnah al-Fithr, dan kitab ‘Umdah ad-Dalâ-il Wa Masyhur
al-Masa-il.
ثُمَّ رَأَيْتُ جَمْعَ أَحَادِيْثِ التَّعْلِيْقِ الَّتِيْ يَحْتَجُّ بِهَا أَهْـلُ الْمَذَاهِب، وَبَيَنْتُ تَصْحِيْحَ الصَّحِيْحِ ، وَطُعِنَ الْمَطْعُوْنَ فِيْهِ وَعَمِلْتُ كِتَاباً فِي الْمَذَاهِبِ أَدْخَلْتُهَا فِيْهِ، وَسَمَّيْتُهُ الْبَازَ الْأَشْهَبَ الْمُنْقِضَ عَلَى مُخَالِفِي الْمَذْهَبِ، وَصَنَفْتُ فِي الْفُرُوْعِ كِتَابَ الْمَذْهَبِ فِي الْمَذْهَبِ وَكِتَابَ مَسْبُوْكِ الذَّهَبِ وَكِتَابَ الْبَلَغَةِ وَكِتَابَ مِنْهَاجِ الْوُصُوْلِ إِلَى عِلْمِ الْأُصُوْلِ، وَقَدْ بَلَغْتُ مُصَنَّفَاتِيْ مِائَتَيْنِ وَخَمْسِيْنَ مُصَنَّفًا
Kemudian aku melihat kumpulan-kumpulan hadits ta’liq yang dapat dijadikan dalil oleh para penganut madzhab Hanbali ini, di dalamnya aku jelaskan setiap riwayat yang sahih dari yang cacat, lalu hasil tulisan itu semua aku jadikan sebuah kitab yang berjudul al-Baz al-Asyhab al-Munqidl Ala Mukhalif al-Madzhab. Kemudian dalam masalah-masalah furu’ aku menuliskan kitab dengan judul al-Mudzhah-hab Fi al- Madzhab, kitab Masbuk al-Dzahab, dan Kitab al-Bulghah. Dalam masalah Ushul aku menulis buku dengan judul Minhaj al-Wushul Ila ‘Ilm al-Ushul. Jumlah keseluruhan karya yang telah aku tulis sebanyak dua ratus lima puluh kitab.
وَرَأَيْتُ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ تَكَلَّمَ فِي الْأُصُوْلِ بِمَا لَا يَصْلُحُ وَانْتَدَبَ لِلتَّصْنِيْفِ ثَلَاثَةً : أَبُوْ عَبْدِ اللهُ بْنُ حَامِدٍ وَصَاحِبُهُ الْقَاضِي وَابْنُ الزَّاغُوْنِيُّ فَصَنَّفُوْا كُتُبًا شَانُوْا بِهَا الْمَذْهَبَ،
Dan aku melihat
sebagian dari para sahabat kami yang berkata di dalam masalah ushul (aqidah)
dengan perkataan yang ngawur, ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan
masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al- Qadli Abu Ya’la (murid Abu
Abdillah bin Hamid), dan Ibnu az-Zaghuni. Mereka menulis sejumlah kitab,
merusak madzhab hambali dengan kitab itu.
وَرَأَيْتُهُمْ قَدْ نَزَلُوْا إِلَى مَرْتَبَةِ الْعَوَامِ
Aku melihat
mereka turun menjadi tingkatan orang awam.
فَحَمِلُوْا الصِّفَاتِ عَلَى مُقْتَضَى الْحِسِّ فَسَمِعُوْا أَنَّ اللَهتَعَالَى خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ، فَأَثْبَتُوْا لَهُ صُوْرَةً وَوَجْهًا زَائِدًا عَلَى الذَّاتِ ، وَعَيْنَيْنِ وَفَمًّا وَلَهْوَاتُ وَأَضْرَاسًا وَأَضْوَاءً لِوَجْهِهِ هِيَ السُّبُحَاتُ وَيَدَيْنِ وَأَصَابِعِ وَكَفًّا وخِنْصَرًا وَإِبْهَامًا وصَدْرًا وَفَخْذًا وَسَاقَيْنِ وَرِجْلَيْنِ
Mereka memahami
sifat-sifat Allah secara indrawi. Mereka mendengar sesungguhnya Allah ta'ala
menciptakan Nabi Adam sesuai bentuknya, lalu mereka menetapkan bentuk dan wajah
sebagai tambahan di atas dzat, dan menetapkan 2 mata, mulut, anak lidah, gigi
geraham dan cahaya-cahaya bagi wajahnya, yang demikian dikatakan dengan lafadz ُالسُّبُحَات (As Subuhat), dan menetapkan 2 tangan,
jari jemari, telapak tangan, jari kelingking, jempol, dada, paha, 2 betis dan 2
kaki.
وَقَالُوْا : مَا سَمِعْنَا بِذِكْرِ الرَّأْسِ
Dan mereka berkata : Kami tidak mendengar penuturan kepala.
وَقَالُوْا : يَجُوْزُ أَنْ يَمَسَّ وَيُمَسَّ، وَيَدْنِي الْعَبْدُ مِنْ ذَاتِهِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ : وَيَتَنَفَّسُ ثُمَّ يُرْضُوْنَ الْعَوَامَ بِقَوْلِهِمْ
: لَا كَمَا يُعْقَلُ.
Mereka berkata juga : Allah bisa menyentuh mahluk dan disentuh mahluk, seorang hamba bisa dekat dari dzat Nya, dan sebagian dari mereka berkata : Allah bernafas, kemudian mereka membuat orang awam setuju dengan perkataan mereka : Tidak seperti yang terbayangkan di dalam akal pikiran.
وَقَدْ أَخَذُوْا بِالظَّاهِرِ فِي الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ فَسَمُّوْهَا بِالصِّفَاتِ تَسْمِيَّةً مُبْتَدِعَةً لَا دَلِيْلَ لَهُمْ فِيْ ذَلِكَ مِنَ النَّقْلِ وَلَا مِنَ الْعَقْلِ وَلَمْ يَلْتَفِتُوْا إِلَى النُّصُوْصِ الصَّارِفَةِ عَنِ الظَّوَاهِرِ إِلَى الْمَعَانِي الْوَاجِبَةِ لِله تَعَالَى وَلَا إِلَى إِلْغَاءِ مَا يُوْجِبُهُ الظَّاهِرُ مِنْ سِمَاتِ الْحُدُوْثِ وَلَمْ يَقْنَعُوْا بِأَنْ يَقُوْلُوْا صِفَةَ فِعْلٍ حَتَّى قَالُوْا صِفَةَ ذَاتٍ ثُمَّ لَمَّا أَثْبَتُوْا أَنَّهَا صِفَةُ ذَاتٍ قَالُوْا : لَا نَحْمَلُهَا عَلَى تَوْجِيْهِ اللُّغَةِ مِثْلَ يَدٍ عَلَى نِعْمَةٍ وَقُدْرَةٍ وَمَجِيْءٍ وَإِتْيَانٍ عَلَى مَعْنَى بِرٍّ وَلَطْفٍ وَسَاقٍ عَلَى شِدَّةٍ بَلْ قَالُوْا
: نَحْمَلُهَا عَلَى ظَوَاهِرِهَا الْمُتَعَارِفَةِ وَالظَّاهِرُ هُوَ الْمَعْهُوْدُ مِنْ نَعُوْتِ الْأَدَمِيِّيْنَ وَالشَّيْءُ إِنَّمَا يُحْمَلُ عَلَى حَقِيْقَةِ إِذَا أَمْكَنَ ثُمَّ يَتَحَرَّجُوْنَ مِنَ التَّشْبِيْهِ وَيَأْنَفُوْنَ مِنْ إِضَافَتِهِ إِلَيْهِمْ وَيَقُوْلُوْنَ نَحْنُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَكَلَامُهُمْ صَرِيْحٌ فِي التَّشْبِيْهِ وَقَدْ تَبِعَهُمْ خَلْقٌ مِنَ الْعَوَامِ
Mereka memaknai dengan makna hakikat dzahir (makna tekstualis/literal) di dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah. Lalu mereka menamakannya "sifat", penamaan yang ditetapkan ahli bid'ah. Sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan. Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”. Kemudian setelah mereka menetapkan semua itu sebagai sifat Dzat-Nya, mereka berkata: “Kita tidak boleh memahami itu semua dalam makna arahan bahasa, seperti “al-Yad” menjadi “an-Ni’mah” (kenikmatan) dan “al-Qudrah” (kekuasaan), “al-Majî’” dan “al-Ityan” menjadi “al-Birr” (karunia dan kebaikan) atau “al-Luthf” (pertolongan), dan atau “as-Saq” menjadi “asy-Syiddah” (kesulitan)”. Mereka berkata: “Kita memberlakukan kandungan semua teks tersebut dalam makna dzahirnya”. Padahal makna zahir teks-teks tersebut adalah sifat-sifat yang berlaku pada manusia. Benar, sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna zahirnya jika itu dimungkinkan (artinya jika tidak ada perkara yang menuntutnya untuk ditakwil), namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam makna dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis). Ironisnya, dan ini sangat mengherankan, mereka mengaku sebagai orang-orang yang jauh dari keyakinan tasybîh, bahkan mereka sangat marah jika akidah tasybîh tersebut disandangkan kepada mereka, mereka berkata: “Kami adalah Ahlussunnah”, sedangkan perkataan mereka jelas menyerupakan Allah dengan mahluk, dan sejumlah orang awam mengikuti mereka.
وَقَدْ نَصَحْتُ التَّابِعَ وَالْمَتْبُوْعِ فَقُلْتُ لَهُمْ
: يَا أَصْحَابَنَا أَنْتُمْ أَصْحَابُ نَقْل وَإِمَامُكُمْ الْأَكْبَرُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَقُوْلُ وَهُوَ تَحْتَ السياط كَيْفَ أَقُوْلُ مَا لَمْ يُقَلْ فَإِيَّكُمْ أَنْ تَبْتَدِعُوْا فِيْ مَذْهَبِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ ثُمَّ قُلْتُمْ فِي الْأَحَادِيْثِ تُحْمَلُ عَلَی ظَاهِرِهَا وَظَاهِرُ الْقدم الْجَارِحَةُ فَإِنَّهُ لَمَّا قِيْلَ فِيْ عِيْسَی رُوْحُ اللهِ اعْتَقَدَتْ النَّصَارَی أَنَّ لِلهِ صِفَةٌ هُوَ رُوْحٌ وَلَجَتْ فِيْ مَرْيَمَ وَمَنْ قَالَ اسْتَوَی بِذَاتِهِ فَقَدْ أَجْرَاهُ مَجْرَی الْحِسِّيَّاتِ وَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا يهمل مَا يُثْبِتُ بِهِ الْأََصْلُ وَهُوَ الْعَقْلُ فَإِنَّا بِهِ عَرَفْنَا اللهَ تَعَالَی
Aku telah menasehati mereka semua; baik orang-orang yang diikuti maupun mereka yang mengikuti. Aku katakan kepada mereka: “Wahai para sahabat ku, kalian adalah para pengikut teks-teks syari’at (Ash-hab an-Naql). Imam besar kalian; Ahmad bin Hanbal di bawah pukulan-pukulan cambuk berkata: “Bagaimana mungkin aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya?”. Karena itu kalian jangan membuat ajaran-ajaran aneh dalam madzhab suci ini yang nyata-nyata bukan bagian darinya. Kalian berkata dalam mensikapi hadits-hadist mutasyâbihat: “Kita harus pahami semua teks itu dalam makna zahirnya”, padahal sesungguhnya makna zahir dari “qadam” adalah salah satu anggota badan, Lihat, ketika Nabi Isa disebut sebagai “Ruh Allah”; orang-orang Nasrani meyakininya dalam makna zahir bahwa Allah adalah ruh yang telah menyatu dengan Maryam. Lalu ada lagi sebagian dari kalian yang berkata: Istawa dengan dzat Nya padahal jelas tambahan kata "dengan dzat Nya" seperti ini sama dengan memahami teks tersebut secara indrawi. Sesungguhnya dalam menyikapi teks-teks mutasyabihat semacam ini kita tidak boleh menyampingkan potensi akal sehat yang merupakan landasan utama dalam memahami setiap teks. Dengan akal inilah kita mengenal Allah.
فَلَوْ أنكر قُلْتُمْ : نَقْرَأُ الْأَحَادِيْثَ وَنَسْكُتُ مَا أَنْكَرَ عَلَيْكُمْ أَحَدٌ إِنَّمَا حَمَلْكُمْ إِيَّاهَا عَلَى ظَاهِرٍ قَبِيْحٍ فَلَا تَدْخُلُوْا فِيْ مَذْهَبِ هَذَا الرَّجُلِ الصَّالِحِ السَّلَفِيِّ مَا لَيْسَ مِنْهُ وَلَقَدْ كَسَيْتُمْ هَذَا الْمَذْهَبَ شَيْئًا قَبِيْحًا حَتَّى صَارَ لَا يُقَالُ حَنْبَلِيُّ إِلَّا مُجَسِّمُ ثُمَّ زَيَّنْتُمْ مَذْهَبَكُمْ أَيْضًا بِالْعصبِيَّةِ لِيَزِيْدِ بْنِ مُعَاوِيَّةٍ وَلَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ صَاحِبَ الْمَذْهَبِ أَجَازَ لَعْنَتُهُ وَقَدْ كَانَ أَبُوْ مُحَمَّدٍ التَّمِيْمِيُّ يَقُوْلُ فِيْ بَعْضِ أَئِمَّتِكُمْ
: لَقَدْ شَانَ الْمَذْهَبَ شَيْئًا قَبِيْحًا لَا يُغْسَلُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Seandainya kalian berkata: “Kita membaca hadits-hadits tersebut, dan kita berdiam diri dari mengungkit makna-maknanya”, maka tentu kalian tidak akan diingkari oleh siapapun. Sesungguhnya yang buruk dari kalian itu ialah bahwa kalian mengatakan : “Teks-teks itu semua harus dipahami dalam makna-makna zahirnya”. Janganlah kalian memasukan ajaran-ajaran aneh ke dalam madzhab orang salaf yang saleh ini (Ahmad bin Hanbal); yang nyata-nyata itu semua bukan dari ajarannya. Kalian telah merusak madzhab ini dengan “bungkus” yang buruk, hingga tidak disebut siapapun seorang yang bermadzhab Hanbali kecuali ia dicap sebagai Mujassim (seorang berkeyakinan sesat bahwa Allah sebagai benda, materi, fisik). Selain itu kalian juga telah merusak madzhab ini dengan sikap fanatik terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Padahal kalian sendiri tahu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, perintis madzhab ini membolehkan melaknat Yazid. Bahkan Syekh Abu Muhammad at-Tamimi sampai berkata tentang salah seorang imam kalian (yaitu Abu Ya’la al-Mujassim): “Dia (Abu Ya’la) telah menodai madzhab ini dengan noda yang sangat buruk, yang noda tersebut tidak akan bisa dibersihkan hingga hari kiamat”.
فَصْلٌ
Ini
adalah satu fasal
قُلْتُ
: وَقَدْ وَقَعَ غَلَطُ الْمُصَنِّفِيْنَ الَّذِيْنَ ذَكَرْتُهُمْ فِيْ سَبْعَةِ أَوْجَهٍ :
Aku
(Ibnul Jauzi) berkata : Sungguh para penyusun kitab yang sudah aku tuturkan itu
telah melakukan kesalahan di dalam 7 hal :
أَحَدُهَا أَنَّهُمْ سَمُّوْا أَخْبَارَ أَخْبَارَ الصِّفَاتِ وَإِنَّمَا هِيَ إِضَافَاتٌ
1.
Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai
sifat-sifat-Nya, padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan
penyandaran saja (al-Idlafah).
_Qultu
:_
Artinya
penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan
sesuatu tersebut atau biasa disebut idhafat at tasyrif.
وَلَيْسَ كُلُّ مُضَافٍ صِفَةٌ فَإِنَّهُ قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَی : وَنُفِخَتْ فِيْهِ مِنْ رُوْحِي وَلَيْسَ لِله صِفَةٌ تُسَمَّی رُوْحًا
Sementara,
tidak setiap bentuk Idlafah itu dalam pengertian sifat, contohnya firman Allah
: Telah ditiupkan ke dalamnya sebagian dari ruh ku. Ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah
memiliki sifat yang disebut dengan ”ruh”
_Qultu
:_
Yang
dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah.
وَقَدْ اِبْتَدَعَ مَنْ سَمَّی الْمُضَافَ صِفَةً
Sungguh
telah melakukan kebid'ahan yang sesat orang yang menamakan idhafah adalah
sifat.
الثَّانِي أَنَّهُمْ قَالُوْا إِنَّ هَذِهِ الْأَحَادِيْثِ مِنَ الْمُتَشَابِهِ الَّذِيْ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللهُ تَعَالَی ثُمَّ قَالُوْا نَحْمَلُهَا عَلَی ظَوَاهِرِهَا فَوَاعجبًا مَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللهُ أَيُّ ظَاهِرٍ لَهُ فَهَلْ ظَاهِرُ الْاِسْتِوَاءِ إِلَّا الْقُعُوْدُ وَظَاهِرُ النُّزُوْلِ إِلَّا الْاِنْتِقَالُ
2. Mereka selalu
saja berkata: ”Hadits-hadits yang kita bicarakan ini adalah hadits- hadits
mutasyabihat yang maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah
saja”, kemudian mereka berkata: ”Kita harus memahami hadits-hadits tersebut
sesuai makna dzahirnya”. Kata-kata seperti ini adalah ungkapan yang sangat
aneh, mereka mengatakan ”Makna-maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali
oleh Allah saja”, lantas makna dzohir yang mana bagi Allah. Bukan kah tidak ada
makna dzahir ”Istawâ” kecuali duduk, dan tidak ada makna dzahir ”nuzul” kecuali
pindah dengan bergerak dari satu tempat (atas) ke tempat yang lain (bawah).
_Qultu
:_
Lalu
apakah pantas jika Allah disifati dengan sifat-sifat benda semacam ini? Allah
maha suci dari apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang
agung.
الثَّالِثُ أَنَّهُمْ أَثْبَتُوْا لِله تَعَالَی صِفَاتٍ وَصِفَاتُ الْحَقِّ لَا تُثْبَتُ إِلَّا بِمَا يُثْبِتُ بِهِ الذَّاتُ مِنَ الْأَدِلَّةِ الْقَطْعِيَّةِ وَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ الْمُجَسِّمُ مَنْ رَدَّ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْأَخْبَارُ الثَّابِتَةُ فَهَلْ يَكْفُرُ عَلَی وَجْهَيْنِ وَقَالَ غَالِبُ أَصْحَابِنَا عَلَی تَكْفِيْرِ مَنْ خَالَفَ الْأَخْبَارَ فِي السَّاقِ وَالْقَدَمِ وَالْأَصَابِعِ وَالْكَفِّ وَنَظَائِرِ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَتْ أَخْبَارٌ آحَادٌ لِأَنَّهَا عِنْدَنَا تُوْحِبُ الْعِلْمَ قُلْتُ هَذَا قَوْلٌ مَنْ لَا يَفْهَمُ الْفِقْهَ وَالْعَقْلَ
3. Mereka telah menetapkan sifat-sifat bagi Allah sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, sedangkan sifat yang haq tidak lah ditetapkan kecuali yang ditetapkan oleh Allah dari dalil-dalil qath'iy (jelas, tidak ada potensi multi tafsir). Ibnu Hamid Al Mujassim berkata : Orang yang menolak sifat-sifat yang terdapat di dalam hadits-hadits sohih, apakah kafir ? ada dua pendapat, dan dia berkata : Umumnya para sahabat kami mengkafirkan orang yang menyalahi hadits-hadits yang menuturkan sifat betis, telapak kaki, jari jemari, telapak tangan dan semisal yang demikian sekalipun hadits ahad, karena menurut kami hadits ahad mewajibkan ilmu. Aku (Ibnul Jauzi) berkata : Ini adalah perkataan orang yang tidak faham fiqih dan tidak memiliki akal sehat.
الرَّابِعُ أَنَّهُمْ لَمْ يُفَرِّقُوْا فِي الْأَحَادِيْثِ بَيْنَ خَبَرٍ مَشْهُوْرٍ كَقَوْلِهِ
يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَی السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَبَيْنَ حَدِيْثٍ لَا يَصِحُّ كَقَوْلِهِ رَأَيْتُ رَبِّي فِيْ أَحْسَنِ صُوْرَةٍ بَلْ أَثْبَتُوْا بِهَذَا صِفَةً وَبِهَذَا صِفَةً
4. Dalam menetapkan sifat-sifat Allah
mereka tidak pernah membedakan antara hadits-hadits yang masyhur; seperti sabda
Rasulullah ﷺ : Tuhan kita turun (maksudnya para malaikatnya) ke langit dunia. Dan
diantara hadits yang tidak shahih seperti sabda Rasulullah ﷺ : Aku melihat
tuhan ku di dalam sebaik-baik bentuk. Bahkan mereka menetapkan dengan ini sifat
(maksudnya sifat turun dengan makna dzahir dan dengan ini sebagai sifat
(maksudnya sifat bentuk dengan makna dzahir).
الْخَامِسُ أَنَّهُمْ لَمْ يُفَرِّقُوْا بَيْنَ حَدِيْثٍ مَرْفُوْعٍ إِلَی النَّبِيِّ ﷺ وَبَيْنَ حَدِيْثٍ مَوْقُوْفٍ عَلَی صَاحَبِيِّ أَوْ تَابِعِيِّ فَأَثْبَتُوْا بِهَذَا مَا أَثْبَتُوْا بِهَذَا
5. Dalam
menetapkan sifat-sifat Allah mereka tidak membedakan antara hadits marfu’ (yang
langsung berasal dari Rasulullah ﷺ) dengan hadits mauquf (yang berasal dari
pernyataan seorang sahabat,atau yang berasal dari pernyataan seorang tabi’in),
lalu mereka menetapkan dengan ini apa apa
yang mereka tetapkan dengan ini.
السَّادِسُ أَنَّهُمْ تَأَوَّلُوْا بَعْصَ أَلْفَاظٍ فِيْ مَوْضِعٍ وَلَمْ يَتَأَوَّلُوْ فِيْ مَوْضِعٍ آخَرٍ
6. Dalam
memahami sifat-sifat Allah, terhadap beberapa teks mereka melakukan takwil
sementara terhadap beberapa teks lainnya mereka tidak memakai takwil
_Qultu :_
Artinya
pemahaman mereka hanya didasarkan kepada hawa nafsu bukan dengan kaidah ilmu
ushul.
كَقَوْلِهِ مَنْ أَتَانِيْ بِمَشي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً قَالُوْا هَذَا ضَرْبُ مَثَالٍ لِلْإِنْعَامِ
Seperti sabda
Rasulullah ﷺ di dalam hadits qudsi : ”Siapa mendatangi-Ku dengan berjalan maka
Aku (Allah) akan mendatanginya dengan lari kecil”
_Qultu :_
Makna literal
hadits ini tidak boleh kita ambil, makna zahirnya seakan Allah berlari. Mereka
berkata : ini adalah kiasan untuk memberi nikmat.
_Qultu :_
Mereka mentakwil
hadits itu, tapi di dalam hadits lainnya tidak dimemperbolehkan mentakwil.
وَرُوِيَ عَنْ عُمَر بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ أَنَّهُ قَالَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ جَاءَ اللهُ بِمَشي فَقَالُوْا نَحْمَلُهُ عَلَی ظَاهِرِهِ قُلْتُ فواعجبًا مِمَّنْ تَأَوَّلَ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ وَلَمْ يَتَأَوَّلْ كَلَامَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ
Sementara hadits
yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, sesungguhnya beliau berkata : Apa
bila hari kiamat sudah tiba maka Allah akan datang dengan berjalan kaki. Lalu
mereka berkata : Kami memahaminya berdasarkan makna dzahirnya. Aku (Ibnul
Jauzi) berkata : Sungguh sangat membingungkan orang yang mentakwil satu hadits
Rasulullah ﷺ, tapi tidak mentakwil perkataan Umar bin Abdul Aziz.
السَّابِعُ أَنَّهُمْ حَمَلُوْا الْأَحَادِيْثَ عَلَی مُقْتَضَی الْحِسِّ فَقَالُوْا يَنْزِلُ بِذَاتِهِ وَيَنْتَقِلُ وَيَتَحَرَّكُ ثُمَّ قَالُوْا لَا كَمَا يُعْقَلُ فَغَالَطُِوْا مَنْ يَسْمَعُ فَكَابَرُوْا الْحِسَّ وَالْعَقْلَ فَحَمَلُوْا الْأَحَادِيْثَ عَلَی الْحِسِّيَّاتِ
7. Mereka
memahami kandungan hadits-hadits mutasyabihat dalam makna indrawi. Mereka
berkata : Allah turun dengan dzat Nya, berpindah dan bergerak, kemudian mereka
berkata : Tidak seperti yang terbayangkan oleh akal. Dengan perkataannya itu
mereka mengelabui orang-orang awam. Padahal kesimpulan mereka ini jelas telah menyalahi
akal sehat, mereka memahami hadits berdasarkan sisi indrawi yang merupakan
sifat benda.
فَرَأَيْتُ الرَّدَّ عَلَيْهِمْ لَازِمًا لِئَلَّا يُنْسَبُ الْإِمَامُ إِلِیَ ذَلِكَ وَإِذَا سَكَتُّ نُسِبْتُ إِلَی اعْتِقَادِ ذَلِكَ وَلَا يُهَوِّلُنِيْ أَمْرٌ عَظِيْمٌ فِي النُّفُوْسِ لِأَنَّ الْعَمَلَ عَلَی الدَّلِيْلِ وَخُصُوْصًا فِيْ مَعْرِفَةِ الْحَقِّ لَا يَجُوْزُ فِيْهِ التَّقْلِيْدُ
aku melihat bahwa menuliskan buku bantahan terhadap kesesatan mereka adalah sebuah keharusan, supaya keyakinan-keyakinan buruk semacam itu tidak lagi disandarkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Dan apabila aku berdiam diri maka mereka akan mengatakan bahwa akidah buruk yang mereka yakini itu merupakan keyakinan diriku. Dan tidak ada perkara besar yang menakuti ku karena amal itu harus berdasarkan dalil, khusus di dalam masalah-masalah akidah yang menyangkut pengetahuan kita kepada Allah tidak boleh di dalamnya taqlid.
فَصْلٌ
Ini adalah satu
fashal.
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ مَا الَّذِيْ دَعَی رَسُوْلُ اللهِ ﷺ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِأَلْفَاظٍ مُوَهِّمَةٍ لِلتَّشْبِيْهِ ؟ قُلْنَا إِنَّ الْخَلْقَ غَلَبَ عَلَيْهِمُ الْحِسُّ فَلَا يَكَادُوْنَ يَعْرِفُوْنَ غَيْرَهُ وَسَبَبُهُ الْمُجَانَسَةُ لَهُمْ فِي الْحَدِيْثِ فَعَبْدُ قَوْمِ النُّجُوْمِ وَأَضَافُوْا إِلَيْهَا الْمَنَافِعَ وَالْمَضَارَ وَعَبْدُ قَوْمِ النُّوْرِ وَأَضَافُوْا إِلَيْهِ الْخَيْرَ وَأَضَافُوْا الشَّرَّ إِلَی الظُّلمَةِ وَعَبْدُ قَوْمِ الْمَلَائِكَةِ وَقَوْمِ الشَّمْسِ وَقَوْمِ عِيْسَی وَقَوْمِ عُزَيْر وَعَبْدُ قَوْمِ الْبَقَرِ وَالْأَكْثَرُوْنَ وَالْأَصْنَامُ فآننت نُفُوْسهم بِالْحِسِّ الْمَقْطُوْعِ بِوُجُوْدِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ قَوْمُ سَيِّدِنَا مُوْسَی عَلَيْهِ السَّلَامُ إِجْعَلْ لَنَا إِلَهًا فَلَوْ جَائَتْ الشَّرَائِعُ بِالتَّنْزِيْهِ الْمَحْضِ جَائَتْ بِمَا يُطَابِقُ النَّفْيَ فَلَمَّا قَالُوْا صِفْ لَنَا رَبَّكَ نَزَلَتْ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَلَوْ قَالَ لَهُمْ لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلَا جَوْهَرٍ وَلَا عَرْضٍ وَلَا طَوِيْلٍ وَلَا عَرِيْضٍ وَلَا يَشْغَلُ الْأَمْكِنَةُ وَلَا يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلَا جِهَةٌ مِنَ الْجِهَاتِ السِّتِّ وَلَيْسَ بِمُتَحَرِّكٍ وَلَا سَاكِنٍ وَلَا يُدْرِكُهُ الْإِحْسَاسُ لَقَالُوْا حُدَّ لَنَا النَّفْيُ بِأَنْ تُمَيِّزَ مَا تَدْعُوْنَا إِلَی عِبَادَتِهِ عَنِ النَّفْيِ وَإِلَّا فَأَنْتَ تَدْعُوْ إِلَی عَدَمٍ فَلَمَّا عَلِمَ الْحَقُّ سُبْحَانَهُ ذَلِكَ جَاءَهُمْ بِأَسْمَاءٍ يَعْقِلُوْنَهَا مِنَ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَالْحِلْمِ وَالْغَضَبِ وَبَنَی الْبَيْتَ وَجَعَلَ الْحَجَرَ بِمَثَابَةِ الْيَمِيْنِ الْمُصَافِحَةِ وَجَاءَ بِذِكْرِ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَالْقَدَمِ وَالْاِسْتِوَاءِ وَالنُّزُوْلِ لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ الْإِثْبَاتُ فَهُوَ أَهَمٌّ عِنْدَ الشَّرْعِ مِنَ التَّنْزِيْهِ وَإِنْ كَانَ التَّنْزِيْهُ مِنْهَا وَلِهَذَا قَالَ لِجَارِحَةٍ أَيْنَ اللهُ وَقِيْلَ لَهُ أَيَضْحَكُ رَبُّنَا قَالَ نَعَمْ فَلَمَّا أُثْبَتَ وُجُوْدُهُ بِذِكْرِ صور الْحِسِّيَّاتِ نُفِيَ خِيَالُ التَّشْبِيْهِ بِقَوْلِهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ثُمَّ لَمْ يَذْكُرْ الرَّسُوْلُ الْأَحَادِيْثَ جُمْلَةً وَإِنَّمَا كَانَ يَذْكُرُ الْكَلِمَةَ فِي الْأحْيَانِ فَقَدْ غَلَطَ مَنْ أَلَّفَهَا أَبْوَابًا عَلَی تَرْتِيْبِ صُوْرَةٍ غَلَطًا قَبِيْحًا ثُمَّ هِيَ بِمَجْمُوْعِهَا يَسِيْرَةً وَالصَّحِيْحُ مِنْهَا يَسِيْرُ ثُمَّ هُوَ عَرَبِيُّ وَلَهُ التَّجَوُّزُ أَلَيْسَ هُوَ الْقَائِلُ تَأْتِي الْبَقَرَةُ وَآلِ عِمْرَانَ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ فِرْقَانِ مِنْ طَيْرِ صَافَ وَيُؤْتَی بِالْمَوْتِ فِيْ صُوْرَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ فَيُذْبَحُ
Jika seseorang
berkata : Apakah yang Rasulullah ﷺ dakwahkan berkata dengan kata-kata yang bisa
menjerumuskan ke dalam aqidah menyerupakan Allah dengan mahluk ?
Kita jawab :
Mahluk itu dikuasai oleh sifat indrawi, sebelum Islam datang mereka hampir
tidak mengetahui sesuatu yang ada selain sesuatu yang memiliki sifat-sifat
benda yang tertangkap panca indera. Dan sebab Rasulullah ﷺ berkata dengan kata-kata
tersebut adalah agar seolah olah sejenis di dalam penyampaian khabar adanya
Allah. Satu kaum penyembah bintang meyakini manfaat-manfaat dan
kemudharatan-kemudharatan berasal darinya, satu kaum penyembah cahaya meyakini kebaikan berasal
darinya dan menyandarkan keburukan kepada kegelapan dan ada juga kaum penyembah
malaikat, penyembah matahari, penyembah Nabi Isa, penyembah Uzair, penyembah
sapi dan kebanyakan penyembah berhala-berhala. Mereka menetapkan keberadaan
yang mereka sembah secara indrawi, karena yang demikian itulah kaumnya Nabi
Musa 'alaihissalam berkata : Buatkanlah tuhan untuk kami ! Seandainya syariat
datang dengan akidah tanzih yang murni, maka akan dianggap oleh mereka
peniadaan tuhan. Lalu tatkala mereka berkata : sifat kan lah tuhan mu wahai
Muhammad ! turunlah ayat : Katakanlah Dialah Allah yang esa..dst (surat Al
Ikhlash). Seandainya Rasulullah ﷺ berkata kepada mereka : Allah bukan jisim,
bukan unsur, tidak memiliki lebar, tidak memiliki panjang, tidak memiliki
ciri-ciri benda, tidak menempati tempat-tempat, tidak diliputi tempat dan tidak
diliputi arah dari arah-arah yang 6 (yaitu arah atas, bawah, kanan, kiri,
depan, belakang), bukan yang bergerak, bukan yang diam, dan indrawi tidak dapat
menjangkaunya, niscaya mereka akan berkata : Anda mengajak kami menetapkan
peniadaan tuhan, jika tidak demikian maka anda mengajak menyembah sesuatu yang
tiada. Allah mengetahui yang demikian, maka syariat mendatangi mereka dengan
kata-kata yang bisa diterima akal mereka seperti mendengar, melihat, murah hati
dan murka. Allah membangun rumah (ka'bah) dan menjadikan batu hajar aswad
perumpamaan tangan kanan untuk berjabat.
_Qultu :_
Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan Ad Dailami :
إِنَّ الْحَجَرَ الْأَسْوَادَ يَمِيْنُ اللهِ فِيْ الْأَرْضِ
Sesungguhnya
hajar aswad adalah tangan kanan Allah di bumi.
Dan syariat
datang dengan penuturan kata wajah, dua tangan, telapak kaki, bersemayam dan
turun, karena tujuannya adalah untuk menetapkan adanya Allah, yang demikian
lebih penting daripada tanzih menurut syariat sehingga harus didahulukan,
sekalipun tanzih itu bagian dari syariat juga, dan dikarenakan hal ini Nabi ﷺ
bertanya kepada budak wanita "dimana Allah", dan ditanyakan juga
kepada Nabi ﷺ "Apakah tuhan kita tertawa ?" Nabi ﷺ menjawab : betul.
Tatkala sudah ditetapkan adanya Allah dengan penuturan gambaran-gambaran secara
indrawi, lalu ditiadakanlah makna secara indrawi yang menyerupakan Allah dengan
mahluk dengan firman Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
"Tidak ada
yang serupa dengan Nya segala sesuatu apapun".
Kemudian
Rasulullah ﷺ tidak menuturkan hadits-hadits yang berisi kata-kata yang bisa
menjerumuskan tersebut secara keseluruhan dalam sekali penyampaian, melainkan
menuturkan satu kalimat sesekali secara terpisah, sungguh telah melakukan
kesalahan, orang yang menulisnya dalam satu bab berdasarkan urutan bentuk
manusia, benar-benar kesalahan yang tercela, kemudian hadits yang menghimpunnya
itu sedikit dan yang sohih darinya sedikit juga.
Rasulullah ﷺ itu orang arab yang biasa menggunakan perumpamaan di dalam percakapannya, bukan kah Rasulullah ﷺ adalah orang yang berkata : "Surat Al Baqarah dan surat Ali Imran akan datang seperti dua naungan awan atau dua kumpulan burung yang berjajar." Dan berkata : "Kelak kematian akan didatangkan dalam bentuk seekor domba kelabu lalu disembelih."
فَإِنْ قِيْلَ لِمَ سَكَتَ السَّلَفُ عَنْ تَفْسِيْرِ الْأَحَادِيْثِ وَقَالُوْا أُمِرُّهَا كَمَا جَاءَتْ قُلْتُ لِثَلَاثَةِ أَوْجَهٍ أَحَدُهَا أَنَّهَا ذُكِرَتْ لِلْإِيْنَاسِ بِمَوْجُوْدٍ فَإِذَا فُسِّرَتْ لَمْ يَحْصُلْ الإِيْنَاسُ مَعَ أَنَّ فِيْهَا لَا بُدَّ مِنْ تَأْوِيْلِهِ كَقَوْلِهِ تَعَالَی وَجَاءَ رَبُّكَ أَيْ جَاءَ أَمْرُهُ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِنَّمَا صَرْفُهُ إِلَی ذَلِكَ أَدِلَّةَ الْعَقْلِ فَإِنَّهُ لَا يَجُوْزُ عَلَيْهِ الْاِتْتِقَالُ وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَوْ تَأَوَّلْتَ الْيَدَ بِمَعْنَی قُدْرَةٍ جَازَ أَنْ يَتَأَوَّلَ بِمَعْنَی الْقُوَّةِ فَيَحْصُلُ الْخَطْرُ بِالصَّرْفِ عَمَّا يَحْتَمِلُ وَالثَّالِثُ أَنَّهُمْ لَوْ أَطْلَقُوْا فِي التَّأْوِيْلِ اتَّسَعَ الخَرْقُ فَخَلَّطَ الْمُتَأَوِّلُ فَإِذَا سَأَلَ الْعَامِيُّ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَی ثُمَّ اسْتَوَی عَلَی الْعَرْشِ قِيْلَ لَهُ الْاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
Jika ditanya
kenapa ulama salaf diam dari menjelaskan makna hadits-hadits mutasyabihat dan
mereka berkata : aku membiarkannya tanpa takwil sebagaimana dia telah datang ?
Aku (Ibnul Jauzi) berkata, karena ada 3 pertimbangan :
1. Sesungguhnya
kalimat itu dituturkan agar mengetahui sesuatu yang maujud, jika ditafsirkan
maka tidak akan tercapai pengetahuan tersebut, disertai di dalamnya ada juga
yang harus ditakwil seperti firman Allah : Dan datang tuhan mu. Maksudnya
perintah Nya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Sesungguhnya menafsirkannya
kepada makna demikian dikarenakan dalil-dalil akal, yaitu Allah mustahil
berpindah.
2. Seandainya
anda mentakwil kata tangan dengan makna kekuasaan, maka boleh mentakwil dengan
makna kekuatan juga, sehingga timbul kekhawatiran terhadap penafsiran dari satu
kata yang multi tafsir.
3. Seandainya para ulama salaf memutlakkan harus mentakwil, maka akan terbuka lebar celah untuk mentakwil sembarangan, sehingga bisa saja pentakwil itu merusak makna. Sehingga apabila orang awam bertanya tentang firman Allah : Kemudian Allah beristiwa di atas Arsy. Maka dikatakan padanya istiwa itu maklum, kaifiyahnya tidak masuk akal, beriman dengannya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah.
فَصْلٌ
Ini adalah satu
fasal
وَكَانَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ يَقُوْلُ أَمَرُّوْا الْأَحَادِيْثَ كَمَا جَاءَتْ وَعَلَی هَذَا كِبَارُ أَصْحَابِهِ كَإِبْرَاهِيْمَ الْحَرَبِيِّ وَمِنْ كِبَارِ أَصْحَابِنَا أَبُو الْحَسَنِ التَّمِيْمِيُّ وَأَبُوْ مُحَمَّدٍ رِزْقُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَابِ وَأَبُو الْوَفَاءِ ابْنُ عُقَيْلٍ فَنَبَغَ الثَّلَاثَةُ الَّذِيْنَ ذَكَرْنَاهُمْ ابْنُ حَامِدٍ وَالْقَاضِي أَبُوْ يَعْلَی وَالزَّاغُوْنِيُّ
Imam Ahmad
pernah berkata : Mereka membiarkan hadits-hadits tanpa takwil sebagaimana telah
datang (mentafwidh makna), dan para sahabatnya tegak di atas madzhab ini
seperti Imam Ibrahim Al Harabi, dan sebagian dari para ulama besar ashab kami
seperti Imam Abu al Hasan at Tamimi, Imam Abu Muhammad Rizqullah bin Abdul
Wahab dan Imam Abu al Wafa ibnu Uqail, lalu 3 ulama yang sudah aku tuturkan
telah keluar dari madzhab Imam Ahmad, yaitu Abu Hamid, al Qadhi Abu Ya'la dan
az Zaghuni.
وَقَدْ سُئِلَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَأَفْتَی فِيْهَا فَقِيْلَ لَهُ هَذَا لَا يَقُوْلُ بِهِ ابْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ لَمْ يَنْزِلْ مِنَ السَّمَاءِ وَقَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اِسْتَخَرْتُ اللهَ تَعَالَی فِي الرَّدِّ عَلَی الْإِمَامِ مَالِكٍ
Imam Ahmad
pernah ditanya tentang satu masalah, lalu beliau memberikan fatwa di dalamnya.
Dikatakan padanya : "ini tidak pernah dikatakan Imam Ibnu al
Mubarak", Imam Ahmad berkata : "Ibnu al Mubarak tidak turun dari
langit". Dan Imam Syafi'iy radhiallahu 'anhu pernah berkata : "Aku
telah melakukan istikharah di dalam menulis bantahan terhadap Imam Malik".
Qultu :
Perkataan Imam
Ahmad dan Imam Syafi'iy tersebut menunjukkan bahwa tiap-tiap para imam salaf
adakalanya berbeda pendapat dan tidak taqlid satu sama lain di dalam masalah
furu'iyyah, sama saja di dalam fiqih atau aqidah. Namun di dalam masalah
ushuliyyah (pokok aqidah) tidak ada perbedaan di antara mereka. Keadaan tidak
taqlid tersebut tentu tidak berlaku bagi orang awam, adapun orang awam diwajibkan
taqlid.
وَلَمَّا صَنَّفَ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةُ كُتُبًا وَانْفَرَدَ الْقَاضِي أَبُوْ يَعْلَی فَصَنَّفَ الْأَحَادِيْثَ الَّتِيْ ذَكَرْتُهَا عَلَی تَرْتِيْبِهِ وَقَدَّمَ عَلَيْهَا الآيَاتِ الَّتِيْ وَرَدَتْ فِيْ ذَلِكَ
Dan tatkala 3 ulama mujassimah menulis sejumlah kitab, al Qadhi Abu Ya'ala menyendiri dengan khusus menulis hadits-hadits mutasyabihat yang sudah aku tuturkan berdasarkan tartib urutannya, dan dia mendahulukan menulis ayat-ayat yang warid di dalam hal itu.
بَابُ مَا جَاءَ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ مِنْ ذَلِكَ
١) قَالَ اللهُ تَعَالَی وَيَبْقَی وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ قَالَ الْمُفَسِّرُوْنَ مَعْنَاهُ يَبْقَی رَبُّكَ وَكَذَا قَالُوْا فِيْ قَوْلِهِ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ أَيْ يُرِيْدُوْنَهُ وَقَالَ الضَّحَاكُ وَأَبُوْ عُبَيْدَةٍ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَی كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ أَيْ إِلَّا
Bab ayat-ayat di
dalam al Qur'an al 'Adzim dari ayat mutasyabihat:
1.
Allah ta'ala berfirman :
"Dan kekal wajah tuhan mu yang memiliki keagungan dan kemuliaan".
Para ahli tafsir berkata : "maknanya adalah kekal tuhan mu". Sama hal
nya mereka berkata tentang firman Allah : "mereka menghendaki wajah
Nya". Maksudnya "ikhlash menghendaki keridhaan Allah". Imam ad
Dhahak dan Imam Abu Ubaidah berkata tentang firman Allah : "Segala sesuatu
akan binasa kecuali wajah Nya". Maksudnya kecuali Allah.
هُوَ وَقَدْ ذَهَبَ الَّذِيْنَ أَنْكَرْنَا عَلَيْهِمْ إِلَی أَنَّ الْوَجْهَ صِفَةٌ تُخْتَصُّ بِاسْمٍ زَائِدٍ عَلَی الذَّاتِ قُلْتُ فَمِنْ أَيْنَ قَالُوْا هَذَا وَلَيْسَ لَهُمْ دَلِيْلٌ إِلَّا مَا عَرَفُوْهُ مِنَ الْحِسِّيَّاتِ وَذَلِكَ يُوْجِبُ التَّبْعِيْضَ وَلَوْ كَانَ كَمَا قَالُوْا كَانَ الْمَعْنَی أَنَّ ذَاتَهُ تَهْلُكُ إِلَّا وَجْهُهُ وَقَالُ ابْنُ حَامِدٍ الْمُجَسِّمُ أَثْبَتْنَا لِله وَجْهًا وَلَا نُجَوِّزُ إِثْبَاتَ رَأْسٍ قُلْتُ وَلَقَدْ اِقْشَعَرَّ بَدَنِيْ مِنْ جَرَاءَتِهِ عَلَی ذِكْرِ هَذَا فَمَا أَعْوَزَهُ فِي التَّشْبِيْهِ غَيْرُ الرَّأْسِ
Sungguh orang-orang yang kita ingkari berpendapat wajah adalah sifat yang dikhususkan dengan satu nama, tambahan di atas dzat. Aku (Ibnul Jauzi) berkata : dari mana mereka mengatakan hal itu ?! tidak ada dalil bagi mereka kecuali apa-apa yang mereka ketahui dari makna-makna indrawi. Yang demikian melazimkan menetapkan dzat Allah tersusun dari beberapa bagian (maha suci Allah dari sifat demikian). Seandainya kenyataannya sebagaimana yang mereka katakan maka maknanya menjadi dzat Allah akan binasa kecuali wajah Nya. Ibnu Hamid Al Mujassim berkata : "Kami menetapkan wajah bagi Allah dan kami tidak memperbolehkan penetapan kepala". Aku (Ibnul Jauzi) berkata : "Badan ku benar-benar merinding karena penuturan ini, ungkapan tanpa menetapkan kepala tidak mengurangi konsekuensi menyerupakan Allah dengan mahluk".
٢) قُلْتُ وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُهُ وَلِتُصْنَعَ عَلَی عَيْنِيْ، وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا قَالَ الْمُفَسِّرُوْنَ بِأَمْرِنَا أَيْ بِمَرْأَی مِنَّا قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الْأَنْبَارِيُّ أَمَّا جَمْعُ الْعَيْنِ عَلَی مَذْهَبِ الْعَرَبِ فِيْ إِيْقَاعِهَا الْجَمْعِ عَلَی الْوَاحِدِ يُقَالُ خَرَجْنَا فِي السَّفَرِ إِلَی الْبَصْرَةِ وَإِنَّمَا جَمْعٌ لِأَنَّ عَادَةَ الْملك أَنْ يُقَالَ أَمْرُنَا وَنَهْيُنَا
2. Aku (Ibnul
Jauzi) berkata : Dan sebagian dari yang demikian itu adalah firman Allah : Dan supaya kamu diasuh di atas mata ku. Dan firman Allah : Buatlah
perahu itu dengan sejumlah mata kami. Para ahli tafsir berkata : Dengan
perintah kami, maksudnya dengan pengawasan dari kami. Imam Abu Bakar Al Anbari berkata :
"Bentuk jamak kata mata bagi orang arab penggunaannya biasanya untuk
menyatakan satu orang, misalkan dikatakan : Kami keluar di dalam perjalanan
menuju basrah. Dan sesungguhnya penggunaan bentuk jamak ini dikarenakan
kebiasaan seorang raja. Misalkan dikatakan : Perintah kami, larangan
kami".
Qultu :
Tidak boleh
menetapkan Allah memiliki bola mata berdalil dengan makna dzahir ayat tersebut.
Lalu disebutkan penjelasan alasan penggunaan bentuk jamak (kami), karena
sebagian orang masih merasa bingung dengan penggunaan bentuk jamak tersebut,
mereka berpikir Allah itu esa, tapi kenapa menggunakan kata "kami".
وَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُوْ يَعْلَی الْمُجَسِّمُ إِنَّ الْعَينَ صِفَةٌ زَائِدَةٌ عَلَی الذَّاتِ وَقَدْ سَبَقَهُ أَبُوْ بَكْرٍ ابْنّ خُزَيْمَةَ فَقَالَ فِي الْآيَةِ لِرَبِّنَا عَيْنَانِ يَنْظُرُ بِهِمَا قُلْتُ وَهَذَا ابْتَدَعَ لَا دَلِيْلَ لَهُمْ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا أَثْبَتُوْا عَيْنَيْنِ مِنْ دَلِيْلِ الْخِطَابِ فِيْ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَإِنَّ اللهَ لَيْسَ بِأَعُوْرٍ وَإِنَّمَا أَرَادَ نَفْيَ النَّقْصِ عَنْهُ تَعَالَی وَمَتَی ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَتَجَزَّأُ لَمْ يَكُنْ لِمَا يُتَخَيَّلُ مِنَ الصِّفَاتِ وَجْهٌ
Al Qadhi Abu
Ya'la Al Mujassim berpendapat bahwa mata adalah sifat tambahan di atas dzat.
Imam Abu Bakar Ibnu Khuzaimah sudah lebih dulu menyatakan hal itu. Dia berkata
tentang ayat tersebut : "Tuhan kita memiliki dua bola mata, dengannya Dia
melihat". Aku (Ibnul Jauzi) berkata : Pernyataan itu adalah bid'ah sesat,
tidak ada dalil bagi mereka yang melandasi pernyataannya tersebut. Mereka
menetapkan hal itu dari dalil khitob (hadits) yang berbunyi : Tuhan mu bukan
yang buta sebelah matanya. Padahal yang dikehendaki Nabi ﷺ di dalam hadits itu
adalah meniadakan kekurangan dari Allah ta'ala (bukan menetapkan bola mata bagi
Allah), dan ketika sudah yakin dzat Allah tidak tersusun dari juz
(bagian-bagian) maka tidak ada wajah bagi Allah karena apa-apa yang dikhayalkan
dari sifat-sifat.
Qultu :
Dzat Allah esa, tidak tersusun dari beberapa juz atau bagian-bagian. Jika sudah meyakini hal itu tentu seseorang tidak akan mengkhayalkan Allah memiliki wajah yang di dalamnya ada dua bola mata. Maha suci Allah dari sifat demikian.
٣ وَمِنْهَا قَوْلُهُ تَعَالَی لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ الْيَدُ فِي اللُّغَةِ بِمَعْنَی النِّعْمَةِ وَالْاِحْسَانِ قَالَ الشَّاعِرُ مَتَی تناخي عِنْدَ بَابِ بَنِي هَاشِمٍ تريحي فَتَلَقِّي مِنْ فَوَاضِلَ يَدَا وَمَعْنَی قَوْلِ الْيَهُوْدِ يَدُ اللهِ مَغْلُوْلَةً أَيْ مَحْبُوْسَةً عَنِ النَّفَقَةِ وَالْيَدُ الْقُوَّةُ يَقُوْلُوْنَ مَا لَنَا بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ يَدٍ وَقَوْلُهُ تَعَالَی بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ أَيْ نِعْمَتُهُ وَقُدْرَتُهُ وَقَوْلُهُ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَيْ بِقُدْرَتِيْ وَنِعْمَتِيْ
3. Dan sebagian
dari ayat mutasyabihat yang lain adalah firman Allah ta'ala : " ...kepada
apa yang sudah aku ciptakan dengan kedua tangan ku". Tangan di dalam
bahasa maknanya nikmat dan kebaikan, penyair berkata di dalam syairnya : Kapan
saja kamu memohon keberkahan di depan pintu Bani Hasim (Nabi Muhammad ﷺ) pasti
kamu merasa damai dan memperoleh keutamaan tangannya. (maksudnya memperoleh
keberkahan dan kebaikannya).
Sementara makna
perkataan orang Yahudi "tangan Allah terbelenggu" , maksudnya tidak
memberikan karunia dan nikmat.
Tangan juga bisa bermakna kekuatan, mereka berkata : "kita tidak punya tangan di dalam urusan ini". maksudnya "tidak punya kekuatan". Sedangkan firman Allah ta'ala : "bahkan kedua tangannya terbuka lebar", maksudnya nikmat Nya dan kekuasaan Nya.
وَقَالَ الْحَسَنُ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَی يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ أَيْ مِنَّتُهُ وَإِحْسَانُهُ قُلْتُ هَذَا الْكَلَامُ الْمُحَقِّقِيْنَ وَقَالَ الْقَاضِي أَبُوْ يَعْلَی الْمُجَسِّمُ الْيَدَانِ صِفَتَانِ ذَاتِيَّتَانِ سُمِيَانِ بِالْيَدَيْنِ قُلْتُ هَذَا تَصَرُّفٌ بِالرَّأْيِ لَا دَلِيْلَ عَلَيْهِ وَقَالَ ابْنُ عُقَيْلٍ مَعْنَی الْآيَةِ لِمَا خَلَقْتُ أَنَا فَهُوَ كَقَوْلِهِ ذَلِكَ بِمَا قَدَّمْتَ يَدَاكَ أَيْ بِمَا قَدَّمْتَ أَنْتَ وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْبَلَهِ لَوْ لَمْ يَكُنْ لِآدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَزِيَّةٌ عَلَی سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ بِخَلْقِهِ بِالْيَدِ الَّتِيْ هِيَ صِفَةٌ لَمَّا عَظَّمَهُ بِذِكْرِهَا وَأجلها فَقَالَ بِيَدَيَّ وَلَوْ كَانَتِ الْقُدْرَةُ لَمَا كَانَتْ لَهُ مَزِيَّةٌ فَإِنْ قَالُوْا الْقُدْرَةَ لَا تُثَنَّی وَقَدْ قَالَ بِيَدَيَّ قُلْنَا بَلَی قَالَتِ الْعَرَبُ لَيْسَ لِيْ بِهَذَا الْأَمْرِ يَدَانِ أَيْ لَيْسَ لِيْ بِهِ قُدْرَةٌ وَقَالَ عُرْوَةُ ابْنُ حَزَامٍ فِيْ شعرِهِ فَقَالَ شَفَاكَ اللهُ وَاللهِ مَا لَنَا بِمَا ضمنت مِنْكَ الضُّلُوْع يَدَانِ وَقَوْلُهُمْ مُيِّزَ بِذَلِكَ عَنِ الْحَيَوَانِ نَفَاهُ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِيْنَا أَنْعَامًا وَلَمْ يَدُلَّ هَذَا عَلَی تَمْيِيْزِ الْأَنْعَامِ عَلَی بِقِيَّةِ الْحَيَوَانِ
Imam Al Hasan berkata tentang firman Allah ta'ala : "Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maksudnya karunia Nya dan kebaikan Nya". Aku (Ibnul Jauzi) berkata : "Ini adalah perkataan para ulama ahli tahqiq". Sedangkan al Qadhi Abu Ya'la al Mujassim berkata : "Dua tangan adalah dua sifat dzat yang dinamakan dua tangan". Aku (Ibnul Jauzi) berkata : "Pemahaman ini hanya dengan hawa nafsu, tidak ada dalil yang melandasinya. Imam Ibnu 'Uqail berkata : "Makna firman Allah : kepada apa yang telah aku ciptakan dengan kedua tangan ku, maksudnya adalah kepada apa yang telah aku ciptakan". Yang demikian sama seperti firman Allah : "Yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu", maksudnya yang dikerjakan oleh mu. Sebagian orang yang lemah akal berkata : "Nabi Adam mendapat keistimewaan di atas hewan-hewan dengan sebab penciptaan Nya menggunakan tangan langsung, yang merupakan sifat dzat Allah. Tatkala Allah mengagungkannya dengan menuturkan sifat tersebut Allah berfirman : "Dengan kedua tangan ku". Seandainya tangan ditakwil dengan makna kekuasaan, maka tidak ada keistimewaan bagi Nabi Adam 'alaihissalam di atas hewan-hewan". Lalu jika golongan mujassimah berkata : "kekuasaan itu tidak perlu dengan bentuk mutsanna". Yaitu bentuk kata yang menunjukkan dua, seperti diktakan yadaani yang artinya dua tangan atau yadayya yang artinya kedua tangan ku. Kami jawab : Orang arab berkata "aku tidak memiliki kedua tangan di dalam urusan ini", maksudnya tidak punya kuasa. Urwah Ibn Hazm berkata di dalam sya'irnya : Keduanya berkata : Semoga Allah menyembuhkan mu...demi Allah kami tidak punya dua tangan untuk menyembuhkan apa yang telah menimpamu. Maksudnya tidak punya kekuasaan. Sedangkan terkait perkataan mereka : "Allah membedakan Nabi Adam dengan penciptaan menggunakan tangan Nya agar menjadi lebih mulia di atas hewan-hewan". Allah azza wa jalla telah membatalkan pemahaman tersebut dengan firman Nya : "Kami telah menciptakan untuk mereka hewan-hewan terna dari apa-apa yang telah diperbuat tangan-tangan kami." (maksudnya dari apa apa yang diciptakan dengan kekuasaan kami), Di dalam firman itu Allah sama sekali tidak menunjukkan perbedaan antara hewan ternak dan hewan-hewan lainnya.
قَالَ اللُه تَعَالَی وَالسَّمَاءُ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ أَيْ بِقُوَّةٍ ثُمَّ قَدْ أَخْبَرَ أَنَّهُ نَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُوْحِهِ وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْوَضْعُ بِالْفِعْلِ وَالتَّكْوِيْنِ وَالْمَعْنَی نَفَخْتُ أَنَا وَيَكْفِيْ شَرْفُ الْإِضَافَةِ إِذْ لَا يَلِيْقُ بِالْخَالِقِ جَلَّ جَلَالُهُ سِوَی ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ أَنْ يَفْعَلَ بِوَاسِطَةٍ فَلَا لَهُ أَعْضَاءٌ وَجَوَارِحٌ يَفْعَلُ بِهَا لِأَنَّهُ الْغَنِي بِذَاتِهِ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَشَاغَلَ بِطَلَبِ تَعْظِيْمِ آدَمَ مَعَ الْغَفْلَةِ عَمَّا يَسْتَحِقُّ الْبَارِي سُبْحَانَهُ مِنَ التَّعْظِيْمِ وَالتَّنْزِيْهِ بِنَفْيِ الْأَبْعَاضِ وَالْآلَاتِ فِي الْأَفْعَالِ لِأَنَّ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ صِفَةُ الْأَجْسَامِ وَقَدْ ظَنَّ بَعْضُ الْبُلْهِ أَنَّ اللهَ يَمَسُّ حَتَّی تَوَهَمُوْا أَنَّهُ مَسَّ طينة بِيَدٍ هِيَ بَعْضُ ذَاتِهِ وَمَا فَطِنُوْا مِنْ جُمْلَةِ الْمَخْلُوْقَاتِهِ جِسْمًا يُقَابِلُ جِسْمًا فَيَتَحَدُّ بِهِ وَيَفْعَلُ فِيْهِ وَمِنَ السَّحْرِ مَنْ يَعْقِدُ عُقَدًا فَيَتَغَيَّرُ بِهِ الشَّيْءُ حَالًا وَصِفَةً أَفَتَرَاهُ سُبْحَانَهُ جَعَلَ أَفْعَالَ الْأَشْخَاصِ وَالْأَجْسَامِ تَتَعَدَّى إِلَى الْأَجْسَامِ الْبَعِيْدَة ثُمَّ يَحْتَاجُ هُوَ فِيْ أَفْعَالِهِ إِلَى مُعَانَاةِ الطِّيْنِ وَقَدْ رُدَّ قَوْلُ مَنْ هَذَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى إِنَّ مَثَلَ عِيْسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ كُنْ فَيَكُوْنَ
Allah ta'ala berfirman :
وَالسَّمَاءُ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
Dan langit itu
kami bangun dengan tangan-tangan kami, dan sesungguhnya kami benar-benar
berkuasa.
Maksudnya dengan
kekuatan kami. Kemudian Allah telah mengabarkan telah meniupkan sebagian ruhnya
ke dalam diri Nabi Isa alaihissalam, dan tidak ada maksud kecuali sebagai
kiasan suatu perbuatan dan penciptaan, maknanya aku telah meniupkan saja, dan
cukup disana difahami sebagai penyandaran kemuliaan bagi Nabi Isa 'alaihissalam
(yaitu ruh Nabi Isa disandarkan kepada dzat Allah yang mulia untuk memuliakan
Nabi Isa dan maksudnya bukan dzat Allah memiliki ruh) karena tidak layak
terhadap sang pencipta jalla jalaluhu kecuali pemahaman demikian, sebab Allah
tidak butuh melakukan suatu perbuatan dengan perantara dan Allah tidak memiliki
anggota badan untuk melakukan perbuatan dengannya, Allah dengan dzat Nya tidak
butuh segala sesuatu (termasuk tidak butuh anggota badan). Maka seyogyanya
tidak menyibukkan diri berusaha mencari alasan memuliakan Nabi Adam tapi lupa
terhadap apa-apa yang menjadi hak Allah, yaitu pengagungan dan tanzih dengan
meniadakan keyakinan dzat Allah terdiri dari beberapa bagian dan memiliki
anggota-anggota untuk melakukan perbuatan di dalam perbuatan-perbuatan Nya,
karena sifat-sifat ini adalah sifat jisim-jisim.
Sungguh sebagian
orang yang lemah akal telah menyangka Allah bisa menyentuh, sehingga mereka
meyakini Allah menyentuh tanah Nabi Adam dengan tangan Nya yang merupakan
sebagian dari dzat Nya. Apa yang mereka fahami adalah bagian dari sifat
mahluk-mahluk Allah, jisim bertemu jisim, menjadikan dzat Allah terbatasi
dengan sifat itu dan melakukan perbuatan di dalamnya. Dan sebagian dari
kerusakan di dalam aqidah adalah orang yang diliputi keyakinan bahwa kondisi
dan sifat dzat Allah bisa berubah (dari yang tidak memiliki batas lalu menjadi
memiliki batas).
Qultu :
Allah disucikan dari sifat menyentuh atau bisa disentuh, karena sifat tersebut hanya terjadi apabila jisim bertemu dengan jisim, sedangkan Allah bukan jisim. Menetapkan sifat menyentuh bagi Allah sama dengan membatasi dzat Allah dan meyakini kondisi dan sifat dzat Allah bisa berubah-ubah. Maha suci Allah dari sifat-sifat tersebut.
Apa kamu tidak
melihat Allah swt menjadikan perbuatan-perbuatan manusia dan jisim-jisim harus
mendatangi jisim-jisim lain yang jauh, apa kemudian Allah perlu melakukan itu
di dalam perbuatan-perbuatannya untuk mengurusi tanah. Perkataan orang yang
mengatakan hal ini sudah dibantah dengan firman Allah ta'ala :
إِنَّ مَثَلَ عِيْسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ كُنْ فَيَكُوْنَ
Sesungguhnya
perumpamaan penciptaan Isa bagi Allah, sama seperti penciptaan Adam. Dia
menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, "jadilah
!" maka terjadilah sesuatu itu.
Qultu :
Firman Allah tetrsebut adalah bantahan terhadap argumentasi golongan mujassimah yang mengatakan Allah memiliki tangan yang merupakan bagian dari dzat Nya lalu menciptakan Nabi Adam 'alaihissalam dengan tangan Nya langsung sebagai kekhususan bagi Nabi Adam 'alaihissalam dan sebagai pembeda di atas penciptaan mahluk-mahluk lain Nya. Namun faktanya Allah sendiri telah menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara penciptaan Nabi Adam 'alaihissalam dengan penciptaan Nabi Isa 'alaihissalam.
0 comments:
Posting Komentar